Jumat, 20 Desember 2019

Jalan Panjang Menaklukkan Rantemario, Gunung Tertinggi di Sulawesi

 Jalur Tolajuk adalah jalur baru wisata pendakian Gunung Rantemario, puncak tertinggi di Pulau Sulawesi. Traveler yang mengaku pecinta alam wajib coba!

Jalur baru ini dikenal dengan sebutan jalur timur. Puncak Rantemario sendiri termasuk dalam salah satu Seven Summit Indonesia.

Menginap di Rumah Nenek Kalobang

Kisah Petualangan pembukaan jalur timur pendakian yang dimulai dari Desa Tolajuk (Kabupaten Luwu) hingga ke titik tertinggi Sulawesi, Gunung Rantemario (3447 mdpl) adalah sejarah baru pendakian sekaligus literasi kehidupan bagi para petualang.

Semoga saja jalur lintasannya memberi kesan terbaik, sama seperti mendaki Rantemario jalur Desa Karangan, Enrekang. Kisah pendakian ini dimulai dari Desa Tolajuk Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu sebagai titik awal pendakian.

Berikut kisahnya:

Satu jam lagi benang sore akan putus. Kabut tipis mulai turun. Cahaya matahari melemah, menghantam kaca mobil yang telah membawa kami tiba di Desa Tolajuk. Mobil itu terparkir di depan sebuah rumah panggung. Modelnya gagah. Tinggi menjulang. Bercat orange. Halamannya dipenuhi deretan bunga "tabang" yang daunnya merah.

Kami turun bersamaan peralatan dan perlengkapan pendakian yang telah terpacking dalam carriel. Oh iya, kami berjumlah 12 orang. Sebelas orang bernaung dalam organisasi Pecinta Alam Aktivitas Anak Rimba (AKAR) Indonesia dan seorang lagi seorang penggagas jalur timur Tolajuk-Rantemario sekaligus kami angkat sebagai leader dalam pendakian kali ini.

Dari 12 orang tersebut, satu pendaki cilik usia 6 tahun turut ambil bagian dalam pembukaan jalur yang kami target rampung selama 4 hari.

Di ujung tangga kami disambut ramah tuan rumah dan menyilahkan kami masuk duduk melingkar di lantai beralas tikar plastik. Kami beramah tamah sambil menikmati kopi panas khas Latimojong dipadu kue tradisional yang digoreng berbahan terigu dan gula saja. Sungguh nikmat di tengah cuaca dingin.

Kami bercerita banyak. Didominasi tuan rumah. Bermula ia memperkenalkan diri. Namanya Haji Majonni. Penduduk sekitar menyebutnya dengan sebutan Nenek Kalobang. Usianya sudah mencapai 92 tahun. Namun kondisi fisiknya jauh menggambarkan usia yang sesungguhnya.

Nenek Kalobang masih terlihat bugar dan menurutnya masih aktif menggarap sawah yang menghampar di kiri-kanan rumahnya. Cukup luas. Dua tangannya juga masih lincah menggiring dua kerbau miliknya.

Nenek Kalobang adalah mantan kepala desa selama beberapa periode di Desa Tolajuk. Sebagai tetua kampung, nenek Kalobang tahu betul sejarah Tolajuk. Menurutnya, sebutan Tolajuk diartikan sebagai orang tinggi.

Entah secara harfiahnya begitu atau lebih dimaknai posisi Tolajuk yang memang berada di ketinggian. Tolajuk kini dihuni sekitar 60 kepala keluarga yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian sawah dan perkebunan kopi.

Cukup lama kami berbincang hingga cerita Nenek Kalobang harus menemui ujung. Azan magrib berkumandang dari bukit sebelah. Kami bergegas wudu, shalat berjamaah di tengah suhu dingin yang menusuk. Usai shalat, menu makan malam dihidang. Nikmat kami bersantap nasi panas, cobek lombok dan ikan asin.

Malam itu kami beristirahat lebih awal. Stamina tubuh harus kami jaga dengan baik sebab besok adalah awal dimulainya pembukaan jalur pendakian. Kami pun rebahan, membincang sedikit tentang rencana pendakian.

Dingin terus mengusik lalu mengakrabi mata mengajaknya menutup pelan-pelan. (Bersambung)...

Liburan ke Cirebon, Wajib Coba Kuliner Nasi Lengko

Berkunjung ke Cirebon dan kulineran di sana, tentunya yang terbersit di pikiran adalah Empal Gentong atau Nasi Jamblang. Tapi, jangan lupakan Nasi Lengko!

Iya, memang harus diakui, dua masakan khas Cirebon ini memang lebih terkenal. Empal Gentong bahkan sudah dijual bukan hanya di Cirebon.

Tapi, khusus Nasi Jamblang, memang cuma di Cirebon saja yang menjual. Yang menjual nasi Jamblang, ada Bu Nur, Mang Doel dan lainnya.

