Selasa, 21 April 2020

Mengenalkan Arti Kekerasan Seksual pada Remaja Laki-Laki

Data kekerasan seksual termasuk di dalamnya pelecehan seksual di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Terdapat banyak faktor yang mendasari mengapa angka kasus kekerasan seksual cenderung meningkat setiap tahun. Belum pahamnya sebagian besar masyarakat terhadap kategori kekerasan seksual membuat fenomena ini terkesan seperti gunung es.
Pada umumnya kasus kekerasan seksual memang lebih sering memang terjadi pada anak atau remaja perempuan. Meski demikian laki-laki bukan tidak pernah mengalami. Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ menyampaikan kepada detikcom, kasus kekerasan seks pada anak laki-laki cenderung 'tertutup', bisa jadi masyarakat mengkonotasikan kekerasan seks pada anak perempuan. "Karena kasusnya memang lebih banyak dialami oleh perempuan, tapi bukan berarti laki-laki tidak pernah mengalami," tuturnya.

Lalu apa sih sebetulnya pelecehan seksual itu?
Kekerasan seksual bisa terjadi dalam beragam bentuk. Gisella Tani Pratiwi, MPsi, Psikolog Anak dan Remaja, yang memang menaruh perhatian pada kasus kekerasan seksual, menjelaskan bahwa kekerasan seksual menyangkut segala sikap, ucapan, perilaku, yang menyalahi seksualitas seseorang dan membahayakan diri orang yang diserang, baik secara fisik maupun psikologis.

"Contohnya adalah kata-kata bernuansa seksual. Pelakunya bisa dari siapapun, dari orang asing maupun yang sudah dikenal. Kejadiannya bisa dalam ranah publik seperti kendaraan umum atau personal seperti hubungan keluarga atau pasangan," ungkapnya.

Perilaku tersebut juga tak hanya terbatas pada aktivitas fisik. Segala perilaku atau kegiatan pelaku yang tidak diinginkan korban juga termasuk dalam kategori kekerasan seksual.

Upaya mengakhiri kekerasan seksual pada remaja perlu kerja sama antara seluruh lapisan masyarakat, terutama pemerintah untuk mengambil langkah tegas pada setiap pelaku. Sebab, saat ini, kekerasan seksual pada anak dan remaja juga terjadi di ranah media online, salah satunya dengan modus grooming.

Sesuai dengan definisi lembaga internasional Masyarakat untuk Pencegahan Kekejaman terhadap Anak-anak (National Society for the Prevention of Cruelty to Children/ NSPCC), grooming adalah suatu upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja, sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan.

Tidak ditangani bakal jadi pelaku?
Muncul anggapan bahwa anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual di masa lalu, jika tidak tertangani cenderung menjadi pelaku kekerasan seksual saat dewasa. Beberapa studi luar negeri juga menyebutkan, sekitar 30 persen pelaku kekerasan seksual mengalami trauma seksual di masa kecil.

dr Fransiska mengatakan anggapan itu masih dinyatakan kontroversi. Tentu saja bukan berarti bahwa semua anak atau remaja yang menjadi korban kekerasan seksual akan menjadi pelaku jika dewasa. Penelitian-penelitian yang menghubungkan adanya keterkaitan antara masa dewasa, sebagai pelaku, dengan riwayat masa kecil disebutkan dilakukan di tempat yang cukup berat.

"Statement tersebut masih kontroversi, banyak memang pelaku kejahatan masa kecilnya tidak hanya mengalami kekerasan seksual tapi sudah banyak masalah dalam keluarga, sosial ekonomi. Bukan hanya karena mengalami kekerasan seksual sehingga menjadi pelaku di masa dewasa," tuturnya.

Bagaimana jika pelaku adalah remaja?
Dalam beberapa kekerasan seksual, bukan hanya remaja yang menjadi korban. Pelaku juga ada yang melibatkan remaja. dr Fransiska menjelaskan ada beberapa alasan mengapa remaja menjadi pelaku kekerasan seksual.

Disebutkan bahwa bisa jadi remaja menjadi pelaku karena tidak mengerti atau tak diberi pemahaman mengenai seksualitas. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi komprehensif menjadi penting, sebab kebanyakan anak usia remaja mendapatkan pengetahuan terbatas mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas. Misal dari teman sebaya atau menonton film dan tayangan tertentu. Belum lagi jika orang tua menganggap pendidikan seks dan reproduksi adalah hal yang tabu sehingga meningkatkan rasa keingintahuan remaja.

"Tapi kalau sampai ada kejadian melecehkan, harus dicari tahu dulu dari mana dia mengetahui tindakan itu. Kemudian perlu kita nilai dan eksplorasi, jangan-jangan memang dia ada masalah pada pemahamannya tentang perilaku seks atau pencegahan kekerasan seks tidak ada. Karena dia tidak mengerti," jelas dr Fransiska.

Ia menambahkan mengajarkan kesehatan seksual dan reproduksi sedini mungkin dan terbuka pada anak menjadi salah satu cara untuk meminimalisir perilaku kekerasan seksual. Orang tua bisa mengajarkan anak tentang hal-hal yang terkait dengan kesehatan seksual dan reproduksi sesuai dengan usianya.

