Selasa, 21 April 2020

Remaja Laki-laki Sering Tak Sadar Saat Jadi Korban Kekerasan Seksual

Padahal hari itu cerah, tapi langkah Boy (bukan nama sebenarnya) sangat lunglai. Biasanya, sepulang sekolah ia meminta izin, bermain bersama rekannya di lapangan dekat masjid. Tapi tidak hari itu. "Tidak biasanya Boy merajuk tanpa sebab," ujar kakak keempat Boy kepada detikcom melalui sambungan telepon awal Maret lalu.
Saat ditanyai, Boy tak kunjung menjawab. Raut mukanya menunjukkan amarah dan mimik tak suka. Seperti biasa, kakak-kakaknya menganggap Boy hanya berlaku seperti layaknya anak bungsu, sedang manja. Tapi, ada yang aneh. Ia tak mau makan padahal yang dihidangkan adalah lauk favoritnya.

Lama terdiam, akhirnya Boy buka suara. "Tadi di sekolah ada yang main buka-buka celana. Saya tidak ikut main tapi celanaku juga diturunkan di depan sekolah," kata Boy, bocah yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu kepada kakak pertamanya. "Langsung saya pukul, tapi mereka ketawa," lanjutnya sambil menahan emosi, kala kakak pertamanya menanyakan apa yang ia lakukan setelahnya.

Bagi kebanyakan remaja, bercandaan spontan seperti itu banyak ditemukan. Sayangnya mereka tidak paham bahwa hal tersebut sama sekali tak bisa dianggap sebagai lelucon. Boy mengatakan bahwa banyak temannya menganggap permainan tersebut biasa dikalangan teman sekelasnya dan tanpa sadar, membentuk kebiasaan.

Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ mengatakan pengalaman Boy adalah bentuk kekerasan seksual dalam kategori seksual. "Ia mengalami perasaan tertekan karena dipaksa, itu sudah termasuk pelecehan karena dia merasa dia sebagai pihak yang 'inferior' jadi merasa tertekan dan dari yang meminta dan ada tekanan," ujarnya.

Kekerasan seksual terhadap remaja terkadang teman sebaya atau orang yang bahkan dikenal baik oleh korban. Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2017 memperlihatkan dari 2,552 kasus kekerasan seksual di ranah publik, 1.106 di antaranya dilakukan oleh teman dan 863 lainnya oleh tetangga.

Pelaku bisa saja kakak kelasnya, atau abang penjual warung dekat rumahnya. Terlebih pada remaja laki-laki, hal-hal yang menyerempet pelecehan seksual kerap dianggap candaan lalu sehingga tidak mengambil aksi tegas terhadapnya.

Seperti Boy, ia baru berusia 11 tahun yang paham 'buka celana' bukanlah hal lazim dilakukan atau tak bisa disebut bercandaan. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain mengadu kepada guru di sekolah tentang apa yang ia alami. Beruntung, wali kelasnya mengambil langkah tegas atas kejadian tersebut.

"Yang kita maksud pelecehan itu ada tujuannya, memang untuk melecehkan, atau tujuan tertentu untuk kepentingan (kepuasan seksual) pelakunya. Jadi kalau kondisinya temannya meledek buka celana apakah itu pelecehan atau nggak, harus lihat konteksnya dan tujuannya mereka," jelas dr Fransiska.

Fenomena "Gunung Es"
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat peningkatan permohonan perlindungan kekerasan seksual pada anak. Hampir tiap pekan ada empat kasus kekerasan seksual yang mereka tangani dan diyakini. Jumlah atau fakta di lapangan jauh lebih besar dari data yang dihimpun LPSK.

Pada beberapa kasus, korban tidak berani melaporkan ke kepolisian atau mengadu ke keluarganya karena takut dianggap membuka aib, atau khawatir mendapat kecaman dari lingkungan sosialnya. Belum lagi, jika pada remaja, pelecehan seksual dianggap sebagai lelucon, sehingga tak banyak yang mau melaporkan. "Kami khawatirkan pengaduan sifatnya seperti 'gunung es'. Pelaku orang dikenal seperti teman, keluarga, bahkan keluarga kandung," tutur Sitti Hikmawaty, Komisioner bidang Kesehatan dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beberapa waktu lalu.

Seringkali, laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual terlupakan, padahal efek psikologis mereka rasakan sama seperti yang dialami korban perempuan. Korban pelecehan seksual tetap akan merasakan trauma psikologis. Penelitian yang dilakukan Dr Laura Anderson dari Buffalo's School of Nursing mengatakan korban remaja laki-laki lebih sering mengalami depresi. Sekitar 33,2 persen remaja laki-laki yang pernah menjadi korban kekerasan seksual sudah mencoba bunuh diri.

Sakit Gigi di Tengah Pandemi Corona, Haruskah ke Dokter Gigi?