Namun, selain dua masakan khas Cirebon tersebut, ada satu lagi makanan khas Cirebon yang ternyata enak. Saya diberitahu oleh Pengemudi Taksi Online yang saya tumpangi ketika berkunjung ke Cirebon.

Makanan tersebut adalah Nasi Lengko. Setelah berkeliling Cirebon dan memutuskan untuk ke Stasiun karena harus berpindah kota, akhirnya saya dan teman saya menemukan tempat makan nasi Lengko di dekat Stasiun Cirebon.

Ada semacam pertokoan di depan Stasiun. Cukup berjalan kaki saja. Dan kami pun memesan Makanan khas cirebon ini.

Sebenarnya apa sih Nasi Lengko?

Nasi Lengko adalah Nasi Putih, dengan lauk tempe dan tahu yang digoreng dan dipotong kecil-kecil berukuran dadu. Ada juga timun dan daun kucai dan tauge.

Cara penyajiannya adalah tahu, tempe, timun dan tauge ini setelah dipotong-potong, disiram dengan bumbu kacang dan ditaburi dengan daun kucai.

Bumbu kacang ini, rasanya seperti bumbu kacang di Sate Ayam. Bumbu kacang dengan tauge, tahu dan tempe ini, membuat Nasi Lengko sedap untuk disantap. Selain itu juga, tentunya makanan ini kaya akan protein.

Soal harga, Nasi Lengko ini juga murah. Satu piring dihargai dengan sepuluh ribuan saja. Tidak mahal bukan? Nah, kalau kita mampir ke Cirebon, jangan cuma menyantap Nasi Jamblang saja. Ada nasi Lengko.

Jalan Panjang Menaklukkan Rantemario, Gunung Tertinggi di Sulawesi

Jalur Tolajuk adalah jalur baru wisata pendakian Gunung Rantemario, puncak tertinggi di Pulau Sulawesi. Traveler yang mengaku pecinta alam wajib coba!

Jalur baru ini dikenal dengan sebutan jalur timur. Puncak Rantemario sendiri termasuk dalam salah satu Seven Summit Indonesia.

Menginap di Rumah Nenek Kalobang

Kisah Petualangan pembukaan jalur timur pendakian yang dimulai dari Desa Tolajuk (Kabupaten Luwu) hingga ke titik tertinggi Sulawesi, Gunung Rantemario (3447 mdpl) adalah sejarah baru pendakian sekaligus literasi kehidupan bagi para petualang.

Semoga saja jalur lintasannya memberi kesan terbaik, sama seperti mendaki Rantemario jalur Desa Karangan, Enrekang. Kisah pendakian ini dimulai dari Desa Tolajuk Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu sebagai titik awal pendakian.

Berikut kisahnya:

Satu jam lagi benang sore akan putus. Kabut tipis mulai turun. Cahaya matahari melemah, menghantam kaca mobil yang telah membawa kami tiba di Desa Tolajuk. Mobil itu terparkir di depan sebuah rumah panggung. Modelnya gagah. Tinggi menjulang. Bercat orange. Halamannya dipenuhi deretan bunga "tabang" yang daunnya merah.

Kami turun bersamaan peralatan dan perlengkapan pendakian yang telah terpacking dalam carriel. Oh iya, kami berjumlah 12 orang. Sebelas orang bernaung dalam organisasi Pecinta Alam Aktivitas Anak Rimba (AKAR) Indonesia dan seorang lagi seorang penggagas jalur timur Tolajuk-Rantemario sekaligus kami angkat sebagai leader dalam pendakian kali ini.

Dari 12 orang tersebut, satu pendaki cilik usia 6 tahun turut ambil bagian dalam pembukaan jalur yang kami target rampung selama 4 hari.

Di ujung tangga kami disambut ramah tuan rumah dan menyilahkan kami masuk duduk melingkar di lantai beralas tikar plastik. Kami beramah tamah sambil menikmati kopi panas khas Latimojong dipadu kue tradisional yang digoreng berbahan terigu dan gula saja. Sungguh nikmat di tengah cuaca dingin.

Kami bercerita banyak. Didominasi tuan rumah. Bermula ia memperkenalkan diri. Namanya Haji Majonni. Penduduk sekitar menyebutnya dengan sebutan Nenek Kalobang. Usianya sudah mencapai 92 tahun. Namun kondisi fisiknya jauh menggambarkan usia yang sesungguhnya.

Nenek Kalobang masih terlihat bugar dan menurutnya masih aktif menggarap sawah yang menghampar di kiri-kanan rumahnya. Cukup luas. Dua tangannya juga masih lincah menggiring dua kerbau miliknya.

Nenek Kalobang adalah mantan kepala desa selama beberapa periode di Desa Tolajuk. Sebagai tetua kampung, nenek Kalobang tahu betul sejarah Tolajuk. Menurutnya, sebutan Tolajuk diartikan sebagai orang tinggi.