Minggu, 26 Januari 2020

Menikmati Keindahan Atap Bumi Pasundan

 Jawa Barat punya Taman Nasional Gunung Ciremai. Menjadi atap dari Bumi Pasundan, pemandangan dari puncak ini begitu indah untuk dilewatkan.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan napak tilas ke gunung dengan ketinggian 3078 mdpl ini. Taman Nasional Gunung Ciremai berada di antara dua Kabupaten, Kuningan dan Majalengka.

Ada tiga jalur resmi yang bisa digunakan, yaitu Apuy, Palutungan dan Linggarjati. Saya dan tim memilih jalur Palutungan yang tergolong menengah jika dibandingkan kedua jalur lainnya.

Setelah perjalanan sekitar 5-6 jam dari Jakarta, pukul 05.00 WIB kami sampai di Kabupaten Kuningan dan sampai di basecamp Pos PPGC Palutungan. Sebelum mendaki, kami mengisi tenaga dengan sarapan, lalu repacking dan briefing dengan peserta. Diawali doa dan semangat, pendakian pun dimulai pada jam 09.00 WIB.

Awal pendakian dari basecamp menuju Pintu Gerbang Jalur Palutungan, trek masih didominasi perumahan warga, aspal, ladang, kandang sapi dan ternak. Sampai di gerbang kami menuju Pos 1 - Cigowong yang tergolong landai namun panjang dan sesekali menanjak.

Setelah treking selama hampir 2 jam, kami sampai di Cigowong dan mengisi perbekalan air karena di sinilah mata air terakhir sebelum sampai atas. Warung yang bisa digunakan pendaki untuk beristirahat juga hanya ada di Cigowong.

Selanjutnya, kami menghadapi trek sesungguhnya yang didominasi trek menanjak dengan kontur tanah, bebatuan dan akar pohon. Kami melewati Kuta (Pos 2), Pangguyangan Badak (Pos 3) dan Arban (Pos 4) sebelum melewati Tanjakan Asoy (Pos 5) dengan trek curam dan jurang menganga di sisinya.

Setelah 4-5 jam mendaki (sejak dari Pos 1 - Cigowong), akhirnya kami sampai di Pos 6, Pasanggrahan 1 yang dipilih sebagai lokasi kemping. Kami pun beristirahat dan mengisi tenaga untuk summit besok pagi.

Jam 04.30 WIB kami memulai pendakian summit meski meleset dari rencana awal dimana kami akan summit pukul tiga pagi. Melewati Pos 7, Sanghyang Ropoh kami sampai di batas vegetasi dimana pohon-pohon tinggi sudah tidak mendominasi.

Dalam perjalanan kami melewati Simpang Apuy yang merupakan pertigaan jalur Apuy dan Palutungan sebelum sampai puncak dan Pos 8, Goa Walet. Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai ke puncak, atap tertinggi bumi pasundan dengan ketinggian 3078 mdpl.

Beruntunglah saat itu cuaca cerah, kami pun menikmati momen di puncak sambil berfoto. Pemandangan awan serta kawah menjadi saksi perjuangan kami untuk mencapai tempat ini. Rasa syukur tak henti-hentinya diucapkan karena menyadari betapa kecilnya kami di hadapan Sang Pencipta dengan segala ciptaanNya.

Mendaki gunung memang memberikan pelajaran dan pengalaman berharga. Menjejaki tanah selangkah demi langkah, melewati rintangan berbatu hingga akhirnya menyaksikan keindahan alam dari atas puncak. Mereka yang belum sampai puncak patut diberikan apresiasi atas semangat juangnya hingga mampu melangkah sejauh ini.

Bagi mereka yang berhasil summit, perjuangan belum usai karena masih ada puncak gunung lain yang lebih tinggi yang memanggil. Nikmatilah setiap perjalanan, karena tujuan dari mendaki gunung adalah pulang ke rumah dengan selamat, puncak hanyalah bonus. Jadilah pendaki yang tunduk saat mendaki, dan tegak kala menurun. Salam lestari.

Ngabuburit di Ketinggian 99 Meter Surabaya

 Surabaya punya masjid untuk ngabuburit, Masjdi Al Akbar. Bisa memandangan keindahan kota Surabaya dan punya mihrab terbesar di Indonesia, kamu pasti terpesona.

Kala itu di tahun 2002, perjalanan panjang kami dari Jakarta menuju ke Probolinggo harus terhenti di Masjdi Al Akbar yang tepat berada disisi jalan tol Surabaya-Porong. Kami sekeluarga pun beristirahat dimasjid tersebut sambil menunaikan ibadah sholat. 17 tahun telah berlalu tanpa terasa dan kini dibulan Ramadhan 2019, alhamdullilah saya bisa berkunjung kembali ke masjid ini.

Kekaguman akan luasnya masjid ini dan memang saat ini menjadi masjid terluas kedua di Indonesia serta bisa menampung 60.000 jamaah. Setelah sholat azhar, saya menyempatkan diri mengabadikan setiap sisi masjid ini.

