Minggu, 26 April 2020

Ahli WHO Tinjau Ulang Rekomendasi Pemakaian Masker untuk Publik

Para ahli penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan meninjau ulang rekomendasi pemakaian masker untuk publik di tengah pandemi virus corona COVID-19. Hal ini berkaitan dengan temuan studi-studi terbaru yang melihat jarak aman saat seseorang bersin.
Satu studi oleh peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa saat seseorang bersin, percikan liur atau droplet yang dihasilkan bisa meluncur sampai delapan meter. Selain itu partikel yang dihasilkan juga memiliki berbagai macam ukuran.

"Apa yang dihasilkan saat kita menghembuskan napas, batuk, atau bersin adalah sebuah awan gas dengan momentum yang tinggi dan bisa membawa berbagai macam ukuran droplet di penjuru ruangan," kata pemimpin studi Lydia Bourouiba.

Lydia melakukan studi dengan menggunakan sensor dan kamera gerak lambat untuk merekam droplet yang dihasilkan orang-orang.

"Jadi ide buruk bila berpikir bahwa satu ada dua meter sudah aman. Bahwa anggapan droplet ini akan jatuh ke tanah pada jarak tersebut tidak didasari dengan hal yang kita hitung, ukur, dan visualisasi secara langsung," lanjutnya seperti dikutip dari BBC, Kamis (2/4/2020).

Lydia mengatakan masker tidak akan terlalu berfungsi melindungi seseorang dari partikel droplet yang kecil. Namun demikian masker tetap bermanfaat karena dapat menghalau momentum 'awan' droplet.

Salah satu ahli yang tergabung dalam dewan penasehat WHO, Profesor David Heymann, menjelaskan mereka akan mengadakan pertemuan untuk meninjau studi ini. Ini artinya ada kemungkinan imbauan WHO terkait pemakaian masker direvisi.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan untuk saat ini imbauan pemakaian masker untuk publik masih sama yaitu untuk orang sakit dan para perawat. Namun demikian WHO tidak menolak rencana peninjauan tersebut.

"Kami terus melanjutkan studi terkait bukti manfaat penggunaan masker... WHO akan terus mengumpulkan bukti yang ada dan mengevaluasi potensi pemakaian masker yang lebih luas untuk mengendalikan COVID-19 pada tingkat komunitas," kata Tedros.

Sepekan Jalani Isolasi, Pangeran Charles Sembuh dari Corona

Pewaris tahta Kerajaan Inggris, Pangeran Charles yang kini berusia 71 tahun, dilaporkan telah sembuh dari infeksi virus corona COVID-19. Ia dinyatakan sembuh setelah sepekan menjalani isolasi mandiri.
Pangeran Charles sebelumnya mengisolasi diri di kediamannya di Skotlandia sejak dinyatakan positif terinfeksi virus corona pada (25/3).

"Setelah mengalami sendiri infeksi virus corona, saya beruntung karena hanya menunjukkan gejala ringan. Meski kini sudah sembuh, saya masih tetap melakukan jaga jarak dan mengisolasi diri, kata Pangeran Charles dalam sebuah video seperti dikutip dari i24NEWS.

Pangeran Charles mengucapkan terima kasih atas perjuangan hebat orang-orang dan para petugas medis yang memberikan perawatan dan perhatian kepada para pasien. Ia pun mendorong orang-orang untuk terus berjuang, meskipun tak ada yang tahu kapan pandemi corona berakhir.

"Tak satupun dari kita yang bisa mengatakan kapan ini akan berakhir, tetapi pasti akan berakhir," kata dia.

Istri Pangeran Charles, Camilla, masih melakukan karantina mandiri sampai akhir pekan ini untuk mengantisipasi kemungkinan mengalami gejala.

"Seperti yang kita tahu, ini pengalaman yang tak biasa, membuat frustasi dan khawatir saat keluarga dan teman-teman tidak lagi bisa bertemu dan struktur kehidupan yang normal tiba-tiba hilang," kata Pangeran Charles.

Menurut data pada Selasa (31/3/2020), jumlah kematian akibat virus corona di Inggris naik menjadi 1.789 orang. Jumlah itu merupakan peningkatan kematian sebesar 27 persen dalam sehari.

