Kamis, 12 Desember 2019

Arcandra Tahar Jadi Dirut PGN?

Nama Arcandra Tahar kembali hangat diperbincangkan pelaku pasar. Kabarnya, mantan wakil menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) itu jadi kandidat direktur utama (dirut) PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) alias PGN.

Spekulasi tersebut merebak setelah perseroan berencana menyelenggarakan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 21 Januari 2020.

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, spekulasi Arcandra sebagai Dirut PGN merebak setelah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan akan menempatkan satu mantan wakil menteri di posisi penting perusahaan BUMN.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan ada masih ada mantan yang akan mengisi posisi di perusahaan BUMN yang akan menggelar RUPSLB.

"Ada, ada. [Mantan] Wamen. Ada wamen [mantan] akan dapat tempat," kata Arya di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (9/12/2019).

Kisi-kisi tersebut mengarah ke Arcandra, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Arya sebenarnya tak menyebutkan secara rinci jika Arcandra akan ditempatkan pada BUMN tertentu.

Namun dihubungkan ke PGN karena akan menggelar RUPSLB. Arcandra adalah Wamen ESDM periode Oktober 2016-Oktober 2019 dan Menteri ESDM periode Juli 2016-Agustus 2016

Dalam informasi di BEI, PGN akan menggelar RUPSLB pada 21 Januari 2020 dengan agenda perubahan susunan pengurus perusahaan.

Pada RUPSLB 30 Agustus silam, baru terjadi pergantian pengurus sebagai tindak lanjut dari permintaan induk holding BUMN Migas yakni Pertamina tertanggal 12 Juli 2019. Saat itu terdapat tiga posisi direksi yang diganti yakni Direktur Keuangan yang sebelumnya dijabat Said Reza Pahlevy digantikan Arie Nobelta Kaban.

Lalu Direktur Komersial sebelumnya dijabat Danny Praditya digantikan oleh Dilo Seno Widagdo, mantan Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN.

Kemudian Direktur Infrastruktur dan Teknologi dijabat oleh Redy Ferryanto. Selain direksi, RUPSLB juga mengganti komisaris yaitu Mohamad Ikhsan digantikan oleh Christian H Sibiro. Adapun Direktur Utama PGN tetap dijabat Gigih Prakoso Soewarto.

Harga Gas Industri Disebut Tak Sesuai Aturan Main, Ini Kata PGN

 Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan gas industri masih dijual di atas US$ 6 per MMBTU. Padahal Peraturan Presiden Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi diatur untuk sektor industri tertentu senilai US$ 6 per MMBTU.

Dirut PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) Gigih Prakoso menjelaskan bahwa harga gas yang diatur dalam Perpres 40/2016 adalah yang dijual langsung oleh produsen di hulu. Sementara PGN adalah trader atau pemain di sektor hilir.

"Dalam hal ini Perpres 40 itu mekanismenya berbeda karena dia diberlakukan untuk penjualan langsung dari produser. Itu perusahaan KKKS. Jadi kalau diberikan US$ 6 itu si industrinya harus ngambil langsung atau berkontrak langsung dengan perusahaan KKKS, bukan dengan PGN," kata dia saat dihubungi detikcom, Selasa (10/12/2019).

PGN, lanjut dia adalah trader yang membeli gas dari hulu lalu menjual ke industri. Dari hulu, pihaknya membeli di atas harga US$ 6 per MMBTU. Jadi PGN menjual di atas harga tersebut karena ada biaya distribusi dan lain sebagainya untuk sampai ke industri.

"Kalau kami kan semacam perusahaan trader ya. Jadi kita membeli dari hulu baru menjual. Kita membeli di hulu saja sudah US$ 6, bahkan US$ 7 di Jawa Timur," ujarnya.

Jadi dengan menjual di atas US$ 6 per MMBTU, pihaknya tidak melanggar aturan main Perpres 40/2016 karena memang regulasi tersebut tidak mengikat PGN sebagai penjual di sektor hilir.

"Nah Perpres 40 itu diberikan khusus kepada industri dengan harga khusus tapi dia harus berkontrak langsung dengan produsen gas," tambahnya.

Sebelumnya Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan gas industri masih dijual di atas US$ 6 per MMBTU untuk industri yang seharusnya mendapatkan harga tersebut.

"Dalam perpres tersebut sudah ditetapkan harga gas industri itu seharusnya U$S 6. Tapi sekarang pada kenyataannya masih di atas harga yang sudah ditetapkan tersebut," kata dia di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Hary Tanoe-Sariaatmadja Kerja Sama Bikin 'Netflix' Lokal

PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) bekerja sama dengan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) untuk membentuk anak usaha. Anak usaha hasil patungan dua rakasas media RI ini bakal memproduksi konten dan teater seperti yang saat ini sudah banyak tersedia.

