Kamis, 12 Desember 2019

Nyam... Nikmatnya Ramen Halal Ichiran di Jepang

Bagi traveler muslim yang ingin menjajal ramen di Jepang, bisa coba mampir ke Ichiran Ramen di Shinjuku. Wisata kuliner di sini dijamin halal dan enak, termasuk ramen halal.

Di negeri asalnya Jepang, kuliner ramen pada dasarnya lebih identik dengan bahan baku daging babi yang tentu saja tak ramah travelir muslim. Tapi tak usah khawatir, ada kok penjual ramen di Tokyo yang punya label halal.

Berlokasi di Gedung Otakibashi Pacifica 1F, 7-10-18 Nishi-Shinjuku, Shinjuku-ku, Tokyo, berdiri Tennen Tonkotsu Ramen Senmonten Ichiran yang menyajikan ramen halal nan nikmat. detikcom sempat berkunjung ke sana, Senin (9/12/2019) kemarin.

Di tengah udara dingin dan rintik hujan di Tokyo, ramen Ichiran Jepang yang halal ibarat oase yang begitu menggugah air liur. Tak pikir panjang, kaki pun segera dilangkahkan ke kedai ramen populer tersebut.

Untuk informasi, Ichiran sebenarnya bukan pemain baru di industri ramen Jepang. Sebelumnya, Ichiran punya 30an lebih kedai ramen dengan nama serupa. Hanya saja, mayoritas yang dijual masih mengandung babi.

Namun, pada Februari 2019 lalu brand Ichiran mulai memperkenalkan alternatif no-pork ramen atau ramen halal di gerainya yang salah satunya terletak di Shinjuku.

Hal ini dilakukan guna mengakomodasi selera pencinta ramen non-babi. Sebagai gantinya, Ichiran akan menggunakan kaldu berbahan ayam. Topping chashu babi panggang pun ikut diganti dengan lembaran daging sapi.

Di sisi lain, Ichiran mengakui inovasi ini juga dipengaruhi kunjungan turis Muslim Asia Tenggara yang meningkat pesat ke Jepang. Untuk memenuhi standar makanan tanpa babi bagi mereka, Ichiran pun perlahan mengembangkan dan menguji coba pembuatan kaldu tanpa daging babi dalam 2 dekade terakhir.

Hal itu pun tampak lewat banner Ichiran berukuran raksasa di depan tokonya dengan tulisan No-pork Ramen. Masuk ke dalam, tulisan no-pork pun kembali menginformasikan para pengunjung yang datang.

Hanya tak seperti rumah makan umumnya, kamu harus memilih menu lewat mesin otomatis. Layaknya vending machine, kamu pun harus memasukkan uang sejumlah yang kamu pesan ke mesin itu untuk melakukan transaksi.

Setelah beres, pengunjung akan diminta memilih tempat di salah satu bilik kayu yang tersedia. Sekilas, mengingatkan akan warnet zaman dulu yang sangat personal.

Di meja, pengunjung pun kembali dihadapkan pada kertas berisi aneka informasi penunjang ramen. Mulai dari karakteristik kuah, tingkat kepedasan sampai tambahan topping, semua bisa kamu set sesuai selera tanpa tambahan biaya. Menarik!

Usai mengisi kertas preferensi ramen, tak berapa lama ramen pilihan segera terhidang di depan meja. Otomatis, tangan pun langsung menyendok dan menyeruput kuah kaldu ramen yang sedikit kental sesuai preferensi rasa saya.

Soal rasa bagaimana? Mungkin sedikit jauh beberapa tingkat dari sejumlah gerai ramen yang pernah saya rasakan di Jakarta. Kaldunya tidak tebal, tapi sangat kaya dan begitu nikmat di lidah. Topping suwiran daging sapi hingga bumbu cabai pun kian menyemarakkan ramen yang terhidang panas tersebut. Nikmat luar biasa!

Apabila ingin mencoba, sediakan uang tunai senilai 1.180 Yen atau sekitar Rp 152 ribu untuk seporsi ramen halal standar Ichiran. Harganya memang lumayan, tapi setara dengan kenikmatan yang bakal kamu dapatkan.

