Selasa, 21 April 2020

Sakit Gigi di Tengah Pandemi Corona, Haruskah ke Dokter Gigi?

Di tengah pandemi virus Corona COVID-19, pasien diimbau membatasi kunjungan ke fasilitas kesehatan. Salah satu tujuannya untuk meminimalisir risiko terjadinya infeksi silang dan meringankan beban sistem kesehatan.
Terkait hal tersebut, bagaimana bila kita sakit gigi di tengah pandemi Corona ini? Apakah masih bisa berkunjung ke dokter gigi?

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Jakarta Pusat, drg Ahmad Syaukani, SpOrt, mengatakan pasien sebetulnya masih bisa mencari layanan untuk masalah sakit gigi yang tidak tertahankan. PDGI telah mengeluarkan pedoman pelayanan kedokteran gigi selama pendemi virus Corona.

"Mungkin kalau klinik tidak banyak yang buka di saat sekarang ini walaupun untuk tindakan darurat. Tetapi rumah sakit biasanya tetap ada dokter gigi yang jaga atau piket bila ada pasien darurat yang membutuhkan perawatan gigi," kata drg Kani pada detikcom, Selasa (21/4/2020).

Kriteria pasien yang boleh datang ke dokter gigi saat ini:

1. Keadaan darurat seperti nyeri gigi yang tidak tertahankan.

2. Mengalami perdarahan yang tidak terkontrol

3. Gusi bengkak akibat infeksi

4. Trauma pada gigi dan tulang wajah misalnya karena kecelakaan.

5. Dalam keadaan tidak demam, batuk, dan pilek.

Remaja Laki-laki Sering Tak Sadar Saat Jadi Korban Kekerasan Seksual

Padahal hari itu cerah, tapi langkah Boy (bukan nama sebenarnya) sangat lunglai. Biasanya, sepulang sekolah ia meminta izin, bermain bersama rekannya di lapangan dekat masjid. Tapi tidak hari itu. "Tidak biasanya Boy merajuk tanpa sebab," ujar kakak keempat Boy kepada detikcom melalui sambungan telepon awal Maret lalu.
Saat ditanyai, Boy tak kunjung menjawab. Raut mukanya menunjukkan amarah dan mimik tak suka. Seperti biasa, kakak-kakaknya menganggap Boy hanya berlaku seperti layaknya anak bungsu, sedang manja. Tapi, ada yang aneh. Ia tak mau makan padahal yang dihidangkan adalah lauk favoritnya.

Lama terdiam, akhirnya Boy buka suara. "Tadi di sekolah ada yang main buka-buka celana. Saya tidak ikut main tapi celanaku juga diturunkan di depan sekolah," kata Boy, bocah yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu kepada kakak pertamanya. "Langsung saya pukul, tapi mereka ketawa," lanjutnya sambil menahan emosi, kala kakak pertamanya menanyakan apa yang ia lakukan setelahnya.

Bagi kebanyakan remaja, bercandaan spontan seperti itu banyak ditemukan. Sayangnya mereka tidak paham bahwa hal tersebut sama sekali tak bisa dianggap sebagai lelucon. Boy mengatakan bahwa banyak temannya menganggap permainan tersebut biasa dikalangan teman sekelasnya dan tanpa sadar, membentuk kebiasaan.

Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ mengatakan pengalaman Boy adalah bentuk kekerasan seksual dalam kategori seksual. "Ia mengalami perasaan tertekan karena dipaksa, itu sudah termasuk pelecehan karena dia merasa dia sebagai pihak yang 'inferior' jadi merasa tertekan dan dari yang meminta dan ada tekanan," ujarnya.

Kekerasan seksual terhadap remaja terkadang teman sebaya atau orang yang bahkan dikenal baik oleh korban. Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2017 memperlihatkan dari 2,552 kasus kekerasan seksual di ranah publik, 1.106 di antaranya dilakukan oleh teman dan 863 lainnya oleh tetangga.

Pelaku bisa saja kakak kelasnya, atau abang penjual warung dekat rumahnya. Terlebih pada remaja laki-laki, hal-hal yang menyerempet pelecehan seksual kerap dianggap candaan lalu sehingga tidak mengambil aksi tegas terhadapnya.

Seperti Boy, ia baru berusia 11 tahun yang paham 'buka celana' bukanlah hal lazim dilakukan atau tak bisa disebut bercandaan. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain mengadu kepada guru di sekolah tentang apa yang ia alami. Beruntung, wali kelasnya mengambil langkah tegas atas kejadian tersebut.

"Yang kita maksud pelecehan itu ada tujuannya, memang untuk melecehkan, atau tujuan tertentu untuk kepentingan (kepuasan seksual) pelakunya. Jadi kalau kondisinya temannya meledek buka celana apakah itu pelecehan atau nggak, harus lihat konteksnya dan tujuannya mereka," jelas dr Fransiska.

