Senin, 11 Mei 2020

Jangan Malas! Dokter Sebut Rajin Sikat Gigi Bisa Cegah Penularan Corona

Dokter gigi terkemuka asal Inggris menyebut rajin sikat gigi dapat membantu melindungi dari paparan dan penularan virus Corona. Profesor Martin Addy, mengatakan pasta gigi mengandung zat yang hampir sama dengan hand sanitizer dan dapat bertidak sebagai 'tameng' selama tiga jam setelah digunakan.
Menyikat gigi selama dua menit sebelum keluar rumah dianggap mampu mencegah penularan dan penyebaran penyakit.

"Kita semua telah diberitahu tentang pentingnya mencuci tangan untuk menghentikan penyebaran virus yang menginfeksi ketika menyentuh wajah. Mengejutkan bahwa tidak ada yang menekankan pentingnya kebersihan mulut," katanya dikutip dari The Sun.

Oleh sebab itu ia menyarankan menyikat gigi sebelum pergi berbelanja atau jika berencana berolahraga di luar rumah. Selain itu menurutnya, para tenaga kesehatan juga harus menyikat gigi sebelum mengenakan APD mereka.

"Para ilmuwan yang percaya kita harus memakai masker wajah telah menekankan bagaimana Covid-19 disebarkan oleh tetesan air liur. Kita juga disuruh mencuci tangan agar tidak terinfeksi saat menyentuh wajah," jelasnya.

"Tetapi menyikat gigi akan memberikan perlindungan penting lainnya," pungkasnya.

Corona Bikin Orang Malas Bercinta

Sejak terjadi pandemi virus Corona, banyak sekali joke terlontar tentang kemungkinan ledakan angka kelahiran gara-gara lockdown. Kenyataannya, sebuah penelitian mengungkap minat bercinta justru menurun di masa pandemi.
Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Psychosomatic Obstetrics and Gynecology tersebut menyebut lebih dari 80 persen pasangan menunda punya keturunan selama pandemi. Lebih dari sepertiga yang sebenarnya ingin punya anak, memilih menunda hingga Corona berlalu.

Pertimbangan ekonomi yang serba tidak pasti menjadi salah satu alasan. Pertimbangan lainnya adalah kemungkinan adanya dampak pandemi terhadap kehamilan.

Sementara dikutip dari BBC, sebuah perusahaan kondom mengakui adanya penurunan penjualan alat kontrasepsi gara-gara Corona. Selain karena produksinya memang berkurang, pasangan disebut cenderung kurang intim sebagai dampak berbagai pembatasan.

"Keintiman berkurang dan itu adalah manifestasi kegelisahan," kata Lazman Narasimhan dari Reckitt Benckiser.

Prediksi terjadinya ledakan angka kelahiran atau baby boom seusai pandemi muncul berkaca dari krisis-krisis sebelumnya, termasuk Perang Dunia Kedua. Namun pada kondisi pandemi COVID-19, para pakar meyakini justru lebih banyak yang akan menunda punya keturunan.

Kisah Haru Wanita yang Dinyatakan Positif Corona Sehari Sebelum Melahirkan

Sehari sebelum melahirkan anak ketiganya, seorang wanita yang juga pegawai kantoran dari Astoria dinyatakan positif Corona. Wanita yang bernama Chantel Longuinho ini pun sebelumnya harus menelan kenyataan pahit ketika mendapati ayah mertuanya yang juga meninggal karena virus Corona COVID-19.
"Saya melahirkan sehari setelah saya dinyatakan positif COVID-19 dan setelah ayah mertua saya meninggal karenanya," ungkap Chantel, dikutip dari New York Post, Minggu (10/5/2020).

Awalnya ia merasa cemas usai dinyatakan positif Corona saat akan melahirkan anaknya. Setelah mengetahui dirinya positif Corona, ia pun terpaksa harus menjalani persalinan sendiri tanpa ditemani suaminya. Karena hasil tes suami dan anak-anaknya dinyatakan negatif Corona.

Perawat yang menangani Chantel pun hanya bisa merasa iba dan berusaha untuk membantu Chantel tidak merasa sendiri. Perawat Chantel membantu keluarganya melihat persalinan Chantel melalui FaceTime.