Rabu, 11 Desember 2019

Menguak Aokigahara, Hutan Bunuh Diri di Jepang

Aokigahara disebut sebagai salah satu tempat terseram di dunia dari Jepang. Inilah hutan yang sering jadi lokasi bunuh diri!

Aokigahara terletak di bagian barat laut Gunung Fuji, sekitar 100 kilometer sebelah barat Tokyo. Dengan luas 30 kilometer persegi, hutan tersebut cukup subur akibat curahan lahar yang berasal dari Gunung Fuji ketika gunung tersebut meletus tahun 864.

Namun, bukan keindahannya yang membuat Aokigahara terkenal mendunia. Melainkan, hutan ini terkenal sebagai tempat bunuh diri paling favorit bagi warga Jepang.

Aokigahara mulai pamor pada tahun 1961. Kala itu, Tower of Waves, novel karya Seicho Matsumoto terbitan 1961 berisi aksi bunuh diri sepasang kekasih di Hutan Aokigahara

Buku lain, The Complete Manual of Suicide (1993) karya Wataru Tsurumi, menggambarkan Aokigahara sebagai 'tempat sempurna untuk meninggal dunia'. Buku-buku itu terjual jutaan eksemplar.

Beberapa film juga mengambil popularitas Aokigahara. Ada setidaknya dua film yang terinspirasi oleh reputasi Aokigahara, yakni Sea of Trees (2015), yang dibintangi Mathhew McConaughey, dan film horor The Forest yang dirilis 2016 lalu. Ada pula sejumlah acara televisi yang membahas Aokigahara di sejumlah negara.

Menilik lebih jauh ke belakang, hutan Aokigahara diyakini dulu pernah menjadi tempat untuk tradisi 'Ubasute'. Tradisi ini yakni 'membuang' orang-orang tua atau manula yang sudah sakit-sakitan. Para manula tersebut ditinggalkan di Aokigahara, sampai meninggal dunia.

Oleh sebab itu, masyarakat Jepang percaya, ada banyak sekali arwah-arwah gentayangan di sana. Arwah-arwah yang akan mengajak untuk mati!

Menurut laporan pemerintah Jepang, lebih dari 100 orang melakukan bunuh diri di Aokigahara antara 2013 dan 2015. 100 Orang tersebut pun berasal dari luar wilayah Tokyo, yang artinya memang niat melakukan aksi bunuh diri di Aokigahara.

"Tidak mengherankan kalau menemukan jenazah di sana," terang profesor antropologi dari Jepang, Karen Nakamura seperti dilansir dari CNN.

Mengapa orang Jepang ingin bunuh diri di Aokigahara?

"Banyak orang telah bunuh diri di Aokigahara, dengan begitu Anda tidak akan mati sendirian. Itu sebabnya, orang-orang mau bunuh diri di sana karena bagaikan ada teman atau orang-orang lain yang mendukungnya," jawab Nakamura.

Usut punya usut, Jepang masuk dalam datar negara maju dengan angka bunuh diri tertinggi. Menurut laporan World Health Organization (WHO), ada 15 kasus bunuh diri per 100.000 populasi yang dipecah menjadi 9 untuk wanita dan 21 untuk pria.

"Bunuh diri adalah fenomena yang sangat kompleks dengan banyak faktor," tegas Nakamura.

Berbagai analisis menunjukkan, penyebab bunuh diri di Jepang adalah krisis ekonomi yang melanda negara itu pada akhir 1990-an. Studi lain menyebut, seiring perkembangan zaman kini faktor bunuh diri di Jepang dikarenakan akademis, depresi, terlalu banyak pekerjaan, finansial, dan pengangguran.

"Bagi orang Jepang, bunuh diri dianggap keputusan yang rasional. Salah satu syarat untuk bunuh diri adalah 'jiketsu,' yang berarti memutuskan sendiri," kata Nakamura.

Pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Sudah dari 10 tahun silam, pemerintah Jepang memasang rambu-rambu larangan bunuh diri, petugas hutan, sampai kamera pengawas di Aokigahara. Supaya mencegah, setidaknya mengurangi angka orang-orang yang bunuh diri di sana.