Presiden Jokowi baru saja membuat gebrakan. Untuk membantu kerjanya, ia mengangkat tujuh orang staf khusus (stafsus) dari kalangan generasi milenial. Mereka ialah Adamas Belva Syah Devara (Founder dan CEO Ruang Guru), Putri Tanjung (Founder dan CEO Creativepreneur), Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan SabangMerauke), Andi Taufan Garuda Putra (Founder dan CEO Amartha), Aminuddin Ma'ruf (aktivis kepemudaan, mantan Ketua Umum PB PMII), Gracia Billy Mambrasar (Pendiri Yayasan Kitong Bisa, Duta Pembangunan Berkelanjutan Indonesia), dan Angkie Yudistia (Pendiri Thisable Enterprise, Kader PKPI).
Tentu selain langkah berani, penunjukan stafsus milenial merupakan sejarah baru dalam pemerintahan Indonesia. Karena itu, tak semua orang senang dengan gebrakan Jokowi tersebut. Sebagian pihak memandang pengangkatan kelompok usia langgas dalam lingkaran Istana hanyalah gincu politik. Namun sebagian lain memuji langkah Presiden Jokowi karena selain dinilai dapat membawa ide baru dan segar sesuai kebutuhan zaman, penunjukan stafsus milenial juga membuat puluhan juta kelompok milenial di Indonesia merasa mendapatkan angin segar.
Artinya, siapapun orangnya, meskipun masih muda, asalkan punya prestasi membanggakan maka bisa masuk gelanggang pemerintahan. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat membuka kran penyumbat sirkulasi kepemimpinan yang selama ini pekat aroma oligarki, sehingga prinsip the right man and on the right place diharapkan dapat menjadi bandul utama dalam mengelola sebuah negara.
Lanskap Demografi
Secara esensial, menurut hemat saya, pelibatan kelompok milenial dalam lingkaran pemerintahan punya argumentasi cukup kuat. Alasan pertama ialah untuk menjawab tantangan demografi, di mana saat ini lanskap masa depan Indonesia berada di tangan generasi milenial. Indonesia pada tahun 2020-2035 akan menghadapi bonus demografi, yakni ledakan penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mencapai 70 persen.
Di sisi lain, berdasarkan data Bappenas, Indonesia saat ini memiliki sekitar 90 juta penduduk Indonesia berkategori milenial. Artinya, kehadiran stafsus milenial diharapkan mampu menjembatani sang Presiden untuk memahami sekaligus merespons berbagai tantangan secara aktual yang terjadi pada generasi milenial. Hal itu penting supaya orientasi pembangunan pemerintahan Jokowi periode kedua mampu menempatkan generasi milenial sebagai peluang untuk mempercepat kemajuan bangsa, bukan justru sebaliknya.
Alasan kedua ialah untuk menjawab tantangan kecepatan. Ini penting karena di era revolusi industri 4.0, tantangan kompetisi global bukan lagi negara besar menguasai negara kecil, namun negara cepat mengusai negara lambat. Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan badai disrupsi teknologi telah mendorong laju dunia industri dan kompetisi dunia kerja bergerak sangat cepat, tidak linear, dan tak terprediksi.
Saking cepatnya laju industri, lembaga riset McKinsey memprediksi bahwa revolusi industri 4.0 akan mendorong pergeseran sekitar 30% pekerjaan. Indonesia pada tahun 2030 pun diprediksi akan kehilangan sekitar 23 juta pekerja. Selain itu, dalam laporan World Economic Forum's (WEF) juga disebutkan bahwa perkembangan supercepat dari teknologi otomasi dan kecerdasan buatan dalam lingkungan kerja bakal menggusur 75 juta pekerjaan, sambil menambah 133 juta pekerjaan dengan peran baru di 2022.
Tentu di tengah jumlah pengangguran pada 2019 (data BPS) yang hampir menyentuh angka 7 juta orang, maka prediksi McKinsey dan WEB di atas dapat menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa. Apalagi harus diakui, daya saing tenaga kerja di negeri ini masih lemah. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS 2017, tingkat pendidikan bagi angkatan kerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD(42,23%), lulusan SMP (18,16%), lalu SMA (16,48%), SMK (10,87%), Diploma (2,95%), dan baru Universitas (9,31%).