Selasa, 31 Maret 2020

Jokowi Tak Pilih Karantina Wilayah, Istana: Presiden Lihat Kekacauan di India

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih memilih kebijakan pembatasan sosial skala besar daripada karantina wilayah dalam penanganan virus Corona (COVID-19). Pihak Istana menjelaskan salah satu pertimbangan Jokowi adalah penerapan lockdown yang tidak efektif di India dan Italia.
"Kan sudah ada di dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Di sana kan ada urutannya tuh, karantina rumah, karantina rumah sakit, kemudian ada pembatasan sosial skala besar, baru kemudian karantina wilayah. Dan Presiden melihat kalau karantina wilayah itu dengan kasus saja India, kasus Italia, itu ternyata menimbulkan kekacauan sosial. Kalau tidak direncanakan secara terukur, mengingat contoh-contoh tersebut, Presiden menganggap Indonesia sekarang sudah cukup dengan pembatasan sosial dalam skala besar," kata juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, kepada wartawan, Senin (30/3/2020) malam.

Fadjroel mengatakan kebijakan pembatasan sosial skala besar ini sebenarnya diterapkan dalam dua pekan terakhir. Namun, kata Fadjroel, kali ini penerapan pembatasan sosial disertai dengan upaya pendisiplinan hukum.

"Itu sudah dijalankan hampir dua minggu ini. Kampanye social distancing itu kan sudah, pembatasan sosial, tapi di UU Nomor 6 Tahun 2018 yang ditandatangani Pak Jokowi juga, makanya sekarang sekolah diliburkan, kegiatan keagamaan. Oleh Pak Jokowi ditambah dengan pendisiplinan hukum melalui maklumat Kapolri itu. Jadi sebenarnya dari UU Nomor 6 Tahun 2018, yaitu pembatasan sosial berskala besar, terus ditambah maklumat Polri. Kalau orang melakukan kerumunan, itu bisa dibubarkan, melalui KUHP dan itu sampai hari Sabtu kemarin sudah hampir 10 ribuan kerumunan massa dibubarkan," ujar dia.

Menurut Fadjroel, Jokowi sudah merasa cukup dengan pembatasan sosial berskala besar. Selain itu, kata Fadjroel, penerapan darurat sipil merupakan opsi terakhir yang akan diambil pemerintah.

"Kenapa tidak masuk ke karantina wilayah, ya itu tadi Pak Jokowi pertama merasa cukup PSBB dan pendisiplinan hukum. Nah, apabila keadaannya kalau mengikuti pernyataan dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959, apabila dikhawatirkan tidak lagi dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa, maka dimungkinkan adanya darurat sipil walaupun Presiden mengatakan sangat-sangat berdoa agar tidak ke arah sana, tidak seperti India. Kalau sudah seperti itu, akan darurat sipil bisa terjadi, tapi Pak Presiden cukup PSBB plus pendisiplinan hukum," imbuh Fadjroel.

Sebelumnya Jokowi menyatakan saat ini pembatasan sosial skala besar perlu diterapkan. Kebijakan itu perlu disertai dengan darurat sipil.

"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi," demikian kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19 yang disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).

"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.

Saat 'Lockdown' Cegah Corona di India Berubah Jadi Tragedi Kemanusiaan (3)

Apapun alasannya, Modi dan pemerintah tampak ceroboh akibat tidak mengantisipasi eksodus ini.

Modi tengah sangat responsif terhadap perjuangan pekerja migran India yang berada di luar negeri: ratusan dari mereka dibawa pulang dengan sejumlah penerbangan khusus. Namun, perjuangan para pekerja yang berada di tanah air tampak kontras.

"Keinginan untuk pulang dalam keadaan krisis merupakan hal yang normal. Jika murid, pelancong, peziarah yang terjebak di luar negeri ingin kembali, begitu pula para pekerja di kota-kota besar. Mereka ingin pulang ke desa mereka. Kita tidak bisa membawa sebagian mereka dengan pesawat, sementara membiarkan sebagian lain jalan kaki pulang," kata Shekhar Gupta, pendiri dan redaktur The Print, dalam sebuah cuitan.

