Kamis, 05 Desember 2019

Kenalkan! Yohana Marpaung Guru Anak-anak Rimba di Jambi

Yohana Marpaung gadis ini menitikkan air mata melihat para muridnya anak Rimba di Jambi meninggalkan lokasi pemukiman. Dia adalah guru tanpa pamrih mengajar bagi anak-anak Rimba yang hidup nomaden di bawah perkebunan sawit dan kawasan belantara.

Bernama lengkap Yohana Pamela Berliana Marpaung (27) sudah satu tahun ini mengabdi di LSM lingkungan WARSI di Jambi. Dia saban hari menjadi guru buat belasan anak-anak suku Rimba di Kabupaten Sorolangun, Jambi

Dia mengajar tulis baca dan berhitung. Orang tua muridnya hanya membangun rumah sederhana dengan bermodalkan terpal seadanya di bawah pohon sawit. Di sanalah, gadis berdarah Batak ini bercengkerama menularkan ilmunya buat anak Rimba di bawah ketua kelompok Mariyau.

Yohana pernah menangis di bawah pohon sawit. Dia baru saja mengikuti workshop di kota Jambi. Bergeges dia kembali ke kelompok muridnya nan jauh dari pusat kota.

Sesampai di kawasan perkebunan sawit, matanya menatap tajam di lokasi di mana dia selama ini sudah mengajar kepada muridnya selama setengah tahun. Dia cari ke sana-kemari di bawah pohon sawit. Namun jejak muridnya tak terlihat. Gubuk-gubuk mungil yang biasanya terbentang di tengah perkebunan sawit seketika menghilang.

Yohana duduk lemas. Sepertinya dia tidak percaya dengan fakta yang dihadapinya. Muridnya pergi tanpa pesan, entah ke mana akan dicari. Hatinya remuk redam, bocah-bocah Rimba yang belajar kepadanya hilang tak tahu rimbanya.

Hanya dapat duduk dan menangis. Air matanya dihapus ketika bertemu dengan seorang ibu dari kelompok Rimba lainnya. Dia bertanya ke mana gerangan kelompok muridnya.

Dari keterangan seorang ibu yang lazim disebut induk dalam komunitas Rimba, bahwa muridnya meninggalkan lokasi itu karena ada keluarganya yang meninggal. Dalam tradisi dan keyakinan masyarakat Rimba disebut Melangun setiap ada keluarga yang meninggal harus meninggalkan lokasi itu.

Inilah sebabnya, mengapa muridnya meninggalkan sarjana antropologi dari Universitas Sumatera Utara (USU) jebolan 2013 itu. Dapat kabar kelompok muridnya mengikuti jejak orang tuanya di kawasan Tembisi masih di Kabupaten Sorolangun. Butuh waktu minimal 3 jam dengan berkendaraan. Itu pun tak tahu pasti mau ke mana akan dicari mereka.

Tak mau kehilangan anak muridnya, Yohana melangkah pasti melacak mereka meninggalkan lokasi awal. Belakangan kelompok ini berhasil ditemukan, di Desa Bukit Suban di belakang rumah penduduk.

"Aku lega, setelah mencarinya bertemu dengan mereka. Kami belajar lagi sebagaimana biasanya," kata Yohana kepada detikcom, Senin (25/11/2019).

Cerita di atas adalah sepenggal kisah saat kehilangan muridnya pada Juni 2019. Gadis yang ceria ini adalah magnet bagi muridnya.
Sebagai guru anak Rimba, jangan bermimpi Yohana memberikan pelajaran di dalam ruangan permanen sebagaimana umumnya sekolah formal. Tak ada bangku, tak ada meja, tak ada atap yang sebagai penopang tempat belajar dari sengatan matahari atau turunnya hujan.

Paling banter mereka belajar di gubuk reyot beratap terpal plastik atau paling banter seng bekas yang sudah berkarat. Tapi biasanya lebih banyak proses belajar-mengajar di bawah pohon sawit dan kawasan hutan belantara. Dindingnya hanya bentangan alam yang sudah porak poranda oleh lajunya deforestasi.

