Selasa, 21 April 2020

Pengidap Hipertensi Berisiko Tinggi Komplikasi COVID-19, Cegah dengan Ini

Sebuah penelitian menunjukkan tingkat fatalitas akibat COVID-19 pada pasien yang memiliki riwayat penyakit kronis lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Persentase fatalitas COVID-19 pada kondisi penyakit kronis di antaranya hipertensi 6%, diabetes 7,3%, penyakit kardiovaskular 10,5%, penyakit saluran pernafasan kronis 6,3%, kanker 5,6%; dibandingkan dengan angka 0,9% pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit kronis.
Penelitian berjudul The Epidemiological Characteristics of an Outbreak of 2019 Novel Coronavirus Diseases (COVID-19) ini mempelajari 44.672 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi positif di China. Dari kasus positif ini, tercatat bahwa terjadi 1.023 kematian atau tingkat fatalitas sebesar 2,3%

Kaitan Penyakit Jantung dan Hipertensi dengan Tingkat Keparahan COVID-19

Efek spesifik COVID-19 terhadap sistem kardiovaskular masih belum diketahui, tetapi tampaknya dapat mempengaruhi penderita penyakit jantung dalam beberapa hal. Dikutip dari American College of Cardiology, Infeksi virus berkaitan dengan peradangan di dalam tubuh yang dapat memperburuk dan meningkatkan risiko kondisi acute coronary syndrome (kondisi gangguan yang terjadi akibat terhambatnya aliran darah ke jantung).

Lalu, COVID-19 terutama menyerang bagian paru-paru. American Heart Assocition menyatakan bahwa hal ini dapat mempengaruhi fungsi jantung, terutama jantung yang 'tidak sehat' yang perlu bekerja keras dalam memompa darah beroksigen ke seluruh jaringan tubuh.

Bagi mereka yang mengalami gagal jantung, hal ini akan memperburuk kondisi mengingat efisiensi jantung dalam memompa darah sudah terganggu

Selain itu, penyakit kronis, termasuk penyakit jantung, berkaitan dengan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh. Data juga menunjukkan bahwa infeksi virus serupa berkaitan dengan terganggunya stabilitas plak yang terbentuk pada pembuluh darah.

Hal ini terutama berbahaya untuk penderita penyakit jantung yang memiliki plak pada pembuluh darah karena berpotensi menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang berkaitan dengan serangan jantung.

Untuk penderita tekanan darah tinggi, masih belum diketahui secara pasti kaitan antara hipertensi dan tingkat keparahan COVID-19. Hal ini disebabkan karena penyakit darah tinggi umumnya berkaitan dengan komplikasi masalah kesehatan lainnya dan faktor usia lanjut sehingga sulit untuk memisahkan pengaruh masing-masing faktor.

Namun, tekanan darah tinggi berkaitan dengan kerusakan pembuluh darah dan terhambatnya aliran darah ke jantung yang dapat mengganggu fungsi jantung.

Tak Cukup Physical Distancing

Mengurangi risiko penyakit kronis seperti hipertensi dan jantung menjadi tak kalah penting selain menjaga kebersihan diri dan physical distancing agar tak terinfeksi COVID-19. Salah satunya dengan membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak.

Cara lain yaitu dengan mengganti gula dengan pemanis rendah kalori dan masak makanan di rumah dengan bahan makanan yang lebih rendah lemak dan rendah garam, sebagai contoh kecap manis bebas gula dan rendah garam Tropicana Slim atau minyak yang lebih rendah lemak jenuh seperti minyak jagung atau minyak kanola Tropicana Slim. Pastikan juga asupan nutrisi lainnya agar daya tahan tubuh tetap kuat, rutin berolahraga, dan istirahat yang cukup.

