The Académie Française mengukuhkan penyakit COVID-19 adalah kata benda feminin. Ini ditujukan untuk meluruskan tata bahasa yang menggunakan 'le COVID-19' dan menggantinya dengan 'la COVID-19'.
"Penggunaan feminin akan lebih sesuai," kata Académie Française di situs webnya.
Diketahui, dalam Bahasa Prancis kata benda dibagi menjadi 2 kelompok menurut gender yakni feminin dan maskulin (féminin dan mascula). Aturan ini sudah ada sejak penggunaan Bahasa Prancis kuno (ancien français). Pembagian kata benda feminin dan maskulin ini juga ada dalam bahasa Jerman dan Belanda.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah lama menyebut COVID-19 sebagai 'la' dalam pengucapan Prancis-nya. Di Kanada, Perdana Menteri Justin Trudeau, situs web pemerintah dan media menggunakan bentuk feminin juga.
"Mungkin belum terlambat untuk memberikan akronim ini kembali ke gender yang seharusnya," sambungnya.
Alasan di balik keputusan ini dikarenakan COVID-19 adalah akronim untuk Coronavirus disease, nah di Prancis, 'disease' disebut dengan kata 'maladie' yang masuk kategori feminin. Demikian dikutip detikINET dari rfi.fr.
Pasien Pria dengan Testosteron Rendah Berisiko Meninggal Akibat Corona
Pasien virus Corona pria dengan kadar testosteron rendah menghadapi risiko lebih besar meninggal akibat COVID-19. Sebuah studi baru dari rumah sakit Jerman telah menjelaskan peran yang dimainkan oleh testosteron, hormon seks pria, dalam respons tubuh terhadap SARS-CoV-2.
Para peneliti di Pusat Medis Universitas Hamburg-Eppendorf menilai 45 COVID-19 dari pasien pertama (35 pria, 10 wanita) yang dirawat di unit perawatan intensif rumah sakit. Dari kelompok ini, sembilan pria dan tiga wanita meninggal. Tujuh dari pasien sementara itu membutuhkan oksigen sementara 33 ditempatkan pada ventilator.
"Dengan SARS-CoV-2 terus menginfeksi manusia di seluruh dunia, berulang kali dilaporkan bahwa laki-laki dengan COVID-19 berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan hasil yang parah dan bahkan mematikan dibandingkan dengan perempuan, terlepas dari usia," tulis peneliti dikutip dari The Independent.
Dari 35 pria, lebih dari dua pertiga (68,6 persen) mencatat tingkat hormon testosteron yang rendah. Sebaliknya, lebih dari setengah pasien wanita (60 persen) memiliki kadar testosteron lebih tinggi.
Testosteron adalah salah satu dari banyak hormon yang bertanggung jawab untuk memantau respons kekebalan tubuh.
Pada pria, level rendah dari hormon ini dapat mengganggu dan membingungkan respon tubuh saat melawan patogen. Ini dapat menghasilkan apa yang disebut badai sitokin, kondisi hiperinflamasi yang disebabkan oleh sistem kekebalan yang terlalu aktif, yang telah terlihat pada banyak dari mereka yang menderita COVID-19.
Diperkirakan bahwa reaksi homeostatis ekstrem ini, yang dapat menyebabkan kerusakan paru-paru yang parah dan sindrom gangguan pernapasan akut (PPOK), pada akhirnya bertanggung jawab sebagai penyebab kematian pasien virus Corona.
"Pria dengan kadar testosteron normal tidak menunjukkan badai sitokin dan karenanya lebih mungkin untuk bertahan hidup," kata Profesor Gülsah Gabriel, yang terlibat dalam penelitian, kepada Daily Mail.
"Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk memahami mengapa pria lebih mungkin meninggal karena COVID-19 daripada wanita."