Kamis, 23 April 2020

Pasien Pertama Corona Mungkin Takkan Pernah Ditemukan, Kenapa?

 Patient zero atau pasien pertama virus Corona coba dilacak baik oleh pemerintah maupun kalangan ilmuwan. Motifnya apalagi kalau bukan untuk mencari dari mana sebenarnya asal COVID-19. Tapi Wakil Presiden Taiwan Chen Chien-Jen pesimistis.
Chen Chien-Jen, orang terpenting kedua di Taiwan yang juga seorang ahli epidemiologi, mengatakan ada keraguan besar apakah benar pasar seafood Huanan di Wuhan adalah sumber virus Corona.

"Jika kita melihat 42 kasus pertama yang dipublikasikan di jurnal akademis, sekitar 10 tidak punya jejak pergi ke sana (pasar-red). Ini adalah tanda sangat penting bahwa pasar itu mungkin bukan asal dari infeksi ini," cetusnya dalam wawancara dengan Telegraph yang dikutip detikINET.

Ia menyebutkan sulit melacak kembali kasus-kasus pertama, apalagi jika penderita di masa awal itu hanya bergejala ringan. Konsekuensinya, bisa jadi patient zero takkan terdeteksi. "Jika kasusnya adalah gejala ringan, Anda tidak akan pernah menemukannya," cetusnya.

Tentu jika hal itu benar, bisa cukup runyam akibatnya. Sebab, mengidentifikasi patient zero saat ini penting tak hanya untuk kepentingan ilmiah untuk mencegah pandemi serupa, tapi juga secara politis. Pasalnya telah terjadi saling tuduh antara China dan Amerika Serikat soal dari mana awalnya COVID-19 muncul.

Para ilmuwan sendiri belum punya kesimpulan yang sangat kuat soal darimana COVID-19 dan siapa penderita pertamanya. Versi pertama yang diberitakan luas adalah patient zero merupakan WN China bernama Wei Guixian, seorang pedagang udang di Huanan Seafood Market di Wuhan.

Akan tetapi tak terlalu lama kemudian, informasi ini terbantahkan oleh pihak China. Dalam jurnal kedokteran The Lancet, sekelompok ilmuwan China sudah melaporkan ada pasien virus Corona di Wuhan sejak 1 Desember 2019 dan tidak terkait Huanan Seafood Market.

Tidak sampai di situ, pihak China kemudian melontarkan narasi bahwa pertama kali virus corona diderita oleh warga negara Amerika Serikat yang pergi ke Wuhan untuk ikutan lomba olahraga militer.

Pertanyaan lain yang belakangan sering mengemuka adalah apakah COVID-19 diciptakan Wuhan Institute of Virology atau bocor dari sana. Terkait tuduhan ini, pihak China sudah berulangkali melontarkan bantahan.

Kehidupan Digital di Indonesia Akan Berubah Usai Wabah Corona

 Wabah virus Corona membuat orang kerja dan belajar dari rumah secara online dan itu bisa dilakukan. Artinya, ekosistem digital di Indonesia sudah kuat.

"Internet behaviour kita berubah, ekosistem digital kita ternyata sudah siap. Bukan cuma selama pandemi, tapi nanti cara kita bekerja dan belajar akan berubah karena situasi sekarang mengharuskan begini," kata Vice President Marketing Biznet, Yudie Haryanto dalam diskusi online, Rabu (22/4/2020).

Biznet memantau perubahan aktivitas pelanggan. Traffic internet tinggi sekali untuk work from home, ibadah online, kursus online sampai tutorial olahraga di rumah. Akhir pekan terjadi perubahan traffic dari urusan kerja dan belajar, menjadi hiburan. Namun volumenya tetap tinggi.

"Kami mencatat kenaikan permintaan pemasangan baru sampai 30 persen dan mungkin masih bisa naik lagi karena Jawa Timur juga ada PSBB," kata Yudie.

Tingginya kebutuhan internet sampai ke pelosok kabupaten saat wabah Corona, diharapkan Yudie membuka mata pemda untuk bisa mendukung dan memudahkan perizinan bagi penyedia layanan internet untuk bisa ekspansi. Biznet sendiri rencananya ekspansi ke Jepara, Sanur dan Bandarlampung.

"Kondisi di daerah yang jaringannya susah, itu membuka mata kita juga terutama Pemda untuk bisa mendukung perusahaan seperti kita. Semoga ini jadi pandangan baru," ujarnya.

Menghadapi pandemi COVID-19, Biznet melakukan langkah pengalaman dengan menutup 100 toko, mematikan 1.300 dari 2.000 titik hotspot, menaikkan bandwith dan menurunkan harga instalasi. Mereka juga membuat panduan streaming untuk para guru dan komunitas dan layanan video conference meet.biznetgio.com dengan bandwith lokal.