Lebih Mudah Jadi Dokter Ketimbang Guru di Finlandia, Ini Alasannya

Penelitian itu ditulis oleh Sari ketika ia menjadi guru musik untuk semua jenjang di Finlandia. Sari menulis, bahwa guru di Finlandia merupakan profesi yang sangat dihargai. Bahkan, minimal guru harus mengambil gelar lanjutan alias master. Proses untuk mengikuti program master itu pun tak mudah.

"Di Finlandia, guru dipercaya, dihargai dan dididik dalam program gelar lanjutan. Menjadi seorang guru dimulai dengan mendapatkan penempatan di salah satu program pendidikan guru yang sangat selektif. Saya ingat dengan jelas dua buku pendidikan yang harus saya pelajari untuk bagian pertama dari ujian masuk pendidikan guru kelas awal Finlandia. Buku-buku itu tampak berbeda--jauh lebih sulit dibaca-- ketimbang bacaan yang saya baca beberapa bulan sebelumnya untuk ujian matrikulasi sekolah menengah Finlandia," tulis Sari.

Dia juga mengungkapkan, bahwa saat menjalani program master keguruan di Finlandia, ia kerap kali harus menanggung beban tugas yang tak mudah. Tugas itu berhubungan dengan keterampilan dengan kriteria khusus yang harus ia kuasai, seperti ceramah, demonstrasi, membaca, kunjungan sekolah, dan keterampilan praktis.

Karena beban tugas yang berat ini, dia lantas membandingkan program pendidikan guru dengan program kuliah lainnya. Hasilnya, berdasar data yang diperoleh, orang lebih mudah untuk masuk jurusan hukum lalu menjadi pengacara dan masuk jurusan medis lalu menjadi dokter.

"Lebih sulit untuk mendapatkan masuk ke program pendidikan guru Universitas Helsinki (tingkat penerimaan 6,8 persen) daripada program hukum (tingkat penerimaan 8,3%) atau program medis (tingkat penerimaan 7,3 persen) pada 2016," ujarnya.

Hal yang diungkap oleh Sari ini, senada dengan apa yang ditulis oleh The Guardian pada 17 Juni 2015, lewat tulisan berjudul 'Highly trained, respected and free: why Finland's teachers are different'. Artikel itu mengungkap rahasia mengapa Finlandia memiliki kualitas guru yang berbeda dengan negara lain.

Artikel itu mengambil contoh apa yang terjadi di Sekolah pelatihan guru Viikki di Helsinki Timur. Di sana digambarkan bahwa guru layaknya sebuah laboratorium yang harus melakukan penelitian terus-menerus. Mereka mempelajari beragam teori dan mencoba mempraktikknya. Sistem seperti ini dinilai setara dengan rumah sakit pendidikan universitas untuk mahasiswa kedokteran.

"Ini adalah salah satu cara kami menunjukkan betapa kami sangat menghargai pengajaran. Ini sama pentingnya dengan melatih dokter," kata Kepala Sekolah pelatihan guru Viikki, Kimmo Koskinen.

Sebelumnya, dalam peringatan Hari Guru Nasional, Mendikbud Nadiem Makariem berbicara tentang pergerakan guru. Guru inilah yang dianggap sebagai faktor penting dalam proses reformasi pendidikan.

"Hari Guru Nasional ini suatu hari yang sangat bermakna karena nggak ada artinya apa pun reformasi pendidikan tanpa pergerakan guru. Guru adalah mulainya dan akhirnya itu ada di guru. Itu yang sebenarnya esensi daripada pidato hari ini gitu. Ada dua sih poin yang penting. Satu adalah mereka belajar dan yang kedua adalah guru penggerak," kata Nadiem di Kemdikbud, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (25/11/2019).

Nadiem juga mengatakan setiap guru harus menjadi penggerak dalam dunia pendidikan. Selain itu, kata dia, guru harus belajar berinovasi dalam mengajar.

"Melakukan berbagai macam inovasi dan nggak semua inovasi itu harus sukses, itu namanya kuncinya inovasi. Dan banyak dari inovasi yang kita coba, kita eksperimen mungkin nggak terlalu berhasil. Tapi kita terus mencoba agar kita mengetahui apa yang pas untuk sekolah kita, untuk lingkungan kita," tuturnya.