Berkeliling dari satu sisi kesisi lain, menikmati setiap keindahan dari ornamen yg terukir baik dipintu maupun dinding masjid.

Kubah berwarna biru mendominasi atap dari masjid megah tersebut, ada satu kubah utama yang sangat besar dan dikelilingi oleh 4 kubah kecil. Memasuki bulan Ramadhan, banyak pengunjung yang beritikaf atau bahkan beristirahat melepas lelah.

Masjid ini diresmikan pada tahun 2000 dan memakan waktu pembangunan hampir 5 tahun, diresmikan secara resmi oleh Presiden RI KH Abdurrahman Wahid.

Keunikan dari kubah tersebut, memiliki desain kubah ala Ottoman dengan ketinggian 27 meter dan dominasi warna biru. Arsitektur masjid ini, dirancang oleh tim ITS (Institut Teknologi Surabaya) dan beberap konsultan lainnya.

Keunikan lainnya, masjid ini memiliki 2000 tiang pancang sebagai pondasi dikarenakan tanah yang labil. Rangka kubah dibuat dengan sistim space frame, menggunakan bahan besi baja dgn sistim chremon atau struktur segitiga yang disambung-sambung. S

elanjutnya kubah dibentuk diatas rangka atap dengan bentangan utama berukueran 54 x 54 m tanpa ada soko guru atau tiang penyangga. Bobot kubah hampir mencapai 200 ton dan ddilapisi oleh plat baja coating yg tahan karat hingga 50 tahun lebih. Kelebihan lainnya, plafon kubah dilapisi dengan bahan kedap suara sehingga akuitik bangunan masjid ini juga sangat baik.

Ada 45 pintu dengan bukaan ganda dengan lebar 1,5 meter dan tinggi 4,5 meter, semua pintu terbuat dari kayu jati khusus. Sementara untuk mihrab, saat ini merupakan mihrab terbesar di Indonesia, ornamen madura diberikan sebagai sentuhan etnis terutama pada sisi mimbar.

Keunikan lainnya lagi yaitu menara masjid, sebuah menara setinggi 99 meter. Menara ini dilengkapi oleh lift agar para pengunjung bisa naik untuk menikmati keindahan masjid dan pemandangan kota Surabaya 360 derajat.

Pengunjung hanya cukup membayar tiket naik sebesar Rp 7.000 per orang. Pengunjung bisa berfoto-foto sepuasnya dipuncak menara. Jadi apabila Anda sedang berencana mudik atau liburan ke Surabaya, sempatkan berkunjung ke masjid yang megah ini.

Menikmati Keindahan Atap Bumi Pasundan

 Jawa Barat punya Taman Nasional Gunung Ciremai. Menjadi atap dari Bumi Pasundan, pemandangan dari puncak ini begitu indah untuk dilewatkan.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan napak tilas ke gunung dengan ketinggian 3078 mdpl ini. Taman Nasional Gunung Ciremai berada di antara dua Kabupaten, Kuningan dan Majalengka.

Ada tiga jalur resmi yang bisa digunakan, yaitu Apuy, Palutungan dan Linggarjati. Saya dan tim memilih jalur Palutungan yang tergolong menengah jika dibandingkan kedua jalur lainnya.

Setelah perjalanan sekitar 5-6 jam dari Jakarta, pukul 05.00 WIB kami sampai di Kabupaten Kuningan dan sampai di basecamp Pos PPGC Palutungan. Sebelum mendaki, kami mengisi tenaga dengan sarapan, lalu repacking dan briefing dengan peserta. Diawali doa dan semangat, pendakian pun dimulai pada jam 09.00 WIB.

Awal pendakian dari basecamp menuju Pintu Gerbang Jalur Palutungan, trek masih didominasi perumahan warga, aspal, ladang, kandang sapi dan ternak. Sampai di gerbang kami menuju Pos 1 - Cigowong yang tergolong landai namun panjang dan sesekali menanjak.

Setelah treking selama hampir 2 jam, kami sampai di Cigowong dan mengisi perbekalan air karena di sinilah mata air terakhir sebelum sampai atas. Warung yang bisa digunakan pendaki untuk beristirahat juga hanya ada di Cigowong.

Selanjutnya, kami menghadapi trek sesungguhnya yang didominasi trek menanjak dengan kontur tanah, bebatuan dan akar pohon. Kami melewati Kuta (Pos 2), Pangguyangan Badak (Pos 3) dan Arban (Pos 4) sebelum melewati Tanjakan Asoy (Pos 5) dengan trek curam dan jurang menganga di sisinya.

Setelah 4-5 jam mendaki (sejak dari Pos 1 - Cigowong), akhirnya kami sampai di Pos 6, Pasanggrahan 1 yang dipilih sebagai lokasi kemping. Kami pun beristirahat dan mengisi tenaga untuk summit besok pagi.