Minggu, 17 Mei 2020

Filosofi Tembok di Balik Lockdown China

Kebijakan Lockdown di China jadi salah satu rujukan untuk menahan COVID-19. Di baliknya, ada filosofi tembok yang lekat dengan budaya China.
Merunut ke tahun 2003 silam, China sudah terlatih menghadapi pandemi SARS jauh sebelum COVID-19 muncul akhir tahun 2019 silam. Sehingga ketika virus corona muncul, China kembali menerapkan 'tembok' miliknya yang jauh lebih ketat.

Hal itu pun dikisahkan oleh penulis dan penjelajah Agustinus Wibowo (Penulis Selimut Debu dan Titik Nol) dalam sesi Live Instagram bersama Pulau Imaji, Minggu (17/5/2020). Kala itu, Agustinus yang akrab disapa Agus memang tengah mengenyam pendidikan di Beijing.

"Waktu SARS di Beijing 2003 bukan lockdown total seperti di Wuhan, tapi lockdown bercluster. Perumahan di lockdown, ada satpam yang jaga," kenang Agus.

Kala itu, sejumlah daerah atau titik ditutup sedemikian rupa. Siapa saja yang berada dalam titik penutupan, tidak diperkenankan keluar dari wilayahnya. Hal itu dilakukan untuk mengkarantina penderita SARS di suatu wilayah.

Berbekal dari pengalaman itu, China pun kembali melakukan lockdown untuk skala yang lebih besar ketika corona menyerang

"Ketika di Wuhan 400 kasus positif, lockdown total dan levelnya jauh lebih ketat dari Beijing tahun 2003. Bahkan orang tidak boleh keluar dari rumahnya sendiri, ada surat dan cuma boleh 1 orang kalau belanja, itu pun 2 hari sekali. Mobil gak boleh di jalanan," cerita Agus.

Menurut penuturan Agus, tahun ini pemerintah China juga mengurus relawan tenaga medis datang dari rumah ke rumah untuk mengontol kesehatan. Apabila di rumah ada yang demam, langsung diangkut ke rumah sakit. Seketat dan seefisien itu.

Hasilnya, China sebagai negara dengan tingkat penduduk terbanyak di dunia berhasil menahan COVID-19 pasca menjadi pusat pandemi. Walau sempat kembali ada kasus positif corona, tapi jumlahnya sudah begitu kecil.

Lebih lanjut, kesigapan China dalam menghadapi SARS tahun 2003 dan COVID-19 didasarkan pada filosofi tembok. Masih ada hubungannya dengan Tembok China atau The Great Wall of China.

"Konsep tembok itu yang melandasi lockdown di China. Tembok melindungi orang di dalam, tapi di sisi lain juga memungkinkan penguasa mengontrol, membagi cluster-cluster," ujar Agus.

Dijelaskan oleh Agus, konsep tembok itu pun merasuk dalam keseharian orang-orang China itu sendiri. Di mana mereka lebih terbuka pada orang di dalam tembok (orang China) dan lebih awas pada orang di luar negaranya.

"Konsep tembok itu mengisahkan yang di dalam dan di luar. Yang di dalam dan luar sangat kuat mempengaruhi orang China dan bagaimana cara berlaku," sebut Agus.

Tentu sudah bukan rahasia umum, orang China di tempat asalnya dan di mana pun akan lebih terbuka pada orang China. Terlebih apabila bahasa Mandarin digunakan sebagai media berkomunikasi. Akan tercipta kekerabatan yang lebih cepat.

Kembali lagi ke pandemi COVID-19, Agus mengungkapkan alasan kenapa virus corona bisa lebih mengglobal saat ini ketimbang SARS ditahun 2003 silam.

"Tahun 2003 orang China ke luar negeri susah banget, sekarang bebas visa. Sekarang tahun 2008 usai Olimpiade, semua negara buka pintu untuk orang China dan berebut. Jumlah turis outbound China sangat tinggi. Itu yang belum ada tahun 2003. Dalam sekejap COVID itu bisa mengglobal dan itu jadi efek globalisasi," ujar Agus.

Hanya terlepas dari cerita tersebut, sejauh ini Pemerintah China telah dapat menahan COVID-19 dengan sistem lockdown mereka yang ketat. Kehebatan China pun tak dipungkiri berasal dari sejarah panjang dan pendekatan mereka yang kokoh bagaikan Tembok China itu sendiri.

Tentang Laut Mati dan Keistimewaannya (2)

Dinamai Laut Mati karena kandungan garamnya yang sangat tinggi, tidak ada makhluk yang dapat hidup di dalam airnya. Kandungan garam yang terdapat di dalam air Laut Mati bisa mencapai 33,7%, sedangkan kandungan rata-rata garam yang ada di laut seluruh dunia hanya 3,5%.

