Jumat, 20 Desember 2019

Melihat Kota Lama Semarang yang Lebih Bagus dari Kota Tua Jakarta

 Setelah direvitalisasi, kawasan Kota Lama Semarang kini sudah rapi dan indah. Kawasan ini jauh lebih bagus dari Kota Tua Jakarta yang kotor dan semrawut.

Kembali ke Semarang, seperti membuka kenangan lama ketika masih bersama almarhum bapak. Setiap mudik Lebaran, pasti kami selalu mampir ke kota di ujung utara Jawa dan menjadi ibukota propinsi Jawa Tengah ini.

Memasuki musim panas, hawa panas menyengat khas kota pesisir segera menyergap. Dengan menggunakan jalur darat dan masuk tol Cipali, Jakarta - Semarang dapat ditempuh selama 6 jam, dari sebelumnya non tol bisa memakan waktu 12 jam.

Dengan semakin mudahnya akses darat dengan mobil atau kereta, dan akses udara melalui pesawat, kota Semarang menjadi tujuan wisata baru. Terbukti dengan semakin penuhnya pemesanan kereta Jakarta - Semarang (PP).

Ada banyak yang bisa dilakukan traveler di kota pelabuhan tua ini. Salah satunya yaitu wisata ke Kota Lama. Dari kawasan pusat oleh-oleh khas Semarang yaitu di Jalan Pandanaran, Kota Lama bisa ditempuh hanya dengan waktu 10 menit saja.

Pertama kali, kami berkunjung sabtu malam minggu. Pukul 8 malam, kawasan Kota Lama Semarang tersebut sudah ramai dengan para wisatawan asing dan lokal. Macet pun menerjang ketika memasuki jalan utama kota lama yang tidak terlalu lebar.

Bagi yang menggunakan mobil pribadi, agak sulit untuk menemukan parkir mobil, karena dilarang parkir sembarangan di kawasan ini. Hanya ada beberapa lokasi parkir mobil dan motor. Selebihnya pengunjung kota lama harus berjalan kaki untuk menikmati suasana sekitar.

Akhirnya kami hanya bisa menikmati suasana kota lama yang cantik di malam hari dari dalam mobil. Minggu pagi pukul 9, kami segera bergegas kembali ke kawasan Kota Lama dan pilihan kami benar. Suasana kota lama Semarang lebih lengang dan kami bisa parkir di kawasan yang telah ditentukan dengan jarak hanya 100 meter dari lokasi Gereja Blendoeg yang menjadi ikon kota lama tersebut.

Dulu waktu saya masih kecil, masih ingat betul suasana kota lama yang lusuh dan tidak terawat. Bangunan kunonya seperti sedang menunggu untuk hancur atau dihancurkan serta diganti dengan bangunan baru.

Kini kawasan kota lama Semarang masih dalam revitalisasi. Sejumlah jalan sudah dirapikan, pedestrian pun makin ciamik dan dibatasi dengan rantai besi agar motor tidak parkir sembarangan, serta penjaja makanan tidak seenaknya saja berjualan.

Gedung tua sudah beralih fungsi dan dihidupkan kembali menjadi restoran dan yang paling hits menjadi kedai kopi. Beberapa kedai kopi menjadi tempat nongkrong yang instagenic dan mengasyikan. Salah satunya kedai kopi Filosofi Kopi & Keris Cafe.

Taman Sri Gunting yang nyaman dan rindang menjadi oase tersendiri di kota lama. Beberapa manusia silver siap untuk difoto bersama dan jangan lupa sisihkan sedikit uang atas jas mereka.

Gereja Blendoeg dengan atap kubahnya yang unik, bangunan Spiegel yang kini beralih fungsi menjadi restauran serta bangunan Marba dengan dindingnya yang berwarna merah menjadi spot Instagenic.

Belum lagi pemerintah kota Semarang yang menjadikan kawasan kota lama menjadi kawasan kreatif. Bayangkan ketika ekonomi rakyat diaktifkan dari kota lama ini. Salah satu bangunan lama, menjadi pusat kreatif UKM, di dalamnya kita bisa membeli sejumlah kerajinan tangan buatan lokal dengan harga terjangkau.

Kota Lama Semarang lebih menarik dibandingkan dengan kota tua Jakarta, lebih rapi dan bersih. Jalanan pun lebih tertata dan sangat menarik sekali, sementara kota tua Jakarta jauh tertinggal.

Revitalisasi kedua kota ini masih berjalan, tetapi kota lama Semarang sudah lari di depan, sementara kota tua Jakarta masih jalan di tempat. Beberapa area masih sangat kotor dan semrawut, pedestrian belum tertata rapi padahal kawasan kota tua Jakarta luasnya 2x dibandingkan Semarang. Belajarlah Jakarta dari Semarang!

Liburan ke Cirebon, Wajib Coba Kuliner Nasi Lengko

Berkunjung ke Cirebon dan kulineran di sana, tentunya yang terbersit di pikiran adalah Empal Gentong atau Nasi Jamblang. Tapi, jangan lupakan Nasi Lengko!

Iya, memang harus diakui, dua masakan khas Cirebon ini memang lebih terkenal. Empal Gentong bahkan sudah dijual bukan hanya di Cirebon.