Migrant woman with a baby wearing a face mask as a preventive measure, at Anand vihar bus terminal during the nationwide lock down

Chinmay Tumbe, penulis India Moving: A History of Migration, mengatakan bahwa kota memang menawarkan keamanan ekonomi bagi migran miskin. Namun, keamanan sosial terletak di desa mereka, di mana makanan dan tempat tinggal terjamin.

"Dengan pekerjaan terhenti dan bahkan hilang, mereka sekarang mencari jaminan sosial dan berusaha untuk pulang," katanya kepada saya.

Memang ada banyak preseden terkait pekerja migran yang beranjak saat krisis - banyak pekerja melarikan diri dari kota saat banjir 2005 di Mumbai. Saat pandemi flu Spanyol pada 1918, setengah dari penduduk kota, yang sebagian besar migran, meninggalkan kota, yang waktu itu adalah Bombay.

Ketika wabah menyebar di India barat pada 1994, terjadi "eksodus oleh ratusan ribu orang dari kota industri Surat (di Gurajat) yang hampir setingkat dengan kisah Alkitab", kata sejarawan Frank Snowden dalam bukunya Epidemics and Society.

Saat wabah epidemi sebelumnya pada tahun 1896, setengah dari populasi Bombay beranjak kota itu.

Menurut Snowden, tindakan anti-wabah kejam yang diterapkan oleh penguasa Inggris ternyata menjadi "palu godam yang tumpul, bukan instrumen bedah dengan presisi". Mereka telah membantu menyelamatkan Bombay dari wabah itu, tetapi "penduduk yang melarikan diri membawa penyakit itu, sehingga menyebarkannya."

Lebih dari seabad kemudian, kekhawatiran yang sama menghantui India saat ini. Ratusan ribu pekerja asing akan mencapai rumah, baik dengan berjalan kaki maupun bus. Di sana mereka akan pindah ke rumah keluarga bersama mereka, yang seringkali juga dihuni oleh orang tua yang sudah lanjut usia.

Sekitar 56 distrik di sembilan negara bagian India merupakan setengah dari migrasi pekerja pria, menurut laporan pemerintah. Ini berpotensi menjadi titik-titik pusat setelah ribuan pekerja migran pulang.

Partha Mukhopadhyay, seorang peneliti senior di Pusat Penelitian Kebijakan Delhi, menyarankan bahwa 35.000 dewan desa di 56 distrik harus cek para pekerja migran yang kembali untuk mendeteksi keberadaan virus, dan mengisolasi orang yang terinfeksi di fasilitas-fasilitas lokal.

Pada akhirnya, India menghadapi tantangan yang menakutkan dalam menetapkan karantina wilayah dan juga menghindari konsekuensi fatal bagi orang miskin dan tunawisma.

Snowden mengatakan kepada saya bahwa sebagian besar akan tergantung pada apakah konsekuensi ekonomi dan kehidupan dari penutupan dikelola dengan hati-hati, dan memiliki persetujuan rakyat.

"Jika tidak, ada potensi kesulitan yang sangat serius, ketegangan sosial dan perlawanan." India telah mengumumkan paket bantuan sebesar US$ 22 miliar bagi mereka yang terkena dampak penutupan.

Beberapa hari ke depan akan menentukan apakah pemerintah dapat mengangkut pekerja ke rumah atau meminta pekerja migran menetap di kota dan menyediakan makanan dan uang kepada mereka.

"Orang-orang melupakan taruhan besar di tengah drama tentang konsekuensi dari penutupan: risiko jutaan orang meninggal," kata Nitin Pai dari Takshashila Institution, sebuah lembaga kajian terkemuka.

"Itu juga, kemungkinan yang terkena dampak terburuk adalah orang miskin."