Apakah obat itu akan mempercepat pemulihan pasien?
Atau apakah obat itu membuat pasien tidak perlu menerima perawatan intensif? Apakah obat ini bekerja lebih baik pada orang yang lebih muda atau lebih tua? Atau mereka yang dengan atau tanpa penyakit lain? Apakah pasien harus dirawat dini ketika virus dianggap memuncak di dalam tubuh?
Ini akan menjadi pertanyaan penting ketika rincian lengkap obat ini akhirnya diterbitkan, karena obat dapat memiliki manfaat ganda, yaitu menyelamatkan nyawa dan membantu melonggarkan lockdown.
Prof Mahesh Parmar, direktur MRC Clinical Trials Unit di UCL, yang telah mengawasi percobaan di Uni Eropa, mengatakan: "Sebelum obat ini tersedia lebih luas, sejumlah hal perlu dilakukan: data dan hasil percobaan perlu ditinjau oleh regulator untuk menilai apakah obat tersebut dapat dilisensikan. Kemudian obat itu perlu dinilai oleh otoritas kesehatan terkait di berbagai negara.
"Sementara itu, kami akan mengumpulkan data jangka panjang dari uji coba ini dan mencari tahu apakah obat itu juga bisa mencegah kematian akibat Covid-19."
Jika obat itu dapat membuat orang tidak memerlukan perawatan intensif, maka risiko rumah sakit kewalahan akan lebih kecil dan kebutuhan menjaga jarak sosial akan lebih sedikit diperlukan.
Prof Peter Horby, dari Universitas Oxford, saat ini menjalankan uji coba obat Covid-19 terbesar di dunia.
Dia mengatakan: "Kami perlu melihat hasil lengkap, tetapi jika dapat dikonfirmasi, ini akan menjadi hasil yang fantastis dan berita bagus untuk pertarungan melawan Covid-19.
"Langkah selanjutnya adalah mengeluarkan data lengkap dan mengusahakan askses yang adil untuk (distribusi) remdesivir."
Data AS tentang remdesivir keluar bersamaan dengan uji coba obat yang sama di China, yang dilaporkan dalam jurnal medis Lancet. Dilaporkan, obat itu tidak efektif.
Namun, percobaan itu tidak lengkap karena keberhasilan lockdown di Wuhan, yang berarti dokter kekurangan pasien.
"Data ini menjanjikan, dan mengingat bahwa kami belum memiliki pengobatan yang terbukti berhasil untuk Covid, ini mungkin mengarah pada persetujuan cepat remdesivir untuk pengobatan Covid," kata Prof Babak Javid, seorang konsultan penyakit menular di Cambridge University Hospitals.
"Namun, itu juga menunjukkan bahwa remdesivir bukan peluru ajaib dalam konteks ini: manfaat keseluruhan untuk bertahan hidup adalah 30%."
Obat lain yang sedang diselidiki untuk Covid-19 adalah obat untuk malaria dan HIV, yang dapat menyerang virus serta dapat menenangkan sistem kekebalan tubuh.
Anti-virus dipercaya mungkin lebih efektif pada tahap awal, dan obat-obatan kekebalan efektif di tahap selanjutnya.
Remdesivir pada awalnya dikembangkan sebagai pengobatan Ebola. Obat itu adalah antivirus yang bekerja dengan menyerang enzim yang dibutuhkan virus agar dapat bereplikasi di dalam sel.
Uji coba dijalankan oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS dan melibatkan 1.063 orang partisipan.
Beberapa pasien diberi obat, sementara yang lain menerima pengobatan plasebo.
Dr Anthony Fauci yang mengepalai NIAID mengatakan: "Data menunjukkan remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mengurangi waktu pemulihan."
Dia mengatakan hasilnya membuktikan "obat ini dapat memblokir virus corona" dan "membuka pintu kenyataan bahwa kita sekarang memiliki kemampuan untuk mengobati" pasien.
Namun, dampaknya pada kematian masih tidak jelas.
Tingkat kematian mencapai 8% pada orang yang diberi remdesivir dan 11,6% pada mereka yang diberi plasebo, tetapi hasil ini tidak signifikan secara statistik. Artinya para ilmuwan tidak dapat mengetahui apakah perbedaan itu nyata.
Tidak jelas juga siapa yang diuntungkan dengan penggunaan obat ini.