Jumat, 03 Januari 2020

Ekspedisi Air Terjun di Balik Temuan 100 Kubik Kayu Ilegal di Tambora

Di balik tersohornya nama Gunung Tambora, terdapat aktivitas Illegal Logging yang bikin miris. Begini kisah di balik temuan 100 kubik kayu ilegal di Tambora.

Gunung Tambora adalah salah satu gunung yang menjadi primadona para pendaki dii Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, Gunung Tambora adalah salah satu geopark yang juga menjadi salah satu Cagar Biosfer Dunia.

Namun illegal logging, sangat marak dan menggerogoti kekayaan Tambora sisa dari letusan maha dasyat yang terjadi pada tahun 1815 silam.

Baru-baru ini, tepatnya Senin (29/7) lalu, tim gabungan TNI Polri dan pemerintah yang melakukan patroli menemukan tumpukan kayu hasil olahan jenis duabangga (Kalanggo) yang diduga hasil pembalakan liar di tengah hutan Tambora yang lokasinya sekitar 20 Kilometer dari pemukiman warga.

Di balik temuan kayu-kayu tersebut tersimpan cerita dari sekelompok pemuda yang melakukan ekspedisi menuju air terjun Rempa Peo.

Cerita ini berawal dari adanya pertemuan para pemuda lokal Tambora dengan kawanan peduli wisata Dompu pada Minggu, (21/7) lalu. Mereka melakukan ekspedisi menuju Air Terjun Rempa Peo di Desa Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Air Terjun Rempa Peo adalah air terjun yang berada di pedalaman hutan, di air terjun ini banyak sekali ditemukan ayam hutan, bahkan untuk menangkapnya, cukup dengan menendangkan kaki. Selain berekspedisi air terjun, para pemuda ini juga melakukan eksplorasi jalur baru untuk pendakian Gunung Tambora dari Dusun Garuda Desa Pancasila ini.

Pemuda lokal Tambora, Ari (nama samaran), memimpin perjalanan ekspedisi tersebut. Perjalanan dimulai dari titik kumpul dengan menaiki motor menuju ke dalam hutan.

Anang dan beberapa rekan pemuda peduli wisata Dompu, memiliki ekspektasi tinggi bahwa kawasan Air Terjun Rempa Peo akan memiliki nilai jual wisata bagi masyarakat sekitar.

Tim ekspedisi menaiki 5 motor. Di awal perjalanan, mereka melewati perkebunan kopi dan lahan jagung warga, lalu menemukan wilayah perkebunan pepaya. Setelah melewati perkebunan kopi, tim mulai merasa ada yang tidak beres dengan lokasi yang akan mereka kunjungi.

"Sejak dari perkebunan kopi, kami sudah melihat kondisi pembabatan hutan. Hal itu tentu di luar ekspektasi saya, tapi saya tetap berpikir positif, ini mungkin karena dekat pemukiman warga jadi bisa saja kawasan hutan produksi," ungkap Anang saat berbincang-bincang dengan wartawan beberapa waktu lalu.

Kawasan Hutan Tambora yang luas membuat tim mendambakan perjalanan yang berbeda dibandingkan dengan jalur pendakian melalui Desa Pancasila yang menurutnya telah mengalami kerusakan lingkungan.

Namun semakin masuk ke dalam hutan, Anang pun kaget melihat kondisi hutan yang rusak. Pepohonan tumbang diselingi beberapa pohon, lalu ada lagi yang tumbang, begitu seterusnya. Batang-batang pohon berdiameter melebihi pelukan orang dewasa tumbang begitu saja.

Anang mengaku, setelah tim ekspedisi mencapai titik penyimpanan motor, yaitu di lokasi mata air, ada pemuda lokal yang mengatakan sudah ada desa di kaki Gunung Tambora yang mulai membeli air untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Pohon yang sengaja ditumbangkan sebagai cara menandai kepemilikan terhadap kayunya, jadi ditumbangkan terlebih dahulu baru dalam beberapa waktu akan diambil kembali.