Strategi Beberapa Negara Mencegah Penyebaran Virus Corona

Sejak mewabahnya pandemivirus Corona COVID-19, kehidupan sehari-hari masyarakat di dunia berubah. Banyak negara yang menerapkan kebijakan social distancing hingga lockdown untuk mencegah penyebaran virus Corona.
Setiap negara mempunyai strategi yang berbeda untuk menghadapi virus Corona. Mengutip CNN, berikut beberapa strategi yang dilakukan negara-negara di dunia untuk mencegah penyebaran virus Corona:

Kartu imunitas
Pemerintah Chili akan mengeluarkan kartu imunitas digital yang disebut 'kartu COVID'. Nantinya, kartu ini akan diberikan untuk orang yang telah sembuh setelah dinyatakan positif dan dikarantina selama 14 hari.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock telah mengeluarkan ide serupa dengan penerbitan sertifikat kekebalan yang dinamai paspor imunitas. Masyarakat yang telah sembuh dari virus Corona akan diberikan paspor imunitas sehingga dapat kembali beraktivitas normal.

Lockdown akhir pekan
Masyarakat Turki setiap akhir pekan tidak diizinkan keluar rumah. Kebijakan ini diberlakukan di 31 provinsi negara tersebut. Pada hari biasa pemerintah masih mengizinkan warganya untuk keluar meskipun banyak toko dan tempat umum tutup.

Batasan khusus usia
Selain melarang warganya keluar di akhir pekan, pemerintah Turki juga menerapkan batasan usia. Hanya orang yang berusia antara 20-65 tahun yang diizinkan keluar rumah pada hari biasa.

Sementara itu di Swedia masyarakat yang berusia di atas 70 tahun tidak diperbolehkan untuk keluar rumah.

Penelitian Warwick University dari Inggris mengusulkan orang yang berusia 20-30 tahun dibebaskan untuk keluar rumah. Namun dengan catatan, tidak tinggal bersama orang tua.

Lockdown berbasis gender
Pada 2 April lalu Presiden Peru Martin Vizcarra mengumumkan lockdown berbasis gender. Senin, Rabu, dan Jumat hanya pria yang diperbolehkan keluar rumah. Sementara Selasa, Kamis, dan Sabtu hanya wanita yang diizinkan. Sedangkan Minggu, pemerintah Peru melarang semua warganya untuk keluar rumah.

Panama juga melakukan hal yang serupa dengan mengadopsi kebijakan lockdown berbasis gender. Kebijakan ini diambil untuk menekan jumlah orang yang keluar rumah guna menghindari penyebaran virus Corona yang semakin meluas.

Penggunaan drone
Otoritas Penerbangan Sipil Nasional Italia (ENAC) menggunakan pesawat tanpa awak atau drone untuk membantu memantau pergerakan warganya di tempat umum. Sementara itu, Departemen Pertahanan Australia bekerja sama dengan Universitas Australia Selatan menggunakan drone untuk membantu memonitor suhu, detak jantung, pernapasan, dan mendeteksi orang yang bersin dan batuk di tengah kerumunan.

Sedangkan China dan Kuwait menggunakan drone yang dapat berbicara untuk memerintahkan warganya untuk kembali ke rumah.

Mengenalkan Arti Kekerasan Seksual pada Remaja Laki-Laki

Data kekerasan seksual termasuk di dalamnya pelecehan seksual di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Terdapat banyak faktor yang mendasari mengapa angka kasus kekerasan seksual cenderung meningkat setiap tahun. Belum pahamnya sebagian besar masyarakat terhadap kategori kekerasan seksual membuat fenomena ini terkesan seperti gunung es.
Pada umumnya kasus kekerasan seksual memang lebih sering memang terjadi pada anak atau remaja perempuan. Meski demikian laki-laki bukan tidak pernah mengalami. Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ menyampaikan kepada detikcom, kasus kekerasan seks pada anak laki-laki cenderung 'tertutup', bisa jadi masyarakat mengkonotasikan kekerasan seks pada anak perempuan. "Karena kasusnya memang lebih banyak dialami oleh perempuan, tapi bukan berarti laki-laki tidak pernah mengalami," tuturnya.

Lalu apa sih sebetulnya pelecehan seksual itu?
Kekerasan seksual bisa terjadi dalam beragam bentuk. Gisella Tani Pratiwi, MPsi, Psikolog Anak dan Remaja, yang memang menaruh perhatian pada kasus kekerasan seksual, menjelaskan bahwa kekerasan seksual menyangkut segala sikap, ucapan, perilaku, yang menyalahi seksualitas seseorang dan membahayakan diri orang yang diserang, baik secara fisik maupun psikologis.

"Contohnya adalah kata-kata bernuansa seksual. Pelakunya bisa dari siapapun, dari orang asing maupun yang sudah dikenal. Kejadiannya bisa dalam ranah publik seperti kendaraan umum atau personal seperti hubungan keluarga atau pasangan," ungkapnya.

Perilaku tersebut juga tak hanya terbatas pada aktivitas fisik. Segala perilaku atau kegiatan pelaku yang tidak diinginkan korban juga termasuk dalam kategori kekerasan seksual.