Kebijakan Lockdown di China jadi salah satu rujukan untuk menahan COVID-19. Di baliknya, ada filosofi tembok yang lekat dengan budaya China.
Merunut ke tahun 2003 silam, China sudah terlatih menghadapi pandemi SARS jauh sebelum COVID-19 muncul akhir tahun 2019 silam. Sehingga ketika virus corona muncul, China kembali menerapkan 'tembok' miliknya yang jauh lebih ketat.
Hal itu pun dikisahkan oleh penulis dan penjelajah Agustinus Wibowo (Penulis Selimut Debu dan Titik Nol) dalam sesi Live Instagram bersama Pulau Imaji, Minggu (17/5/2020). Kala itu, Agustinus yang akrab disapa Agus memang tengah mengenyam pendidikan di Beijing.
"Waktu SARS di Beijing 2003 bukan lockdown total seperti di Wuhan, tapi lockdown bercluster. Perumahan di lockdown, ada satpam yang jaga," kenang Agus.
Kala itu, sejumlah daerah atau titik ditutup sedemikian rupa. Siapa saja yang berada dalam titik penutupan, tidak diperkenankan keluar dari wilayahnya. Hal itu dilakukan untuk mengkarantina penderita SARS di suatu wilayah.
Berbekal dari pengalaman itu, China pun kembali melakukan lockdown untuk skala yang lebih besar ketika corona menyerang
"Ketika di Wuhan 400 kasus positif, lockdown total dan levelnya jauh lebih ketat dari Beijing tahun 2003. Bahkan orang tidak boleh keluar dari rumahnya sendiri, ada surat dan cuma boleh 1 orang kalau belanja, itu pun 2 hari sekali. Mobil gak boleh di jalanan," cerita Agus.
Menurut penuturan Agus, tahun ini pemerintah China juga mengurus relawan tenaga medis datang dari rumah ke rumah untuk mengontol kesehatan. Apabila di rumah ada yang demam, langsung diangkut ke rumah sakit. Seketat dan seefisien itu.
Hasilnya, China sebagai negara dengan tingkat penduduk terbanyak di dunia berhasil menahan COVID-19 pasca menjadi pusat pandemi. Walau sempat kembali ada kasus positif corona, tapi jumlahnya sudah begitu kecil.
Lebih lanjut, kesigapan China dalam menghadapi SARS tahun 2003 dan COVID-19 didasarkan pada filosofi tembok. Masih ada hubungannya dengan Tembok China atau The Great Wall of China.
"Konsep tembok itu yang melandasi lockdown di China. Tembok melindungi orang di dalam, tapi di sisi lain juga memungkinkan penguasa mengontrol, membagi cluster-cluster," ujar Agus.
Dijelaskan oleh Agus, konsep tembok itu pun merasuk dalam keseharian orang-orang China itu sendiri. Di mana mereka lebih terbuka pada orang di dalam tembok (orang China) dan lebih awas pada orang di luar negaranya.
"Konsep tembok itu mengisahkan yang di dalam dan di luar. Yang di dalam dan luar sangat kuat mempengaruhi orang China dan bagaimana cara berlaku," sebut Agus.
Tentu sudah bukan rahasia umum, orang China di tempat asalnya dan di mana pun akan lebih terbuka pada orang China. Terlebih apabila bahasa Mandarin digunakan sebagai media berkomunikasi. Akan tercipta kekerabatan yang lebih cepat.
Kembali lagi ke pandemi COVID-19, Agus mengungkapkan alasan kenapa virus corona bisa lebih mengglobal saat ini ketimbang SARS ditahun 2003 silam.
"Tahun 2003 orang China ke luar negeri susah banget, sekarang bebas visa. Sekarang tahun 2008 usai Olimpiade, semua negara buka pintu untuk orang China dan berebut. Jumlah turis outbound China sangat tinggi. Itu yang belum ada tahun 2003. Dalam sekejap COVID itu bisa mengglobal dan itu jadi efek globalisasi," ujar Agus.
Hanya terlepas dari cerita tersebut, sejauh ini Pemerintah China telah dapat menahan COVID-19 dengan sistem lockdown mereka yang ketat. Kehebatan China pun tak dipungkiri berasal dari sejarah panjang dan pendekatan mereka yang kokoh bagaikan Tembok China itu sendiri.