Senin, 04 Mei 2020

Selidiki Sumber Corona, Trump Disebut Utus Mata-mata ke China

Presiden Amerika Serikat Donald Trump disebut telah mengirimkan mata-mata ke China. Mata-mata ini ditugaskan untuk mencari tahu asal mula virus corona SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab pandemi Covid-19.

Hal ini diungkap dari berbagai pemberitaan media di AS seperti dikutip AFP. Trump memang menjadikan penanganan yang buruk China atas penanganan wabah corona sebagai pusat kampanye pemilihan presiden AS yang akan dilakukan November mendatang.

Trump terus melakukan kritik atas manajemen penanganan wabah Covid-19 yang pertama muncul di kota Wuhan, China. Pekan lalu, Trump mengklaim memiliki bukti kalau virus itu berasal dari laboratorium virologi di Wuhan alih-alih bermula dari pasar hewan seperti yang selama ini diberitakan.

Sebelumnya, para ilmuwan percaya kemungkinan kalau virus ini pindah dari hewan ke manusia dari pasar hewan eksotis di Wuhan. Pasar hewan ini dikenal menjual berbagai hewan unik mulai dari kelelawar hingga trenggiling untuk dikonsumsi.

Belakangan, para peneliti pun mengutarakan kemungkinan kelelawar hingga trenggiling menjadi hewan perantara penyebaran virus itu ke manusia.

Trump pada Kamis (4/5) pekan lalu menyebut telah melihat bukti keterlibatan Institut Virologi Wuhan. Namun, ia tak memberikan rincian lebih lanjut soal pernyataannya itu. Pernyataan Trump ini menimbulkan spekulasi soal keberadaan laboratorium rahasia.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga mengutarakan hal serupa. Ia menyebut kalau ada bukti signifikan dalam jumlah besar bahwa virus itu berasal dari laboratorium di Wuhan.

"Saya kira seluruh dunia sekarang bisa melihat, ingat, China memiliki sejarah menginfeksi dunia dan menjalankan laboratorium di bawah standar."

Menanggapi tuduhan ini, Institut Virologi Wuhan menampik. Mereka menyebut hal itu sebagai sebuah kemustahilan.

 Sebelumnya, Pompeo menyebut usaha China untuk berusaha meredam pemberitaan tentang wabah virus corona adalah sebuah usaha klasik Komunis untuk melakukan disinformasi, "yang menciptakan risiko besar."

"Presiden Trump sangat jelas: kami akan menahan mereka yang bertanggung jawab akan hal ini," tutur Pompeo.

Pompeo pun sepakat dengan komunitas intelejen AS yang menyebut kalau virus ini bukan buatan manusia hasil modifikasi genetis.

Namun, ia menekankan bahwa ada bukti signifikan dan sangat besar kalau virus itu berasal dari laboratorium Wuhan.

Sebelumnya, seorang ilmuwan AS, Kristian Andersen menulis dalam jurnal Nature Medicine kalau virus corona SARS-CoV-2 bukan virus hasil mutasi buatan manusia untuk senjata biologis.

Menurutnya, virus ini adalah hasil evolusi alami setelah diteliti lewat analisis perbandingan data sekuens genom publik dari Covid-19.

Komentar Pompeo dilontarkan setelah surat kabar Australia, The Saturday Telegraph, melaporkan kalau China sengaja menyembunyikan atau menghancurkan bukti tentang wabah itu. Langkah ini disebut surat kabar itu sebagai pelecehan atas transparansi internasional yang kemudian menelan korban jiwa hingga puluhan ribu jiwa.

Saat ini Amerika Serikat menjadi negara terdampak Covid-19 terbesar di dunia. Terdapat lebih dari 66 ribu kasus kematian akibat infeksi virus corona SARS-CoV-2 di negara itu.

Kebijakan karantina yang dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 pun berimbas pada meningkatnya puluhan juta pengangguran di AS.

Meski demikian, AS telah menunjukkan gejala penurunan penularan. Sehingga, sejumlah negara bagian pun mulai melonggarkan kebijakan karantina. 

Beberapa Negara Masih Dihantui Tinggi Angka Infeksi Corona

Ketika sejumlah negara mulai melonggarkan kebijakan lockdown dan menikmati matahari musim semi, beberapa negara terpadat dunia masih dibayangi peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 akibat infeksi virus corona (SARS-CoV-2).

