Sebuah studi menyebutkan bahwa kucing rupanya dapat terinfeksi dan menjadi transmisi virus Corona (COVID-19) di lingkungan sekitarnya. Tapi kabar baiknya, belum ada bukti mereka dapat menularkan ke manusia.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wisconsin telah melakukan penelitian terhadap kucing, untuk mengetahui apakah hewan peliharaan tersebut dapat terjangkit seperti halnya harimau dan singa di Kebun Binatang Bronx, New York, AS, yang dinyatakan positif COVID-19.
Untuk mengetahui hal itu, peneliti menempatkan tiga kucing yang telah positif COVID-19 dengan tiga kucing yang tidak terjangkit dalam sebuah ruangan selama lima hari. Hasilnya, semua kucing tersebut positif COVID-19.
Meski telah positif, kucing-kucing itu tidak memilik gejala layaknya telah terpapar sebuah virus.
"Tidak ada bersin, tidak ada batuk, mereka tidak memiliki suhu badan tinggi atau kehilangan berat badan. Jika pemilik hewan peliharaan itu melihat, maka ia tidak akan menyadarinya," sebut Pakar Virus dari Universitas Wisconsin, Peter Halfmann dilansir dari Mashable, Jumat (15/5/2020).
Studi ini menjadi acuan peneliti untuk memperingati orang-orang, khususnya yang memelihara kucing di rumahnya agar bisa menjaganya, terutama membatasi interaksi dengan hewan tersebut dan orang lain.
Orang-orang yang mempunyai gejala virus Corona juga dianjurkan untuk tidak mendekati kucing karena berpotensi hewan tersebut jadi transmisi di lingkungan sekitarnya.
Setiap hari, tim peneliti Universitas Wisconsin ini mengambil tes swap dari hidung kucing dan setelah enam hari, semua kembali negatif.
"Jika mereka dikarantina di rumah mereka dan khawatir akan menyebarkan COVID-19 kepada anak-anak dan pasangan, mereka juga harus waspada untuk memberikan hewan peliharaan tersebut," tutur Halfmann.
Kendati begitu, peneliti juga menekankan agar ada penelitian lebih lanjut, apakah COVID-19 yang dibawa kucing itu bisa menularkan ke manusia. Hasil studi ini pun telah diterbitkan ke dalam New England Journal of Medicine.
Ilmuwan: Lockdown Dibuka, Semua Jadi Eksperimen Corona
Upaya lockdown di berbagai negara adalah untuk meminimalisir penularan COVID-19. Kini setelah lockdown mulai dilonggarkan, warga pun menjadi semacam partisipan dalam eksperimen tentang bagaimana situasi yang akan terjadi pasca lockdown.
Ilmuwan di Inggris memperingatkan melonggarkan lockdown terlalu cepat dalam fase 'eksperimen' ini bisa menyebabkan gelombang kedua paparan virus Corona. Karena itu, pembukaan lockdown harus dilakukan dengan hati-hati dan terukur.
"Kita melonggarkan hal-hal yang kita anggap aman dulu dan kemudian mengawasinya dengan sangat hati-hati," kata Dr Mike Tildelsey, akademisi dari University of Warwick, Inggris.
"Seiring kita memasuki fase ini, kita adalah 'hewan percobaan'. Tapi seiring fase ini berjalan, kita akan lebih memahami seberapa efektif," tambahnya.
Dikutip detikINET dari BBC, Dr Mike menyarankan toko atau bisnis hanya bisa dibuka jika sosial distancing dapat dilakukan. Kemudian mereka yang bisa bekerja dari rumah sebaiknya meneruskannya. Sementara orang tua yang rentan tetap harus lebih dilindungi.
Lockdown dipercaya meminimalisir penularan COVID-19. Sekarang setelah ada kelonggaran, perlu diketahui nantinya seberapa tinggi kontak sosial yang bisa dilakukan untuk menjaga agar Corona bisa tetap dikendalikan.
"20 sampai 30% peningkatan kontak antar orang adalah maksimum. Vaksin masih lama. Saat ini, kita perlu sebanyak mungkin orang bisa beradaptasi," kata Profesor Azra Gahni dari Imperial College London.
Fase eksperimen ini memang tidak dikendalikan ilmuwan dan benar-benar melibatkan dunia nyata. Maka sebelum dapat diketahui hasilnya, orang harus tetap menjaga diri, tidak berbuat sembarangan.
"Ini tentang nyawa, harus ada keseimbangan soal risiko penyakit ini dan bagaimana menjalani hidup sehari-hari. Kita bisa mencapai hal itu selama orang bersikap sosial secara bertanggung jawab," kata Profesor Gahni.