Mengenalkan Arti Kekerasan Seksual pada Remaja Laki-Laki

Data kekerasan seksual termasuk di dalamnya pelecehan seksual di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Terdapat banyak faktor yang mendasari mengapa angka kasus kekerasan seksual cenderung meningkat setiap tahun. Belum pahamnya sebagian besar masyarakat terhadap kategori kekerasan seksual membuat fenomena ini terkesan seperti gunung es.
Pada umumnya kasus kekerasan seksual memang lebih sering memang terjadi pada anak atau remaja perempuan. Meski demikian laki-laki bukan tidak pernah mengalami. Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ menyampaikan kepada detikcom, kasus kekerasan seks pada anak laki-laki cenderung 'tertutup', bisa jadi masyarakat mengkonotasikan kekerasan seks pada anak perempuan. "Karena kasusnya memang lebih banyak dialami oleh perempuan, tapi bukan berarti laki-laki tidak pernah mengalami," tuturnya.

Lalu apa sih sebetulnya pelecehan seksual itu?
Kekerasan seksual bisa terjadi dalam beragam bentuk. Gisella Tani Pratiwi, MPsi, Psikolog Anak dan Remaja, yang memang menaruh perhatian pada kasus kekerasan seksual, menjelaskan bahwa kekerasan seksual menyangkut segala sikap, ucapan, perilaku, yang menyalahi seksualitas seseorang dan membahayakan diri orang yang diserang, baik secara fisik maupun psikologis.

"Contohnya adalah kata-kata bernuansa seksual. Pelakunya bisa dari siapapun, dari orang asing maupun yang sudah dikenal. Kejadiannya bisa dalam ranah publik seperti kendaraan umum atau personal seperti hubungan keluarga atau pasangan," ungkapnya.

Perilaku tersebut juga tak hanya terbatas pada aktivitas fisik. Segala perilaku atau kegiatan pelaku yang tidak diinginkan korban juga termasuk dalam kategori kekerasan seksual.

Upaya mengakhiri kekerasan seksual pada remaja perlu kerja sama antara seluruh lapisan masyarakat, terutama pemerintah untuk mengambil langkah tegas pada setiap pelaku. Sebab, saat ini, kekerasan seksual pada anak dan remaja juga terjadi di ranah media online, salah satunya dengan modus grooming.

Sesuai dengan definisi lembaga internasional Masyarakat untuk Pencegahan Kekejaman terhadap Anak-anak (National Society for the Prevention of Cruelty to Children/ NSPCC), grooming adalah suatu upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja, sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan.

Tidak ditangani bakal jadi pelaku?
Muncul anggapan bahwa anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual di masa lalu, jika tidak tertangani cenderung menjadi pelaku kekerasan seksual saat dewasa. Beberapa studi luar negeri juga menyebutkan, sekitar 30 persen pelaku kekerasan seksual mengalami trauma seksual di masa kecil.

dr Fransiska mengatakan anggapan itu masih dinyatakan kontroversi. Tentu saja bukan berarti bahwa semua anak atau remaja yang menjadi korban kekerasan seksual akan menjadi pelaku jika dewasa. Penelitian-penelitian yang menghubungkan adanya keterkaitan antara masa dewasa, sebagai pelaku, dengan riwayat masa kecil disebutkan dilakukan di tempat yang cukup berat.

"Statement tersebut masih kontroversi, banyak memang pelaku kejahatan masa kecilnya tidak hanya mengalami kekerasan seksual tapi sudah banyak masalah dalam keluarga, sosial ekonomi. Bukan hanya karena mengalami kekerasan seksual sehingga menjadi pelaku di masa dewasa," tuturnya.

Bagaimana jika pelaku adalah remaja?
Dalam beberapa kekerasan seksual, bukan hanya remaja yang menjadi korban. Pelaku juga ada yang melibatkan remaja. dr Fransiska menjelaskan ada beberapa alasan mengapa remaja menjadi pelaku kekerasan seksual.

Disebutkan bahwa bisa jadi remaja menjadi pelaku karena tidak mengerti atau tak diberi pemahaman mengenai seksualitas. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi komprehensif menjadi penting, sebab kebanyakan anak usia remaja mendapatkan pengetahuan terbatas mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas. Misal dari teman sebaya atau menonton film dan tayangan tertentu. Belum lagi jika orang tua menganggap pendidikan seks dan reproduksi adalah hal yang tabu sehingga meningkatkan rasa keingintahuan remaja.

"Tapi kalau sampai ada kejadian melecehkan, harus dicari tahu dulu dari mana dia mengetahui tindakan itu. Kemudian perlu kita nilai dan eksplorasi, jangan-jangan memang dia ada masalah pada pemahamannya tentang perilaku seks atau pencegahan kekerasan seks tidak ada. Karena dia tidak mengerti," jelas dr Fransiska.

Ia menambahkan mengajarkan kesehatan seksual dan reproduksi sedini mungkin dan terbuka pada anak menjadi salah satu cara untuk meminimalisir perilaku kekerasan seksual. Orang tua bisa mengajarkan anak tentang hal-hal yang terkait dengan kesehatan seksual dan reproduksi sesuai dengan usianya.