Perusahaan Rokok Klaim Punya Vaksin untuk Corona dari Tembakau

Satu perusahaan rokok mengklaim sedang mengembangkan vaksin yang potensial untuk memerangi virus corona COVID-19. Vaksin itu disebut berasal dari tanaman tembakau.
British American Tobacco (BAT) mengatakan jika pengujian vaksin corona ini berjalan dengan baik, pihaknya akan memproduksi sampai 3 juta dosis per minggu pada bulan Juni.

"Jika pengujian berjalan dengan baik, dengan mitra yang tepat dan dukungan dari lembaga pemerintah antara 1-3 juta dosis vaksin akan diproduksi per minggunya mulai Juni nanti," kata pihak BAT yang dikutip dari The Sun.

BAT berencana akan mulai uji klinis pada manusia secepatnya. Saat ini, vaksin buatannya sedang menjalankan tes atau uji praklinis. BAT juga mendesak otoritas obat-obatan Amerika Serikat untuk mempercepat perizinan.

Direktur penelitian BAT, David O'Reilly, mengatakan pengembangan vaksin ini adalah pekerjaan yang menantang dan kompleks. Tapi, ia percaya bisa melakukan terobosan dengan platform teknologi tembakau yang dimilikinya.

"Kami siap untuk bekerja dengan pemerintah dan semua pemangku kepentingan untuk membantu meredakan virus mematikan ini dengan teknologi yang kami miliki," ungkapnya.

Pengembangan ini juga dibantu divisi bio-kesehatan perusahaan, Kentucky BioProcessing (KBP), yang sebelumnya membuat obat penanganan Ebola. Mereka mengklaim telah menemukan antibodi yang bisa melawan COVID-19 dengan tembakau yang dimodifikasi secara genetik.

Ahli WHO Tinjau Ulang Rekomendasi Pemakaian Masker untuk Publik

Para ahli penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan meninjau ulang rekomendasi pemakaian masker untuk publik di tengah pandemi virus corona COVID-19. Hal ini berkaitan dengan temuan studi-studi terbaru yang melihat jarak aman saat seseorang bersin.
Satu studi oleh peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa saat seseorang bersin, percikan liur atau droplet yang dihasilkan bisa meluncur sampai delapan meter. Selain itu partikel yang dihasilkan juga memiliki berbagai macam ukuran.

"Apa yang dihasilkan saat kita menghembuskan napas, batuk, atau bersin adalah sebuah awan gas dengan momentum yang tinggi dan bisa membawa berbagai macam ukuran droplet di penjuru ruangan," kata pemimpin studi Lydia Bourouiba.

Lydia melakukan studi dengan menggunakan sensor dan kamera gerak lambat untuk merekam droplet yang dihasilkan orang-orang.

"Jadi ide buruk bila berpikir bahwa satu ada dua meter sudah aman. Bahwa anggapan droplet ini akan jatuh ke tanah pada jarak tersebut tidak didasari dengan hal yang kita hitung, ukur, dan visualisasi secara langsung," lanjutnya seperti dikutip dari BBC, Kamis (2/4/2020).

Lydia mengatakan masker tidak akan terlalu berfungsi melindungi seseorang dari partikel droplet yang kecil. Namun demikian masker tetap bermanfaat karena dapat menghalau momentum 'awan' droplet.

Salah satu ahli yang tergabung dalam dewan penasehat WHO, Profesor David Heymann, menjelaskan mereka akan mengadakan pertemuan untuk meninjau studi ini. Ini artinya ada kemungkinan imbauan WHO terkait pemakaian masker direvisi.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan untuk saat ini imbauan pemakaian masker untuk publik masih sama yaitu untuk orang sakit dan para perawat. Namun demikian WHO tidak menolak rencana peninjauan tersebut.

"Kami terus melanjutkan studi terkait bukti manfaat penggunaan masker... WHO akan terus mengumpulkan bukti yang ada dan mengevaluasi potensi pemakaian masker yang lebih luas untuk mengendalikan COVID-19 pada tingkat komunitas," kata Tedros.