"Sekitar 5 motor masuk ke dalam hutan hingga mencapai titik mata air pertama. Nah, di mata air ini anak-anak Tambora ini mulai bercerita kalau di Desa Pancasila sudah tersebar isu warga membeli air untuk kebutuhan hidup padahal mereka tinggal di dekat hutan yang memiliki banyak mata air," terang Anang.

Musisi Indie Nosstress Pukau Wisatawan Milenial di Buleleng Festival

Kehadiran musisi Indie asal Bali Nosstress memukau ribuan pengunjung yang hadir di Buleleng Festival 2019. Lagu 'Mengawali Hari' dan beberapa lagu hits lainnya mampu menghanyutkan suasana malam para milenial di Buleleng, Bali.

Gitaris dan Vokalis Nosstress Band Angga pun mengapresiasi antusiasme pengunjung positif di Buleleng Festival 2019 ini.

"Kontennya bagus dengan beragam seni dan budaya. Selain Bali, kekayaan daerah lain juga ditampilkan. Sukses untuk Buleleng Festival dan ke depannya semakin meriah lagi," kata Angga, dalam keterangan tertulis, Kamis (8/8/2019).

Nosstress Band terbentuk sejak 2008. Ada beberapa album yang telah dirilis. Album pertama Nosstress Band dirilis pada tahun 2011. Judulnya, Perspektif Bodoh Vol 1. Berikutnya disusul Album kedua Perspektif Bodoh Vol 2, Viva Fair Trade, dan Ini Bukan Nosstress.

"Banyaknya milenial di sini bagus untuk masa depan pariwisata Buleleng. Seni dan budayanya selalu diterima. Dan, seluruh elemen ada dalam satu event Buleleng Festival. Pariwisata suatu daerah akan berkembang jika semua saling bahu membahu," kata Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kepariwisataan Kementerian Pariwisata Ni Wayan Giri Adnyani.

Tampilnya band lokal ini mampu menaikkan pesona Buleleng Festival. Sehingga menjadi magnet efektif untuk menarik kunjungan wisatawan. Sebab, band lokal tentunya mempunyai basis fans yang kuat. Bupati Buleleng Agus Putu Suradnyana mengatakan musik menjadi bahasa universal yang diterima seluruh generasi.

"Buleleng Festival tahun ini kami kemas dengan nuansa berbeda. Selain menampilkan berbagai tari-tarian, beberapa band lokal kami ajak untuk mengisi acara ini. Selain band lokal yang tampil di hari pertama, hari kedua nanti ada penampilan indah, dan lirik romantis ala Anji Manji," kata Agus.

Pada waktu bersamaan, Ketua Tim Pelaksana CoE Kemenpar Esthy Reko Astuty menjelaskan Buleleng Festival banyak menginspirasi seluruh generasi. Diberikannya slot bagi band lokal terbukti ampuh guna menarik kunjungan wisatawan milenial.

"Potensi pasar milenial di Bali dan wilayah lain di Nusantara sangat besar. Tampilnya Nosstress Band ini tentu bagus. Apalagi, mereka sangat populer terutama di Bali. Kami optimistis, Buleleng Festival akan semakin banyak menyerap pasar milenial termasuk wismannya," jelas Esthy.

"Market milenial menjanjikan. Indonesia memiliki potensi pertumbuhan milenial 82 Juta orang. Untuk kawasan Asia, Tiongkok berada di slot atas dengan potensi market hingga 333 Juta orang milenial," imbuhnya.

Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani menerangkan pasar milenial menyukai keunikan.

"Buleleng Festival dengan format live music seperti unik. Wajar bila milenial banyak yang begabung di sini. Dengan beragamnya genre musik dan penyanyi yang ditampilkan, festival ini akan terus menarik kunjungan kaum milenial," tuturnya.

Banyaknya pengunjung dan optimalnya pasar milenial, Buleleng Festival pun mendapatkan apresiasi. Menteri Pariwisata Arief Yahya pun menegaskan, pasar milenial tetap berpotensi menggerakkan industri pariwisata.

"Menyertakan live music dalam sebuah event sangat positif. Pergerakan wisatawan akan efektif, termasuk milenialnya. Mereka efektif untuk branding karena suka meng-upload ke media sosial," tutupnya.