Minggu, 12 Januari 2020

Eksotisme Candi Palah dalam Balutan Purnama Seruling Penataran

Eksotisme Candi Palah dieksplorasi dalam balutan pertunjukan seni tari dan musik. Disorot cahaya lampu, dikemas dalam sajian Purnama Seruling Penataran (PSP).

Disebut Purnama Seruling Penataran karena moment sinar bulan pada saat purnama, sebagai saat yang tepat menggelar pertunjukan seni kolosal. Ketua pelaksana, Wima Brahmantya menyebut, cahaya bulan purnama memancarkan energi positif untuk pertunjukan karya tari ini.

"Bulan purnama itu memancarkan energi positif. Semoga energi positif ini bisa kita serap bersama. Sambil menikmati kolaborasi penampilan seniman tari dan musik lokal dan internasional," kata Wima pada detikcom, Selasa (16/7/2019).

PSP digelar sejak tahun 2010. Untuk tahun ini menghadirkan Jaranan Pegon Blitar, Barongsai dan Liong Klenteng Poo An Kiong dan Barong dari Sanggar Mega Mendung Budaya yang mewakili penampil lokal. Meski berasal dari Blitar, Barongsai dan Liong Klenteng Poo An Kiong adalah representasi kesenian Nusantara. Sementara dari mancanegara akan hadir Rodrigo Parejo (Spanyol) dan Yuliana Meneses Orduno (Meksiko).

Dipilihnya Candi Palah atau Penataran, karena candi yang terletak di lereng Gunung Kelud ini merupakan simbol kemegahan dan kejayaan Nusantara.

"Lewat event kesenian ini, kami ingin menguatkan jati diri bangsa. Dengan beragam budaya dan kekayaan warisan leluhur, kami ingin tunjukkan kemegahan Candi Palah ini dimata dunia sambil menikmati kolaborasi seni yang disajikan," imbuh Wima.

Purnama Seruling Penataran kali ini bertema Bubhuksah Dan Gagang Aking. Tari tradisional kontemporer yang menceritakan salah satu relief yang terdapat pada pendopo teras Candi Palah. Cerita tersebut tentang perjalanan spiritual dua anak manusia hingga mencapai nirwana.

"Ini juga menceritakan dua tokoh bangsa saat ini. Bubhuksah itu badannya gemuk. Sedangkan Gagang Aking tubuhnya kurus. Kedua tokoh ini ingin kebaikan bagi bangsa. Namun memamg harus ada yang ikhlas berkorban untuk kepentingan bangsa," tuturnya.

Ratusan penonton tampak menikmati pertunjukan ini. Di bawah terang sinar purnama dan perpaduan lighting beraneka warna, gerakan tari terlihat semakin indah dipandang.

Dengan latar belakang Candi Palah yang megah. Ribuan lampu lentera yang dipajang di setiap sudut candi, membuat suasana semakin syahdu. Walaupun suhu udara di Candi Palah Nglegok ini cukup dingin, namun pengunjung tak beranjak sampai pertunjukan usai.

"Saya kebetulan penganten baru. Ini ingin menikmati suasana romantis di sini. Kabarnya pertunjukan ini hanya ada di Blitar," kata Ninda penonton dari Surabaya.

Memang tak hanya warga Blitar yang menonton. Ratusan penonton ini juga datang Malang, Tulungagung, Kediri dan Surabaya. Bahkan ada wisatawan mancanegara ikut menikmati pertunjukan Purnama Seruling Penataran ini.

Ibadah yang Nyaman di Masjidil Haram

 Bagi traveler Muslim, perjalanan ke Masjidil Haram adalah perjalanan istimewa, baik dalam rangka beribadah haji maupun umrah. Ibadah di sana sungguh nikmat.

Agar bisa beribadah dengan nyaman di Masjidil Haram, ada beberapa tips yang bisa di coba. Pertama, Thawaf di lantai atas, jamaa umumnya memilih lantai dasar untuk melaksanakan Thawaf dengan alasan lebih dekat dengan Kabah.

Namun , jika situasi penuh dan berdesakan, jamaah bisa melaksanakan Thawaf di lantai atas, atau bersamaan dengan para pengguna kursi roda. Jamaah bisa lebih leluasa dalam melaksanakan Thawaf dan tidak berdesak-desakan. Thawaf di lantai atas memakan waktu sekitar 40 hingga 50 menit.

Kemudian, pilih Waktu Thawaf yang tepat. Jika kondisi fisik cukup kuat, haji maupun umrah bisa melaksanakan Thawaf 2x dalam sehari. Waktunya? Sebenarnya Thawaf bisa dilakukan kapan saja, tapi lebih nyaman jika melaksanakan Thawaf di pagi hari setelah salat Subuh atau malam hari setelah Isya. Pada waktu pagi cuaca tidak begitu panas dan kondisi badan masih segar.

Selanjutnya, Sa'i di lantai atas tidak banyak yang tahu. Ada lebih dari satu tempat Sa'i di Masjidil Haram. Tempat sa'i yang sangat ramai ada di lantai bawah. Adapun tempat Sa'i di lantai atas relatif sepi dan lengang.

Untuk menghindari keramaian dan situasi berdesak-desakan, jamaah haji maupun umrah sebaiknya memilih Sa'i di lantai atas.

Selanjutnya, membawa alas kaki ke dalam masjid Sebelum masuk Masjidil Haram. Sebaiknya jamaah menyimpan alas kaki dalam tas dan membawanya masuk dalam masjid. Hal ini menghindari hilang atau tertukarnya alas kaki. Walaupun disediakan rak tempat alas kaki di dekat pintu masuk, sebaiknya alas kaki tetap dibawa karena belum tentu jamaah melalui pintu yang sama saat keluar masjid.

