Mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan bercerita soal capaiannya mengubah jaringan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek menjadi modern. Katanya, saat dia merencanakan hal tersebut banyak yang ragu itu akan berhasil.
Jonan mengatakan banyak orang tidak percaya layanan KRL diubah sistemnya dengan penggunaan kartu dan tapping. Namun, dia tetap meneruskan rencananya, berhasil, dan menjadi salah satu terobosan besar PT KAI.
"Dulu banyak orang yang nggak percaya pakai kartu tapping. Bilangnya orang Indonesia mana bisa begitu? Antre banyak, panjang. Nah, sekarang buktinya bisa," cerita Jonan dalam sebuah diskusi online membahas bisnis logistik, Jumat (17/4/2020).
Dia bercerita awalnya dia kesal dengan kondisi KRL yang sangat tidak beraturan. Bahkan sampai banyak orang yang naik ke atap. Berbagai cara pun sudah dilakukan, namun tak membuat penumpang kapok untuk menumpang di atap kereta.
"Bagaimana tertibkan layanan kereta listrik Jabodetabek? Dulu kan penumpang naik ke atas atap, macam-macam caranya dulu, disemprot air, dikasih cat, dikasih pagar listrik, nggak mempan," kata Jonan.
Akhirnya dia berpikiran untuk menggunakan teknologi informasi dalam mengubah sistem perkeretaapian se-Jabodetabek ini.
"Akhirnya, kita ubah sistem. Kita gunakan lah IT," ujar Jonan.
Kisah Pilu Karyawan Swasta, Gaji Melayang 50% Diterjang Corona
Virus Corona tidak hanya memberi dampak pada masyarakat lapis bawah yang mulai kehilangan pendapatan hingga pekerjaannya. Perlahan tapi pasti, dampak Corona menjalar pada masyarakat lapis menengah.
Ratih, bukan nama sebenarnya, bekerja di salah satu perusahaan ritel ternama di Jakarta. Ia adalah salah satu orang yang merasakan pedihnya dampak Corona.
Ia bercerita, perusahaan secara bertahap melakukan penyesuaian atas berkembangnya virus ini. Awalnya, pada Maret jumlah hari kerjanya dipotong sehari dengan konsekuensi pengurangan gaji.
"Kami dikasih peraturan satu hari tiap minggu tidak masuk kerja, dengan dipotong gaji," jelasnya kepada detikcom, Kamis (16/4/2020).
Kebijakan pengurangan hari kerja pun terus bertambah. Hingga puncaknya saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dengan PSBB, mulai pekan depan jumlah hari kerjanya dipangkas hingga separuhnya. Lagi-lagi, gajinya pun ikut terpengaruh yang mana gaji juga dipangkas sampai separuh alias 50%.
Tunjangan hari raya (THR) pun entah bagaimana nasibnya. Ia tak tahu apakah akan diberikan untuk tahun ini atau tidak.
Namun, ada yang lebih miris. Pengurangan jam kerja itu tidak disampaikan melalui surat resmi, hanya sebatas broadcast via WhatsApp.
Protes pun sangat susah dilakukan oleh Ratih. Dia bahkan mendapat informasi, karyawan yang protes malah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Saat seperti ini, ia pun mengharap uluran tangan dari pemerintah. Sayangnya, dia melihat kebijakan pemerintah justru berat sebelah hanya melihat masyarakat lapisan bawah termasuk pengemudi ojek online (ojol).
Padahal, masyarakat seperti Ratih juga perlu mendapat bantuan sehingga tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Ia pun berharap agar pemerintah memberikan perhatian juga pada masyarakat lapisan menengah seperti dirinya.
Cerita pilu mereka belum berhenti sampai di situ. Ada lagi nelangsa yang harus dirasa. Buka halaman selanjutnya.