Di tengah pandemi virus Corona COVID-19, pasien diimbau membatasi kunjungan ke fasilitas kesehatan. Salah satu tujuannya untuk meminimalisir risiko terjadinya infeksi silang dan meringankan beban sistem kesehatan.
Terkait hal tersebut, bagaimana bila kita sakit gigi di tengah pandemi Corona ini? Apakah masih bisa berkunjung ke dokter gigi?

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Jakarta Pusat, drg Ahmad Syaukani, SpOrt, mengatakan pasien sebetulnya masih bisa mencari layanan untuk masalah sakit gigi yang tidak tertahankan. PDGI telah mengeluarkan pedoman pelayanan kedokteran gigi selama pendemi virus Corona.

"Mungkin kalau klinik tidak banyak yang buka di saat sekarang ini walaupun untuk tindakan darurat. Tetapi rumah sakit biasanya tetap ada dokter gigi yang jaga atau piket bila ada pasien darurat yang membutuhkan perawatan gigi," kata drg Kani pada detikcom, Selasa (21/4/2020).

Kriteria pasien yang boleh datang ke dokter gigi saat ini:

1. Keadaan darurat seperti nyeri gigi yang tidak tertahankan.

2. Mengalami perdarahan yang tidak terkontrol

3. Gusi bengkak akibat infeksi

4. Trauma pada gigi dan tulang wajah misalnya karena kecelakaan.

5. Dalam keadaan tidak demam, batuk, dan pilek.

Remaja Laki-laki Sering Tak Sadar Saat Jadi Korban Kekerasan Seksual

Padahal hari itu cerah, tapi langkah Boy (bukan nama sebenarnya) sangat lunglai. Biasanya, sepulang sekolah ia meminta izin, bermain bersama rekannya di lapangan dekat masjid. Tapi tidak hari itu. "Tidak biasanya Boy merajuk tanpa sebab," ujar kakak keempat Boy kepada detikcom melalui sambungan telepon awal Maret lalu.
Saat ditanyai, Boy tak kunjung menjawab. Raut mukanya menunjukkan amarah dan mimik tak suka. Seperti biasa, kakak-kakaknya menganggap Boy hanya berlaku seperti layaknya anak bungsu, sedang manja. Tapi, ada yang aneh. Ia tak mau makan padahal yang dihidangkan adalah lauk favoritnya.

Lama terdiam, akhirnya Boy buka suara. "Tadi di sekolah ada yang main buka-buka celana. Saya tidak ikut main tapi celanaku juga diturunkan di depan sekolah," kata Boy, bocah yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu kepada kakak pertamanya. "Langsung saya pukul, tapi mereka ketawa," lanjutnya sambil menahan emosi, kala kakak pertamanya menanyakan apa yang ia lakukan setelahnya.

Bagi kebanyakan remaja, bercandaan spontan seperti itu banyak ditemukan. Sayangnya mereka tidak paham bahwa hal tersebut sama sekali tak bisa dianggap sebagai lelucon. Boy mengatakan bahwa banyak temannya menganggap permainan tersebut biasa dikalangan teman sekelasnya dan tanpa sadar, membentuk kebiasaan.

Psikiater anak dan remaja dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Fransiska Kaligis, SpKJ mengatakan pengalaman Boy adalah bentuk kekerasan seksual dalam kategori seksual. "Ia mengalami perasaan tertekan karena dipaksa, itu sudah termasuk pelecehan karena dia merasa dia sebagai pihak yang 'inferior' jadi merasa tertekan dan dari yang meminta dan ada tekanan," ujarnya.

Kekerasan seksual terhadap remaja terkadang teman sebaya atau orang yang bahkan dikenal baik oleh korban. Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2017 memperlihatkan dari 2,552 kasus kekerasan seksual di ranah publik, 1.106 di antaranya dilakukan oleh teman dan 863 lainnya oleh tetangga.

Pelaku bisa saja kakak kelasnya, atau abang penjual warung dekat rumahnya. Terlebih pada remaja laki-laki, hal-hal yang menyerempet pelecehan seksual kerap dianggap candaan lalu sehingga tidak mengambil aksi tegas terhadapnya.

Seperti Boy, ia baru berusia 11 tahun yang paham 'buka celana' bukanlah hal lazim dilakukan atau tak bisa disebut bercandaan. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain mengadu kepada guru di sekolah tentang apa yang ia alami. Beruntung, wali kelasnya mengambil langkah tegas atas kejadian tersebut.

"Yang kita maksud pelecehan itu ada tujuannya, memang untuk melecehkan, atau tujuan tertentu untuk kepentingan (kepuasan seksual) pelakunya. Jadi kalau kondisinya temannya meledek buka celana apakah itu pelecehan atau nggak, harus lihat konteksnya dan tujuannya mereka," jelas dr Fransiska.