Jika memerlukan kantong plastik, jamaah bisa mendapatkannya dari askar atau mengambil di roll yang ada di tepi jalan sebelah Al Sofwah Tower, tak jauh dari Pintu Ajyad.

Selamat beribadah di Masjidil Haram!

Siapa yang Tak Kangen Naik Gunung Papandayan?

Jawa Barat punya banyak bentangan alam yang indah. Salah satunya Gunung Papandayan, yang selalu bikin rindu.

Minggu lalu, rasa penat sudah menyelimuti saya, istri dan teman kerja. Seperti biasa, rencana matang disiapkan untuk traveling singkat ini. Hari yang dinanti pun tiba.

Berangkat dari Pasar Rebo Jakarta pukul 22.00, kami naik bus Karunia Bakti jurusan Singaparna. Tidak perlu khawatir, bus ini akan singgah masuk ke terminal Garut yang menjadi tujuan kami. Dengan biaya Rp 52 ribu, bus ini sangat saya rekomendasikan. Perjalanan dirasa cukup panjang, namun ada fasilitas film dan AC yang membuat kami cukup nyaman dan sesekali terlelap dari macetnya jalur tersebut.

Tiba di Garut pukul 04.00 WIB, kami tidak terburu-buru. Segelas teh hangat dan beberapa gorengan kami pilih sebagai isi waktu dan perut. Selepas Subuh, kami langsung ditawari angkutan umum jurusan Cisurupan dengan harga Rp 25 ribu. Sepakat, dan pukul 05.30 WIB kami berangkat. 1 Jam perjalanan dengan kondisi jalan yang cukup terbilang bagus.

Sesampainya di Cisurupan, beberapa orang langsung berlari menghampiri kami, mereka sangat mengerti jika Weekend adalah waktu pendaki banyak datang ke daerah tersebut. Tawar-menawar pun terjadi, dengan harga Rp 25 ribu kami naik ojek untuk ke pintu pendakian Gunung Papandayan. Hanya butuh 25 menit, jalan menanjak dan berliku sangat seru, ketimbang menunggu losbak dan beberapa pendaki lain hingga penuh.

Membayar biaya masuk untuk datang ke kawasan wisata ini per orang 30 ribu. Jika hendak bermalam, tambahan biaya harus kalian keluarkan sebesar Rp 35 ribu. Ini harga untuk wisatawan lokal, jangan tanya harga mancanegara, berkali lipat.

Lanjut untuk registrasi pendakian dan lapor jumlah pendaki, setelahnya kami kembali menikmati teh hangat sambil memastikan tidak ada yang kurang sebelum trekking.

Pukul 08.30 WIB kami bergegas, pagi itu terbilang sepi untuk sebuah kawasan wisata. Langkah demi langkah santai sambil sesekali bercengkerama untuk menutupi napas yang mulai tak beraturan iramanya. Tapi tenang, jalur Papandayan terbilang landai. Beberapa pos kami lewati sambil mengambil sejumlah jepretan untuk kami abadikan.

Selama trekking kalian akan banyak menemukan ojek ataupun grup motor trail ke arah atas. Mungkin ada pro dan kontra pastinya dari hal tersebut, ya anggap saja sebagai pembeda dari gunung lainnya. Tak terasa 2,5 jam kami berjalan santai, tiba juga di Pos pendakian Ghober Hoet. Setelah lapor dan banyak mendapatkan informasi, kami memilih untuk bertendaan disini.

Selain pos lapor pendakian, mushola, toilet, dan warung di Ghober Hoet. Kami agak bergeser sedikit untuk mendapatkan spot terbaik saat matahari terbit esok. Buka tenda, masak omelette ala pendaki dan menyesap coklat hangat kami jadikan acara siang itu. Hingga tak terasa terlelap dalam kantuk yang menghinggapi kami.

Malam tiba, suasana ternyata menjadi lebih ramai. Beberapa tenda berdampingan dengan tenda kami. Beberapa lainnya pun sudah membuat api unggun. Sudah lama rasanya dingin ini tak kami rasakan.

Pukul 19.00 kami membuat shabu sebagai makan malam. Sesekali lepas dari kata "gembel" pendaki boleh lah. Beberapa bahan makanan yang sudah tak beku dan beberapa bumbu kami masukkan. Wah hangat dan lezat terasa sambil ditemani jutaan bintang karena langit sangat cerah.

Obrolan santai dan serius tentang kehidupan sebagai isi dalam tenda malam itu. Semakin larut, badan ini butuh rebahan walau alas semakin dingin kami rasakan. Terlelap.

Pukul 04.00 sudah ramai suara diluar tenda yang hendak melihat guratan warna oranye dari langit timur. Indah memang, terbayar peluh yang menetes kemarin siang berjalan. Semua tumpah dalam keceriaan.

Pukul 08.00 kami membuat sandwich sebagai menu sarapan, dan pukul 09.30 WIB kami sudah bersiap turun dengan melewati Pondok Saladah serta Hutan Mati. Sesekali mengambil foto, sayang drone yang saya mainkan kemarin baterainya habis duluan. Terus turun, tak terasa kami sudah tiba di pintu pendakian dengan waktu 2 jam.

Berbeda saat naik, kondisi kawasan parkir di hari minggu sangat penuh. Beberapa plat dari luar daerah justru yang menjadi pengisi tempat tersebut. Singkat memang, namun cukup membuat kami bugar sebelum memulai hari dengan rutinitas Jakarta.

Apakah kalian tertarik?