Yuk lindungi diri kita dan keluarga, terutama bagi yang sudah memiliki riwayat penyakit kronis. Bila perlu produk bebas gula, bebas atau rendah lemak, dan rendah garam, kamu bisa menggunakan produk-produk Tropicana Slim

Remaja Laki-laki Sering Tak Sadar Saat Jadi Korban Kekerasan Seksual (2)

Pada beberapa kasus, korban tidak berani melaporkan ke kepolisian atau mengadu ke keluarganya karena takut dianggap membuka aib, atau khawatir mendapat kecaman dari lingkungan sosialnya. Belum lagi, jika pada remaja, pelecehan seksual dianggap sebagai lelucon, sehingga tak banyak yang mau melaporkan. "Kami khawatirkan pengaduan sifatnya seperti 'gunung es'. Pelaku orang dikenal seperti teman, keluarga, bahkan keluarga kandung," tutur Sitti Hikmawaty, Komisioner bidang Kesehatan dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beberapa waktu lalu.

Seringkali, laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual terlupakan, padahal efek psikologis mereka rasakan sama seperti yang dialami korban perempuan. Korban pelecehan seksual tetap akan merasakan trauma psikologis. Penelitian yang dilakukan Dr Laura Anderson dari Buffalo's School of Nursing mengatakan korban remaja laki-laki lebih sering mengalami depresi. Sekitar 33,2 persen remaja laki-laki yang pernah menjadi korban kekerasan seksual sudah mencoba bunuh diri.

Menangani anak laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual juga tak mudah. Kondisi mereka yang jauh lebih tertutup dan lebih sering melamun menjadi tantangan tersendiri untuk pemulihannya. "Pengalaman kami, menghadapi anak memang penuh tantangan. Apalagi dengan kondisi psikologis klien membuat kami lebih berhati-hati. Untuk membuat anak menceritakan perasaannya saja bisa memakan waktu yang agak lama, ada yang berminggu-minggu," tutur Haryo Widodo, salah satu relawan pendamping bagi korban kekerasan seksual dari Aliansi Laki-laki Baru

Lepas dari Jerat Trauma dan Stigma
Ekspektasi maskulinitas dan gender secara tidak langsung mengajarkan anak dan remaja laki-laki bahwa mereka tidak bisa jadi korban. Mereka dituntut untuk selalu kompetitif, ulet, dan mandiri. Akibatnya anak laki-laki tidak mengenali tanda saat kekerasan atau menjadi pelecehan seksual terjadi.

Selain itu banyak dari mereka yang tidak terbuka menyampaikan peristiwa memilukan yang dialami. Karena perasaan mereka tertekan dengan anggapan ketika mengaku menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual berarti menyatakan mereka 'bukan laki-laki'. Meski faktanya Statistik Gender Tematik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) pada tahun 2017 menunjukkan 1 dari 2 remaja berumur 18-24 tahun mengalami minimal satu jenis kekerasan seksual, fisik, atau emosional sebelum umur 18 tahun.

Tentu saja efek sampingnya sangat buruk. Anak dan remaja laki-laki yang menjadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual bisa tumbuh sebagai pria yang memiliki kecemasan, depresi, dan tidak memiliki kemampuan mempertahankan hubungan sosial.

Kabar baiknya, trauma yang dialami bisa disembuhkan. dr Fransiska mengatakan korban dapat disembuhkan dengan psikoterapi melalui konseling sehingga trauma atau masalah psikologis yang dialami bisa dikelola dan ditangani. Kedua ketika muncul masalah kecemasan yang berlebihan, misalnya sampai ada gangguan mood, gangguan tidur, dapat diterapi dengan pengobatan. "Tapi tidak semua kasus perlu mendapat obat, hanya kasus-kasus yang misalnya gangguan psikologisnya menjadi cukup berat sampai mengganggu aktivitas sehari-harinya," ujarnya.

Selain itu, dari sisi orang tua, mereka dapat menyampaikan cinta dan dukungan pada anak, merangkulnya, dan menjadi pendengar yang baik. Mengajak anak untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dan memberi pengertian agar anak bisa memahami bahwa upaya orang tua adalah demi kebaikannya.