Dari AS hingga Eropa Tunjuk Hidung China Penyebab Wabah Corona

Sejumlah negara mulai menuntut China untuk memberikan ganti rugi terkait dengan penyebaran Corona. Tuntutan datang dari Amerika Serikat hingga Eropa.
Ribuan warga Amerika Serikat melakukan gugatan class-action dan ditangani firma hukum Berman Law Group di Miami. Mantan bos badan intelijen Inggris MI6 John Sawers menyebutkan China menutupi permasalahan ini selama periode Desember 2019 dan Januari 2020.

Dalam keterangannya dilansir ABC Australia, firma hukum tersebut menyebutkan gugatan ini ingin menuntut ganti-rugi miliaran dolar bagi para korban COVID-19 akibat kelalaian China.

Mereka menyebut Pemerintah China telah gagal mencegah penyebaran COVID-19 sehingga kini sudah menimbulkan masalah di seluruh dunia.

Firma hukum ini berjanji akan memperjuangkan hak-hak rakyat dan pengusaha di Florida serta di AS yang kini sakit atau harus merawat orang sakit, mengalami kesulitan keuangan, dan terpaksa mengalami kepanikan, pembatasan sosial dan isolasi akibat COVID-19.

Selain itu, gugatan juga datang dari pengusaha di Las Vegas. Mereka menuntut ganti-rugi miliaran dolar ke Pemerintah China.

Gugatan di Las Vegas ini menyebutkan Pemerintah China seharusnya membagi informasi awal mengenai virus ini, namun mereka malah mengintimidasi dokter, ilmuwan, jurnalis dan praktisi hukum sembari membiarkan COVID-19 menyebar luas.

Seperti diberitakan berbagai media, pada 2 Januari 2020, pihak berwenang di China "mempermalukan" delapan orang dokter dalam siaran TV nasional. Ke-8 orang ini dituduh sebagai, "penyebar hoaks".

Menurut laporan investigasi kantor berita Associated Press pekan lalu, Kepala Komisi Kesehatan Nasional China Ma Xiaowei telah memaparkan adanya "situasi parah dan kompleks" soal pandemi ini dalam sebuah rapat bersama pejabat medis tingkat provinsi pada 14 Januari.

Ma Xiaowei bahkan membandingkan situasi ini dengan penyebaran virus SARS tahun 2003.

Namun baru pada tanggal 20 Januari Presiden Xi Jinping mengumumkan kemungkinan adanya pandemi virus corona ini.

Eropa

Gugatan juga datang dari Eropa. Henry Jackson Society, sebuah lembaga pemikir di Inggris, menyatakan Pemerintah China harus bertanggung jawab atas pandemi COVID-19 karena adanya upaya menutup-nutupi masalah pada tahap awal.

Mereka berpendapat, negara-negara G-7 bisa menggugat ganti-rugi ke China sebesar 3,2 triliun pound.

Mantan bos badan intelijen Inggris MI6 John Sawers mengungkap adanya informasi yang menyebutkan bahwa Pemerintah China menutupi permasalahan ini selama periode Desember 2019 dan Januari 2020.

Sebelumnya tabloid Bild di Jerman yang paling banyak pembacanya di Eropa, menerbitkan "surat tagihan" sebesar 24 miliar euro sebagai ganti-rugi atas pendapatan pariwisata selama Maret dan April.

Selain itu, Bild juga meminta ganti rugi sebesar 50 miliar euro untuk usaha kecil-menengah, serta 149 miliar euro lainnya jika GDP Jerman anjlok di bawah 4,2 persen tahun ini.

Dalam surat terbuka kepada Presiden China, surat kabar tersebut menyatakan "Pemerintahan dan ilmuwan Anda telah lama mengetahui bahwa virus corona sangat menular, namun Anda membiarkan seluruh dunia tidak mengetahuinya".

"Para ilmuwan utama Anda tidak merespon ketika para peneliti Barat ingin mengetahui apa yang terjadi di Wuhan," tambahnya.Selain itu, Bild juga meminta ganti rugi sebesar 50 miliar euro untuk usaha kecil-menengah, serta 149 miliar euro lainnya jika GDP Jerman anjlok di bawah 4,2 persen tahun ini.

Dalam surat terbuka kepada Presiden China, surat kabar tersebut menyatakan "Pemerintahan dan ilmuwan Anda telah lama mengetahui bahwa virus corona sangat menular, namun Anda membiarkan seluruh dunia tidak mengetahuinya".

"Para ilmuwan utama Anda tidak merespon ketika para peneliti Barat ingin mengetahui apa yang terjadi di Wuhan," tambahnya.