Minggu, 01 Desember 2019

Waspada Cashback Factor (1)

Anda pernah dengan yang namanya latte factor? Pasti tahu dong ya, di mana orang, kebanyakan generasi milenial membuang-buang uang untuk ngopi sore alias kalau di Indonesia dikenal dengan istilah ngopi cantik.

Mengapa ngopi yang puluhan ribu itu kemudian menjadi pembicaraan? Karena ketika saya dulu tinggal di Amerika, harga secangkir kopi itu hanyalah 25 sen atau setara dengan Rp 3.500 saja.

Kalaupun anda duduk di suatu diner (restoran 24 jam untuk sarapan, makan siang dan makan malam), maka harga secangkir kopi tidak lebih dari US$ 1 atau setara dengan Rp 14.000 dan itu pun anda bisa minum kopi sepuasnya alias all you can drink.

Nah ngopi cantik seperti di Starbucks atau Coffee Bean ini kemudian menjadi bermasalah ketika anda harus membayar US$ 5-7 untuk secangkir kopi atau setara dengan di atas Rp 60.000.

Mengapa orang mau membayar mahal 5-7x lipat untuk kopi yang mirip yang ditawarkan dari tempat-tempat terkenal tersebut? Sementara hal ini dilakukan secara rutin setiap hari. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya istilah Latte Factor tersebut.

Sementara dalam artikel sebelumnya saya membahas di Indonesia pun sekarang juga dimulai dengan adanya e-wallet factor. Apa itu e-wallet factor?

Secara sederhana adalah memulai kebiasaan berbelanja dengan menggunakan dompet digital sesuai dengan arahan pemerintah. Permasalahan yang muncul hampir sama dengan latte factor di mana orang-orang, di Indonesia, kemudian justru boros dalam membelanjakan uangnya karena factor kemudian bertransaksi dengan menggunakan dompet digital tersebut.

Bahkan transaksi toko online dan market place pun juga mempermudah proses pembayaran dengan menggunakan dompet digital ini.

Tulisan kali ini akan membahas kelanjutan dari e-wallet factor tadi, saya namakan dengan istilah cash-back factor. Yes, tidak bisa dipungkiri masyarakat di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir sedang tergila-gila dengan yang namanya cash-back dari perbelanjaan mereka.

Cashback adalah sebuah bentuk promosi yang mengiming-imingi masyarakat untuk menggunakan dan berbelanja dengan menggunakan dompet digital, dengan memberikan iming-iming uang kembali (jadinya seperti diskon) kepada pengguna.

Pemberian promo ini dengan maksud agar orang mulai berubah gaya pembayaran uang mereka dari tunai dan transfer serta debit berpindah ke dompet digital. Pertanyaanya adalah apakah metode ini kemudian berhasil? http://cinemamovie28.com/my-little-baby-jaya/

Fakta menyatakan dengan semakin banyak orang mengunduh aplikasi dompet digital menunjukkan minat orang belanja dengan metode ini juga meningkat. Saat ini ada 3 pemain dompet digital besar di Indonesia yaitu GoPay, Ovo dan Dana.

GoPay tidak bisa diukur karena system pembayarannya ada di dalam aplikasi Gojek. Sementara Ovo sudah memiliki lebih dari 10 juta pengunduh sementara Dana pun menyusul di belakangnya juga dengan lebih dari 10 juta pengunduh (angka pasti tidak diketauhi, angka di atas hanya diambil dari Google play per 4 November 2019).

Jadi bisa dibilang kampanye mereka sampai saat ini cukup berhasil. Tapi apakah seberhasil itu? Sementara banyak orang kemudian mengeluh bahwa mereka semakin boros dengan keuangannya karena mereka tidak tahu lagi ke mana uang mereka belanjakan khususnya yang sudah masuk ke dalam dompet digital mereka.

Padahal seperti yang kita ketahui bahwa mencatat pengeluaran akan sangat membantu dalam kita mengelola keuangan. Masalahnya banyak orang yang malas mencatat.

Itulah sebabnya sekarang ada aplikasi yang mempermudah anda mencatat pengeluaran dan mengelola keuangan bisa diunduh disini.

Selain mencatat anda juga penting untuk berinvestasi dan berasuransi. Permasalahan dengan investasi masih banyak orang yang awam. Sementara untuk berasuransi banyak masyarakat yang enggan karena takut dikejar-kejar oleh agen, padahal mereka baru hanya mau tahu berapa besar sih premi yang mereka harus bayarkan.Nah, untuk hal ini ada solusinya, anda bisa cek premi asuransi tanpa takut dikejar-kejar agen melalui aplikasi yang bisa diunduh disini.

Selain itu anda juga bisa belajar dengan mengikuti kelas dan workshop tentang keuangan, infonya bisa anda dapatkan dari aplikasi tersebut di atas atau anda bisa cek disini.

Selain itu banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab yang berhubungan dengan cashback dan dompet digital ini seperti:

Apa yang menyebabkan orang belanja?

Apakah cashback bermanfaat?

Apakah cashback menyebabkan boros?

