Kamis, 12 Desember 2019

Hary Tanoe-Sariaatmadja Kerja Sama Bikin 'Netflix' Lokal

PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) bekerja sama dengan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) untuk membentuk anak usaha. Anak usaha hasil patungan dua rakasas media RI ini bakal memproduksi konten dan teater seperti yang saat ini sudah banyak tersedia.

Sederhanya seperti wadah produksi dan penayangan film digital semacam Netflix. Bedanya, konten yang diproduksi akan lebih menonjolkan konten lokal di Indonesia.

"Dengan inisiatif strategis ini, perusahaan menggabungkan kapabilitas produksi konten dan kekuatan media akan memungkinkan kami untuk mendorong pertumbuhan konten lokal dan ekosistem kreatif ke tingkat berikutnya, mempersiapkan diri untuk merangkul era tanpa batas global," kata Presiden Direktur SCMA, Sutanto Hartono dalam konferensi pers, di Djakarta Theater Kamis (12/12/2019).

Dia menjelaskan nantinya perusahaan akan membawa dukungan pemasaran penuh mereka dari berbagai aset media yang mereka miliki, dan bila mungkin, memprioritaskan penggunaan konten yang didedikasikan bersama OTT asli dan film teater dalam portofolio medianya.

Sementara itu, Presiden Direktur MNCN David Fermando Audy menyebutkan MNCN dan SCMA akan membahas lebih lanjut untuk mengidentifikasi area kolaborasi yang dapat memberikan konten lokal dan ekosistem media yang lebih kuat, yang akan bermanfaat bagi pertumbuhan konten lokal Indonesia khususnya dan industri kreatif dan media secara umum.

"Tujuan kami sederhana, dalam semangat Nasionalisme, kami berdua ingin perusahaan nasional Indonesia ingin menjadi pemenang di negara asal kami, dan menjadikan Indonesia tidak hanya menjadi pasar target penjualan oleh perusahaan global tetapi juga tetap kuat sebagai negara dengan banyak perusahaan lokal, nasional, dan Indonesia sebagai pemain dominan," tutupnya.

Helmy Yahya Punya 1 Bulan untuk Bela Diri Sebelum Dicopot dari TVRI

Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI menyatakan pemberhentian sementara atas Direktur Utama (Dirut) Helmy Yahya. Keputusan tersebut dilayangkan pada Helmy melalui Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) No. 241/DEWAS/TVRI/2019 per tanggal 4 Desember 2019.

Meski telah melayangkan keputusan itu, Dewas memberikan kesempatan untuk Helmy memberikan jawabannya atau pembelaannya selama 1 bulan ke depan, tepatnya hingga 4 Januari 2019. Menurut Anggota Dewas TVRI Maryuni Kabul Budiono, langkah Dewas itu sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005.

"Kami menunggu jawabannya. Dia mengirim jawaban. Lalu kan di dalam PP itu, ketika kita memberikan SPRP, direksi harus menjawab 1 bulan," tutur Kabul ketika ditemui detikcom di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Nantinya, ketika Helmy sudah memberikan jawaban pada 4 Januari itu, Dewas akan mempelajarinya. Dewas pun punya tenggat waktu 2 bulan untuk memberikan keputusan. Jika dalam 2 bulan Dewas tak memutuskan apa-apa, maka pemberhentian Helmy dari jabatan Dirut batal.

"Setelah itu Dewas mempelajari, lalu mengambil sikap atas jawaban itu. Kalau 2 bulan kami tidak mengambil sikap, berarti kan bagus. Tapi kan kalau kami menjawab, ya kami melihat isinya apa," ungkap Kabul.

Ia pun meminta agar Helmy menjawab SPRP tersebut sebaik mungkin. Kabul menegaskan, keputusan final tergantung pada jawaban Helmy.

"Nah itu harus dijawab dengan baik. Nanti kita pertimbangkan. Hasilnya seperti apa ya tergantung jawaban dari direksi," imbuh dia.

