Kamis, 30 Januari 2020

Lawan Global Warming, China Bakal Bangun 'Kota Hutan'

Isu pemanasan global dan lingkungan menjadi masalah internasional. China pun membuat solusi, yakni kota yang mirip dengan hutan.

Dikumpulkan detikcom dari berbagai sumber, Kamis (2/5/2019) China akan membuat 'Kota Hutan' berlokasi di bagian selatan, yakni Liuzhou, 500 km dari Guangzhou. Kota juga akan diberikan nama 'Liuzhou Forest City'.

Kota ini didesain oleh perusahaan Italia Stefano Boeri Architetti, dengan luas total mendapai 342 hektare. Nantinya, akan ada 70 bangunan yang terdiri dari kantor, rumah, rumah sakit, hotel dan berbagai fasilitas publik lainnya.

Di saat negara lain melakukan pembangunan gedung-gedung bertingkat, China sudah memikirkan bagaimana caranya tetap membangun dengan membuatnya menjadi berkelanjutan. Rencananya, akan ada 40 ribu pohon yang ditanam, dan jutaan tanaman yang menghiasi bangunan.

Pihak Stefano Boeri mengatakan, pembangunan Liuzhou Forest City difungsikan untuk menyetarakan pembangunan dengan keseimbangan alam. Diharapkan, keberadaan jutaan tanaman dapat menyerap hingga 10 ribu ton karbondioksida dan 57 ton polutan per tahunnya. Tentunya, menghasilkan oksigen yang diharapkan mencapai 900 ton setiap tahunnya.

Nantinya, konsep pembangunan juga berencana untuk membuat kebun di langit. Gedung-gedung akan dihiasi tanaman, begitupun dengan berbagai fasilitas publik lainnya.

Bukan cuma untuk keberlangsungan manusia, tetapi diharapkan keberadaan Liuzhou Forest City dapat menurunkan suhu udara serta menyediakan habitat baru bagi satwa liar.

Langkah China untuk membuat kehidupan berkelanjutan memang bukan sekadar angan-angan. Buktinya, sejak 2016 lalu, pemerintah China sudah melarang pembangunan yang dianggap aneh. Dalam konteks ini, tidak memiliki karakter atau warisan budaya. Tetapi juga harus berguna bagi ekonomi, penghijauan dan estetika.

Ditambah, dengan penduduk China yang semakin membludak, kota ini bisa menampung tempat tinggal baru. Rencananya, konstruksi akan dibangun mulai tahun 2020 mendatang. Pihak desainer masih melakukan perencanaan dan penelitian yang mendalam sebelum membangun Liuzhou Forest City. 

Mengungkap Misteri Tarif Rendah Maskapai LCC Dunia

Apakah sepadan bila maskapai menerapkan biaya di bawah standar low cost carrier (LCC) atau sangat rendah? Bagaimana penjelasannya?

Dilansir CNN Travel, Kamis (2/5/2019), contoh pertama adalah penerbangan tujuh jam melintasi Atlantik dengan harga murah. Sebuah maskapai berbiaya rendah Norwegia terbang dari New York ke Madrid dengan harga USD 154 (Rp 2,2 juta) sekali jalan, termasuk pajak, lintas benua. Bayangkan!

Ongkos ini bukanlah anomali perjalanan, di lain sisi, maskapai seperti American Airlines dan Lufthansa berjuang menggaet penumpang. Mereka menawarkan tarif perjalanan pulang pergi antara berbagai kota di AS dan Eropa dengan harga di bawah USD 400 (Rp 5,7 juta).

Kata Gerald Cook, asisten profesor di Universitas Aeronautika Embry-Riddle, biaya opereasi dan tiket pesawat LCC hampir bisa disebut misterius. "Tiket murah sekali jalan ke Eropa itu tidak menguntungkan bagi maskapai manapun tetapi menambah total pendapatan penerbangan," jelas Cook.

Biaya penerbangan tidak didasarkan langsung pada biaya per kursi, menurut Cook. Total biaya untuk mengoperasikan penerbangan termasuk tagihan bahan bakar, gaji pilot dan awak kabin, biaya makanan dan pembersihan hingga pembayaran untuk pesawat bisa lebih dari USD 250 juta (Rp 3,5 triliun).

"Jadwal penerbangan diatur dua kali setahun. Biaya yang dihasilkan untuk penerbangan itu hampir pasti. Harga bahan bakar mungkin berubah, tapi itu bukan di bawah kendali maskapai," kata dia.

Maskapai Ryanair mengatakan bahwa tarif rata-rata tidak benar-benar menutupi biaya terbang penumpang. Meski demikian, itu sangat menguntungkan.

Buntut Kasus Pencabulan, Wagub Bali Usul Sertifikasi Pemandu

Pencabulan turis China (Sz) 20 oleh pemandu jetski di Tanjung Benoa berbuntut panjang. Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana (Cok Ace) meminta sertifikasi pemandu.