Bagaimana cara mensiasati cashback agar tidak boros?

Hal-hal dan pertanyaan ini akan kita jawab semua di artikel berikutnya. Pantau dan saksikan terus kolom Perencanaan Keuangan yang kami asuh di detikcom ini. https://cinemamovie28.com/king-arthur-and-the-knights-of-the-round-table/

Era Bakar Uang OVO Cs Selesai, No More Cashback?

Masa bakar uang atau promosi besar-besaran di industri fintech sistem pembayaran disebut-sebut akan segera selesai. Hal ini karena perusahaan juga harus mendapatkan keuntungan untuk melanjutkan bisnisnya ke depan.

Sebelumnya, bos Lippo Group Mochtar Riady mengungkapkan Lippo melepas saham di OVO karena tak kuat lagi melakukan promosi besar-besaran alias bakar uang. Nah jika masa bakar uang selesai, artinya tak ada lagi promosi. Maka tak akan ada lagi cashback untuk pengguna?

Direktur riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menjelaskan program promo besar-besaran yang dilakukan untuk bisnis digital memang seharusnya bersifat jangka pendek.

"Pada akhirnya investor akan back to earth jika hakikat bisnis adalah mencari keuntungan bukan sekadar mencari valuasi yang didasarkan jumlah user atau engagement," kata Piter saat dihubungi detikcom, Minggu (1/12/2019).

Dia mengungkapkan, pengguna juga harus bisa memahami bahwa berbagai promo, cashback bonus poin itu pada akhirnya akan berakhir. "Pada saatnya kita akan menggunakan ewallet atau emoney sesuai dengan kelebihan yang ditawarkan tanpa harus ditambah dengan promosi yang besar," jelas dia.

Sebelumnya OVO memang memberikan banyak cashback berupa poin kepada setiap pengguna jika berbelanja di merchant yang bekerja sama dengan OVO. Cashback yang diberikan tak tanggung-tanggung bahkan mencapai Rp 25.000 per transaksi.

Sebelumnya Lippo Group mengungkap, perusahaan mau tak mau mesti melepas sebagian sahamnya di dompet digital OVO. Kini, Lippo masih menggenggam saham OVO di bawah naungan PT Visionet International sekitar 30%.

Pelepasan sebagian saham ini diutarakan langsung oleh sang pendiri sekaligus Chairman Grup Lippo Mochtar Riady dalam acara Indonesia Digital Conference (IDC), Kamis (28/11/2019) dikutip dari CNBC Indonesia.

"Bukan melepas, adalah kita menjual sebagian. Sekarang kita tinggal sekitar 30-an persen atau satu pertiga. jadi dua pertiga kita jual," ujar Mochtar.

Waspada Cashback Factor (1)

Anda pernah dengan yang namanya latte factor? Pasti tahu dong ya, di mana orang, kebanyakan generasi milenial membuang-buang uang untuk ngopi sore alias kalau di Indonesia dikenal dengan istilah ngopi cantik.  http://cinemamovie28.com/kidnap-capital/

Mengapa ngopi yang puluhan ribu itu kemudian menjadi pembicaraan? Karena ketika saya dulu tinggal di Amerika, harga secangkir kopi itu hanyalah 25 sen atau setara dengan Rp 3.500 saja.

Kalaupun anda duduk di suatu diner (restoran 24 jam untuk sarapan, makan siang dan makan malam), maka harga secangkir kopi tidak lebih dari US$ 1 atau setara dengan Rp 14.000 dan itu pun anda bisa minum kopi sepuasnya alias all you can drink.

Nah ngopi cantik seperti di Starbucks atau Coffee Bean ini kemudian menjadi bermasalah ketika anda harus membayar US$ 5-7 untuk secangkir kopi atau setara dengan di atas Rp 60.000.

Mengapa orang mau membayar mahal 5-7x lipat untuk kopi yang mirip yang ditawarkan dari tempat-tempat terkenal tersebut? Sementara hal ini dilakukan secara rutin setiap hari. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya istilah Latte Factor tersebut.

Sementara dalam artikel sebelumnya saya membahas di Indonesia pun sekarang juga dimulai dengan adanya e-wallet factor. Apa itu e-wallet factor?

Secara sederhana adalah memulai kebiasaan berbelanja dengan menggunakan dompet digital sesuai dengan arahan pemerintah. Permasalahan yang muncul hampir sama dengan latte factor di mana orang-orang, di Indonesia, kemudian justru boros dalam membelanjakan uangnya karena factor kemudian bertransaksi dengan menggunakan dompet digital tersebut.

Bahkan transaksi toko online dan market place pun juga mempermudah proses pembayaran dengan menggunakan dompet digital ini.

Tulisan kali ini akan membahas kelanjutan dari e-wallet factor tadi, saya namakan dengan istilah cash-back factor. Yes, tidak bisa dipungkiri masyarakat di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir sedang tergila-gila dengan yang namanya cash-back dari perbelanjaan mereka.  http://cinemamovie28.com/ajin-part-1-shoudou/