Tapi, khusus Nasi Jamblang, memang cuma di Cirebon saja yang menjual. Yang menjual nasi Jamblang, ada Bu Nur, Mang Doel dan lainnya.

Namun, selain dua masakan khas Cirebon tersebut, ada satu lagi makanan khas Cirebon yang ternyata enak. Saya diberitahu oleh Pengemudi Taksi Online yang saya tumpangi ketika berkunjung ke Cirebon.

Makanan tersebut adalah Nasi Lengko. Setelah berkeliling Cirebon dan memutuskan untuk ke Stasiun karena harus berpindah kota, akhirnya saya dan teman saya menemukan tempat makan nasi Lengko di dekat Stasiun Cirebon.

Ada semacam pertokoan di depan Stasiun. Cukup berjalan kaki saja. Dan kami pun memesan Makanan khas cirebon ini.

Sebenarnya apa sih Nasi Lengko?

Nasi Lengko adalah Nasi Putih, dengan lauk tempe dan tahu yang digoreng dan dipotong kecil-kecil berukuran dadu. Ada juga timun dan daun kucai dan tauge.

Cara penyajiannya adalah tahu, tempe, timun dan tauge ini setelah dipotong-potong, disiram dengan bumbu kacang dan ditaburi dengan daun kucai.

Bumbu kacang ini, rasanya seperti bumbu kacang di Sate Ayam. Bumbu kacang dengan tauge, tahu dan tempe ini, membuat Nasi Lengko sedap untuk disantap. Selain itu juga, tentunya makanan ini kaya akan protein.

Soal harga, Nasi Lengko ini juga murah. Satu piring dihargai dengan sepuluh ribuan saja. Tidak mahal bukan? Nah, kalau kita mampir ke Cirebon, jangan cuma menyantap Nasi Jamblang saja. Ada nasi Lengko.

Jalan Panjang Menaklukkan Rantemario, Gunung Tertinggi di Sulawesi

Jalur Tolajuk adalah jalur baru wisata pendakian Gunung Rantemario, puncak tertinggi di Pulau Sulawesi. Traveler yang mengaku pecinta alam wajib coba!

Jalur baru ini dikenal dengan sebutan jalur timur. Puncak Rantemario sendiri termasuk dalam salah satu Seven Summit Indonesia.

Menginap di Rumah Nenek Kalobang

Kisah Petualangan pembukaan jalur timur pendakian yang dimulai dari Desa Tolajuk (Kabupaten Luwu) hingga ke titik tertinggi Sulawesi, Gunung Rantemario (3447 mdpl) adalah sejarah baru pendakian sekaligus literasi kehidupan bagi para petualang.

Semoga saja jalur lintasannya memberi kesan terbaik, sama seperti mendaki Rantemario jalur Desa Karangan, Enrekang. Kisah pendakian ini dimulai dari Desa Tolajuk Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu sebagai titik awal pendakian.

Berikut kisahnya:

Satu jam lagi benang sore akan putus. Kabut tipis mulai turun. Cahaya matahari melemah, menghantam kaca mobil yang telah membawa kami tiba di Desa Tolajuk. Mobil itu terparkir di depan sebuah rumah panggung. Modelnya gagah. Tinggi menjulang. Bercat orange. Halamannya dipenuhi deretan bunga "tabang" yang daunnya merah.

Kami turun bersamaan peralatan dan perlengkapan pendakian yang telah terpacking dalam carriel. Oh iya, kami berjumlah 12 orang. Sebelas orang bernaung dalam organisasi Pecinta Alam Aktivitas Anak Rimba (AKAR) Indonesia dan seorang lagi seorang penggagas jalur timur Tolajuk-Rantemario sekaligus kami angkat sebagai leader dalam pendakian kali ini.

Dari 12 orang tersebut, satu pendaki cilik usia 6 tahun turut ambil bagian dalam pembukaan jalur yang kami target rampung selama 4 hari.

Di ujung tangga kami disambut ramah tuan rumah dan menyilahkan kami masuk duduk melingkar di lantai beralas tikar plastik. Kami beramah tamah sambil menikmati kopi panas khas Latimojong dipadu kue tradisional yang digoreng berbahan terigu dan gula saja. Sungguh nikmat di tengah cuaca dingin.

Kami bercerita banyak. Didominasi tuan rumah. Bermula ia memperkenalkan diri. Namanya Haji Majonni. Penduduk sekitar menyebutnya dengan sebutan Nenek Kalobang. Usianya sudah mencapai 92 tahun. Namun kondisi fisiknya jauh menggambarkan usia yang sesungguhnya.

Nenek Kalobang masih terlihat bugar dan menurutnya masih aktif menggarap sawah yang menghampar di kiri-kanan rumahnya. Cukup luas. Dua tangannya juga masih lincah menggiring dua kerbau miliknya.

Nenek Kalobang adalah mantan kepala desa selama beberapa periode di Desa Tolajuk. Sebagai tetua kampung, nenek Kalobang tahu betul sejarah Tolajuk. Menurutnya, sebutan Tolajuk diartikan sebagai orang tinggi.