India dan Rusia masih harus berurusan dengan peningkatan jumlah infeksi. Tercatat, negara itu memiliki 2.600 kasus positif Covid-19 baru. Sementara Rusia, jumlah kasus mencapai 10 ribu untuk pertama kalinya.

Sementara di Inggris, angka kematian naik melebihi Italia yang menjadi pusat wabah Covid-19 di Eropa. Padahal rerata umur populasi di Inggris lebih muda dari Italia dan pemerintah Inggris punya lebih banyak waktu melakukan persiapan sebelum pandemi menyerang.


Amerika Serikat juga terus mencatat penambahan infeksi virus corona setiap hari. Tercatat ada 1.400 kematian pada Sabtu (2/5).

Ahli kesehatan mengingatkan wabah gelombang dua bisa kembali menghantam. Kecuali pemerintah melakukan pengetesan massal secara luas begitu lockdown dilonggarkan.

Tekanan untuk membuka karantina terus mengalir setelah lockdown diterapkan selama berminggu-minggu. Karantina ini membuat banyak bisnis kolaps dan membuat ekonomi dunia merosot tajam sejak era krisis 1930 dan menyebabkan jutaan pengangguran.

Sementara itu di China, infeksi virus corona baru di negara itu dilaporkan hanya dua kasus. Namun, negara itu menghadapi gelombang pengunjung di tempat-tempat wisata yang baru di buka.

Pemerintah China telah melonggarkan pelarangan perjalanan setelah ditetapkan libur lima hari pada Selasa pekan lalu. Hampir 1,7 juta orang mengunjungi taman-taman di Beijing pada dua hari pertama libur.

Sementara pusat wisata Shanghai pun kebanjiran 1 juta pengunjung, seperti dilaporkan media setempat. Namun, banyak tempat wisata ini membatasi pengujung hanya 30 persen dari total kapasitas mereka.

Di Spanyol, banyak warga yang keluar rumah dan berkeliling untuk pertama kali sejak negara itu menerapkan lockdown pada 14 Maret. Meski demikian, aturan social distancing masih diberlakukan. Pemakaian masker juga diwajibkan saat menggunakan transporatasi umum pada Senin (4/5).

Sementara Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson tengah berada di bawah tekanan untuk mencari jalan keluar bagaimana negara itu akan mengangkat lockdown. Pembatasan berlangsung hingga Kamis (7/5). Namun, negara itu masih menghadapi angka kematian harian yang cukup tinggi. Dua kali lebih besar dari Italia dan Spanyol.

Di AS, negara bagian New Jersey telah kembali membuka taman. Namun, warga diminta untuk tidak memasuki taman setelah parkiran taman itu terisi 50 persen.

Selidiki Sumber Corona, Trump Disebut Utus Mata-mata ke China

Presiden Amerika Serikat Donald Trump disebut telah mengirimkan mata-mata ke China. Mata-mata ini ditugaskan untuk mencari tahu asal mula virus corona SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab pandemi Covid-19.

Hal ini diungkap dari berbagai pemberitaan media di AS seperti dikutip AFP. Trump memang menjadikan penanganan yang buruk China atas penanganan wabah corona sebagai pusat kampanye pemilihan presiden AS yang akan dilakukan November mendatang.

Trump terus melakukan kritik atas manajemen penanganan wabah Covid-19 yang pertama muncul di kota Wuhan, China. Pekan lalu, Trump mengklaim memiliki bukti kalau virus itu berasal dari laboratorium virologi di Wuhan alih-alih bermula dari pasar hewan seperti yang selama ini diberitakan.

Sebelumnya, para ilmuwan percaya kemungkinan kalau virus ini pindah dari hewan ke manusia dari pasar hewan eksotis di Wuhan. Pasar hewan ini dikenal menjual berbagai hewan unik mulai dari kelelawar hingga trenggiling untuk dikonsumsi.

Belakangan, para peneliti pun mengutarakan kemungkinan kelelawar hingga trenggiling menjadi hewan perantara penyebaran virus itu ke manusia.

Trump pada Kamis (4/5) pekan lalu menyebut telah melihat bukti keterlibatan Institut Virologi Wuhan. Namun, ia tak memberikan rincian lebih lanjut soal pernyataannya itu. Pernyataan Trump ini menimbulkan spekulasi soal keberadaan laboratorium rahasia.