Sementara itu, saat bayinya lahir, Chantel pun harus menggunakan sarung tangan, masker bedah, dan alat pelindung diri saat menggendong bayinya agar si bayi tak tertular Corona. Tak hanya itu, Chantel juga tak bisa memberi bayinya ASI karena ia tak bisa menghasilkan ASI, meski belum diketahui pasti penyebabnya.

Salah satu anaknya yang paling besar pun tak dikatakan menangis menahan rindu untuk tidak bertemu dengan dirinya. "Anak perempuan saya yang lebih tua, yang berusia 8 tahun, menangis pada suatu malam dan berkata, 'saya butuh pelukan ibu,'. Hati saya hancur ketika saya mengatakan kepadanya bahwa saya tidak bisa memeluknya," jelas Chantel.

Studi Temukan Korelasi Kekurangan Vitamin D dan Kematian Akibat Corona

Sebuah studi baru telah menemukan hubungan antara kekurangan vitamin D dan tingginya angka infeksi COVID-19 yang berpengaruh pada tingkat kematian akibat virus Corona.
Dipimpin oleh Northwestern University, tim peneliti melakukan analisis statistik data dari rumah sakit dan klinik di seluruh China, Prancis, Jerman, Italia, Iran, Korea Selatan, Spanyol, Swiss, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.

Para peneliti mencatat bahwa pasien dari negara-negara dengan tingkat kematian COVID-19 yang tinggi, seperti Italia, Spanyol dan Inggris, memiliki tingkat vitamin D yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien di negara-negara yang tidak terkena dampak parah.

Italia dan Spanyol sama-sama mengalami tingkat kematian COVID-19 yang tinggi, dan studi baru menunjukkan bahwa kedua negara tersebut memiliki tingkat vitamin yang lebih rendah daripada kebanyakan negara Eropa utara. Ini karena orang-orang di Eropa selatan, terutama orang tua, menghindari sinar matahari.

Namun hasil penelitian ini tidak berarti bahwa setiap orang, terutama yang belum kekurangan, perlu menimbun suplemen vitamin D.

"Meski kami pikir penting bagi orang-orang untuk mengetahui bahwa kekurangan vitamin D berperan dalam kematian (virus Corona), kita tidak perlu mendoron (konsumsi) vitamin D bagi semua orang," kata Vadim Backman dari Northwestern yang memimpin penelitian, dikutip dari Science Daily.

Backman yang merupakan profesor teknik biomedis di McCormic School of Engineering Nothwestern dan timnya terinspirasi untuk memeriksa kadar vitamin D setelah mengetahui adanya tingkat kematian pasien COVID-19 yang tidak dapat dijelaskan dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.

Beberapa orang menyebut bahwa perbedaan tingkat mortalitas tersebut dipengaruhi oleh layanan kesehatan, usia, tingkat pengujian, atau bahkan jenis mutasi virus Corona. Namun Backman tetap skeptis.

"Tidak satu pun dari faktor tersebut memerankan peran penting. Sebaliknya, kami melihat korelasi yang kuat dengan kekurangan vitamin D," sebutnya.

Dengan menganalisis data pasien yang tersedia dari seluruh dunia, Backman dan timnya menemukan korelasi yang kuat antara kadar vitamin D dan badai sitokin, kondisi hiperinflamasi yang disebabkan oleh sistem kekebalan yang terlalu aktif, serta hubungan antara kekurangan vitamin D dan mortalitas.

"Badai sitokin dapat sangat merusak paru-paru dan menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut dan kematian pada pasien. Inilah yang tampaknya membunuh sebagian besar pasien COVID-19, bukan penghancuran paru-paru oleh virus itu sendiri," jelasnya.

Di sinilah Backman percaya vitamin D memainkan peran utama. Vitamin D tidak hanya meningkatkan sistem kekebalan tubuh bawaan kita, tetapi juga mencegah sistem kekebalan tubuh kita menjadi terlalu aktif. Ini berarti memiliki kadar vitamin D yang sehat dapat melindungi pasien dari komplikasi parah, termasuk kematian, dari COVID-19.

Namun peneliti tetap menekanan bahwa orang tidak boleh mengonsumsi vitamin D dalam dosis tinggi karena akan menyebabkan efek samping. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat seberapa banyak konsumsi vitamin D yang dibutuhkan untuk melindungi dari komplikasi COVID-19.