Sederhanya seperti wadah produksi dan penayangan film digital semacam Netflix. Bedanya, konten yang diproduksi akan lebih menonjolkan konten lokal di Indonesia.

"Dengan inisiatif strategis ini, perusahaan menggabungkan kapabilitas produksi konten dan kekuatan media akan memungkinkan kami untuk mendorong pertumbuhan konten lokal dan ekosistem kreatif ke tingkat berikutnya, mempersiapkan diri untuk merangkul era tanpa batas global," kata Presiden Direktur SCMA, Sutanto Hartono dalam konferensi pers, di Djakarta Theater Kamis (12/12/2019).

Dia menjelaskan nantinya perusahaan akan membawa dukungan pemasaran penuh mereka dari berbagai aset media yang mereka miliki, dan bila mungkin, memprioritaskan penggunaan konten yang didedikasikan bersama OTT asli dan film teater dalam portofolio medianya.

Sementara itu, Presiden Direktur MNCN David Fermando Audy menyebutkan MNCN dan SCMA akan membahas lebih lanjut untuk mengidentifikasi area kolaborasi yang dapat memberikan konten lokal dan ekosistem media yang lebih kuat, yang akan bermanfaat bagi pertumbuhan konten lokal Indonesia khususnya dan industri kreatif dan media secara umum.

"Tujuan kami sederhana, dalam semangat Nasionalisme, kami berdua ingin perusahaan nasional Indonesia ingin menjadi pemenang di negara asal kami, dan menjadikan Indonesia tidak hanya menjadi pasar target penjualan oleh perusahaan global tetapi juga tetap kuat sebagai negara dengan banyak perusahaan lokal, nasional, dan Indonesia sebagai pemain dominan," tutupnya.

Helmy Yahya Punya 1 Bulan untuk Bela Diri Sebelum Dicopot dari TVRI

Dewan Pengawas (Dewas) Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI menyatakan pemberhentian sementara atas Direktur Utama (Dirut) Helmy Yahya. Keputusan tersebut dilayangkan pada Helmy melalui Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) No. 241/DEWAS/TVRI/2019 per tanggal 4 Desember 2019.

Meski telah melayangkan keputusan itu, Dewas memberikan kesempatan untuk Helmy memberikan jawabannya atau pembelaannya selama 1 bulan ke depan, tepatnya hingga 4 Januari 2019. Menurut Anggota Dewas TVRI Maryuni Kabul Budiono, langkah Dewas itu sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005.

"Kami menunggu jawabannya. Dia mengirim jawaban. Lalu kan di dalam PP itu, ketika kita memberikan SPRP, direksi harus menjawab 1 bulan," tutur Kabul ketika ditemui detikcom di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Nantinya, ketika Helmy sudah memberikan jawaban pada 4 Januari itu, Dewas akan mempelajarinya. Dewas pun punya tenggat waktu 2 bulan untuk memberikan keputusan. Jika dalam 2 bulan Dewas tak memutuskan apa-apa, maka pemberhentian Helmy dari jabatan Dirut batal.

"Setelah itu Dewas mempelajari, lalu mengambil sikap atas jawaban itu. Kalau 2 bulan kami tidak mengambil sikap, berarti kan bagus. Tapi kan kalau kami menjawab, ya kami melihat isinya apa," ungkap Kabul.

Ia pun meminta agar Helmy menjawab SPRP tersebut sebaik mungkin. Kabul menegaskan, keputusan final tergantung pada jawaban Helmy.

"Nah itu harus dijawab dengan baik. Nanti kita pertimbangkan. Hasilnya seperti apa ya tergantung jawaban dari direksi," imbuh dia.

Akan tetapi, Kabul sendiri tak bisa membeberkan alasan Dewas mencopot Helmy dari jabatan Dirut. Menurutnya, hal tersebut merupakan persoalan internal.

"Terkait dengan itu saya harus menyampaikan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan SPRP, saya tidak bisa menyampaikan. Tapi yang perlu kami sampaikan adalah, ini merupakan suatu proses internal. Kami sepakat untuk menyelesaikan ini secara internal, dengan baik-baik. Kami belum bisa menyampaikan ini kepada masyarakat, dan kami minta untuk tidak melihat ini sebagai konflik. Tapi sebagai proses menuju LPP yang lebih baik," tutup Kabul.