"Kepada teman-teman pengusaha dalam penerimaan pegawai khususnya yang berhubungan langsung dengan wisatawan perlu ada seleksi-seleksi lebih ketat, psikotes, dsb, saya kira perlu. Khususnya guide-guide yang melayani tamu sendiri dan karena jenis rekreasinya seperti itu (wisata air), memberi peluang kurang ajar," kata Cok Ace usai bertemu dengan Konjen China Gou Haodong di kantor Bali Tourism Board (BTB), Jl Raya Puputan Renon, Denpasar, Bali, Kamis (2/5/2019).

Kasus pencabulan pemandu jetski Mohamad Toha terhadap turis asal China itu terjadi Selasa (23/4) lalu di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali. Cok Ace tak menampik aksi pelecehan seperti itu rentan terjadi di dunia pariwisata.

"Sebenarnya saya lihat banyak usaha berisiko tinggi dan menyimpang banyak sekali. Tapi sekali lagi saya yakin pengelola perusahaan tidak ingin memberi peluang kesempatan bagi pegawai untuk berbuat tidak-tidak. Ini murni perbuatan oknum yang suka tidak suka mencoreng nama perusahaan dan pariwisata," sesalnya.

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Bali bersama Bali Tourism Board (BTB) atau Gabungan Pariwisata Indonesia tengah menyusun standar khusus bagi pariwisata di Bali. Diharapkan ini bisa membantu para turis untuk wisata aman dan nyaman sekaligus menghapus praktik curang yang dilakukan para pengusaha pariwisata di Pulau Dewata.

"Kita semua tentu tidak henti-hentinya menyampaikan perbaikan, menyusun standar-standar, dan kita sedang menyusun white list untuk perusahaan-perusahaan mana yang kita anggap recommended dan profesional," ujar Cok Ace.

Cok Ace pun berharap adanya sertifikasi tak hanya untuk pariwisata air tapi juga untuk semua bentuk jasa pariwisata di seluruh Bali. Dia optimistis sertifikasi ini menjadi nilai tambah dari promosi wisata bagi Bali.

"Semua yang berkompetensi yang punya potensi yang sangat dekat dengan konsumen, klien sangat diharapkan. Ini bagian promosi ke depan, perusahaan yang mempunyai sertifikasi terhadap karyawan-karyawan, bukan saja kemampuan teknis tapi juga orangnya. Saya kira ini akan sangat baik orang akan mencari obyek, jasa yang memberikan rasa aman dan nyaman," tuturnya.

Lawan Global Warming, China Bakal Bangun 'Kota Hutan'

Isu pemanasan global dan lingkungan menjadi masalah internasional. China pun membuat solusi, yakni kota yang mirip dengan hutan.

Dikumpulkan detikcom dari berbagai sumber, Kamis (2/5/2019) China akan membuat 'Kota Hutan' berlokasi di bagian selatan, yakni Liuzhou, 500 km dari Guangzhou. Kota juga akan diberikan nama 'Liuzhou Forest City'.

Kota ini didesain oleh perusahaan Italia Stefano Boeri Architetti, dengan luas total mendapai 342 hektare. Nantinya, akan ada 70 bangunan yang terdiri dari kantor, rumah, rumah sakit, hotel dan berbagai fasilitas publik lainnya.

Di saat negara lain melakukan pembangunan gedung-gedung bertingkat, China sudah memikirkan bagaimana caranya tetap membangun dengan membuatnya menjadi berkelanjutan. Rencananya, akan ada 40 ribu pohon yang ditanam, dan jutaan tanaman yang menghiasi bangunan.

Pihak Stefano Boeri mengatakan, pembangunan Liuzhou Forest City difungsikan untuk menyetarakan pembangunan dengan keseimbangan alam. Diharapkan, keberadaan jutaan tanaman dapat menyerap hingga 10 ribu ton karbondioksida dan 57 ton polutan per tahunnya. Tentunya, menghasilkan oksigen yang diharapkan mencapai 900 ton setiap tahunnya.

Nantinya, konsep pembangunan juga berencana untuk membuat kebun di langit. Gedung-gedung akan dihiasi tanaman, begitupun dengan berbagai fasilitas publik lainnya.

Bukan cuma untuk keberlangsungan manusia, tetapi diharapkan keberadaan Liuzhou Forest City dapat menurunkan suhu udara serta menyediakan habitat baru bagi satwa liar.

Langkah China untuk membuat kehidupan berkelanjutan memang bukan sekadar angan-angan. Buktinya, sejak 2016 lalu, pemerintah China sudah melarang pembangunan yang dianggap aneh. Dalam konteks ini, tidak memiliki karakter atau warisan budaya. Tetapi juga harus berguna bagi ekonomi, penghijauan dan estetika.