Akan tetapi, Kabul sendiri tak bisa membeberkan alasan Dewas mencopot Helmy dari jabatan Dirut. Menurutnya, hal tersebut merupakan persoalan internal.

"Terkait dengan itu saya harus menyampaikan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan SPRP, saya tidak bisa menyampaikan. Tapi yang perlu kami sampaikan adalah, ini merupakan suatu proses internal. Kami sepakat untuk menyelesaikan ini secara internal, dengan baik-baik. Kami belum bisa menyampaikan ini kepada masyarakat, dan kami minta untuk tidak melihat ini sebagai konflik. Tapi sebagai proses menuju LPP yang lebih baik," tutup Kabul.

Mahfud: Hukuman Mati untuk Koruptor Ada UU-nya, Pak Jokowi Benar

Menko Polhukam Mahfud Md menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang wacana hukuman mati untuk koruptor sudah tepat. Mahfud mengatakan sudah ada landasan hukum yang mengatur hukuman mati itu.

"Hukuman mati untuk koruptor kan sudah ada UU-nya. Jadi benar Pak Jokowi itu. Sudah ada UU-nya, tapi belum pernah dilaksanakan," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).

Mahfud mengatakan eksekusi hukuman mati merupakan urusan pengadilan. Kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati, kata Mahfud, bukan dari pemerintah.

"Ya kalau hukuman mati gampang. Jangan tanya eksekusinya, tanya kapan itu dijatuhkan. Itu nanti pengadilan dong. Bukan pemerintah. Nggak boleh Pak Jokowi menjatuhkan hukuman mati. Itu pengadilan. Kalau pengadilannya nggak jatuhkan, nggak bisa," ujar dia.

Mahfud lantas menjelaskan dasar aturan seorang koruptor bisa divonis mati. Menurut dia, hukuman mati bisa dijatuhkan kepada seseorang yang berulang kali korupsi dan korupsi terhadap dana bencana.

"Orang koruptor bisa dijatuhi hukuman mati kalau dua hal. Satu, pengulangan korupsi, dua, dilakukan terhadap dana-dana bencana. Nah, kalau itu bisa dijatuhi hukuman mati. Tinggal hakim mau menjatuhkan nggak," tuturnya.

Di Indonesia sebetulnya telah lama memiliki aturan pidana mati bagi koruptor. Aturan itu tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat 2 tersebut mengatur hukuman bagi koruptor, di mana hukuman mati menjadi salah satu opsinya. Pasal 2 UU tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Presiden Jokowi sebelumnya bicara perihal hukuman mati koruptor seusai acara peringatan Hari Antikorupsi di SMKN 57 Jakarta. Namun dia menyebut hukuman mati bagi koruptor bisa saja dimasukkan ke revisi UU terkait jika ada kehendak masyarakat.

"Itu yang pertama kehendak masyarakat. Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana, tipikor itu dimasukkan, tapi sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," ujar Jokowi, Senin (9/12).

Jokowi Restui Nadiem Makarim Hapus Ujian Nasional Mulai 2021

Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara mengenai ujian nasional yang dihapus mulai tahun 2021. Dengan demikian, pihak sekolah yang akan diasesmen untuk dijadikan bahan evaluasi.

"Artinya sudah tidak ada UN lagi tahun 2021. Akan diganti dengan asesmen kompetensi. Artinya yang diasesmen adalah sekolah, guru. Dan juga ada yang namanya survei karakter. Dari situ bisa dijadikan evaluasi," ujar Jokowi usai peresmian Tol Jakarta-Cikampek Elevated, Kamis (12/12/2019).

Kebijakan itu diambil Mendikbud Nadiem Makarim. Jokowi mendukung kebijakan tersebut.

"Pendidikan kita sampai ke level mana. Nanti sudah dihitung saya kira kita mendukung apa yang sudah diputuskan mendikbud," katanya.