Untuk itu, pengunjung yang ingin berenang di Laut Mati, selalu diperingatkan untuk berhati-hati. Agar air tidak mengenai mata, karena dapat merusak kornea mata. Jika tak sengaja kena, harus cepat-cepat dibilas.

Tidak seperti namanya yang menyeramkan, ternyata Laut Mati menyuguhkan pemandangan yang indah. Banyak resor dan hotel bertebaran di sepanjang pinggir Laut Mati. Kebanyakan lokasi resort itu berada di bagian negara Israel.

Khasiat garam dari Laut Mati
Kandungan mineral lumpur Laut Mati terbukti dapat mempercantik kulit. Tidak hanya untuk kecantikan saja, kandungan garam mineralnya juga banyak dimanfaatkan untuk kesehatan seperti memperbaiki tekstur kulit serta memperlancar peredaran darah.

Saya sendiri mencoba sedikit mencungkil lumpur Laut Mati langsung dari sumbernya, dan mengoleskannya pada wajah sebagai masker. Setelah 10 menit saya membilasnya, terasa kulit lebih segar dan jadi kencang.

Memang, sejak zaman dahulu, Cleopatra sang ratu Mesir yang cantik, Raja Salomo hingga Herodes Agung dikisahkan pernah mengunjungi Laut Mati karena manfaat dari lumpur tersebut.

Di zaman modern ini, banyak perusahaan mengolah lumpur untuk bahan komersial terutama lumpur dan garam Laut Mati. Oleh karenanya industri kosmetik sangat berkembang pesat di sana.

Dikarenakan konsentrasi garam yang terdapat pada Laut Mati sangat tinggi, wisatawan yang tak dapat berenang pun akan mengapung secara otomatis. Air Laut Mati terasa lebih kental dibandingkan dengan air laut pada umumnya, dan udara di sekitar Laut Mati terbilang bersih.

Kami berhenti dua kali untuk melihat pemandangan indah pinggir pantai Laut Mati, pertama ketika masuk Israel dan kedua kalinya ketika perjalanan menuju Mesir keluar dari Israel.

Kali kedua kunjungan, di tempat resort yang berbeda, kami mampir untuk makan siang di sebuah kafe. Lokasi resort itu terletak di Ein Bokek, di selatan Israel menuju Mesir. Hanya saya lupa nama kafenya.

Hidangannya lumayan enak, khas masakan Timur Tengah dan juga makanan ala Barat. Salad buah zaitun dan ayam panggangnya sungguh lezat. Ada jus buah granit (delima) yang kaya vitamin C.

Setelah makan siang, kami bisa berjalan-jalan menikmati pantai Laut Mati. Jika di Pantai Neve kami lihat pantainya seperti normal pantai berpasir dan memegang lumpur, pantai di Ein Bokek, kami bisa merasakan bermain dengan butiran-butiran kristal garam di pinggir pantai yang bercampur pasir.

Laut Mati kian menyusut
Ada fakta yang mengkhawatirkan tentang eksistensi Laut Mati. Air di Laut Mati mulai menyusut tiap tahunnya. Berdasarkan majalah lingkungan yang dikutip oleh tour guide kami, penyusutannya mencapai 1 meter setiap tahun.

Selain penyusutan, masalah lain yang dihadapi oleh Laut Mati adalah kekeringan. Hal ini disebabkan karena proses penguapan yang cukup tinggi. Ditambah lagi, pemerintah Palestina, Yordania, dan Israel mengambil sumber air yang berasal dari Sungai Yordan untuk pertanian dan kebutuhan lainnya.

Padahal Sungai Yordan adalah satu-satunya sungai yang bermuara ke Laut Mati. Jadi bukan tidak mungkin suatu hari nanti Laut Mati semakin menyusut dan hanya meninggalkan garam dan mineral saja.

Untuk itu, sejak tahun 2016, pemerintah Yordania dan Israel bekerjasama untuk mengatasi masalah penyusutan tersebut. Mereka membuat sebuah kanal untuk mengalirkan air ke Laut Mati. Menurut beberapa tautan berita, setelah lockdown, kondisi Laut Mati dan sekitarnya udaranya lebih bersih dan sejuk.

Itulah beberapa fakta dan berkah Laut Mati bagi tiga negara yang mengelilinginya. Selain dari banyak dibangunnya industri pariwisata berupa resort-resort hotel, hasil dari industri kosmetik juga sangat besar di sana.

Miliaran dolar dari Laut Mati
Dari data yang dilansir oleh tour leader kami, dan hasil penelusuran saya, data menyebut bahwa setiap negara dapat menghasilkan jutaan bahkan miliaran dolar dari Laut Mati. Israel mendapatkan USD 3 miliar per tahun dari penjualan mineral saja.

Yordania menghasilkan USD 1,2 miliar per tahun. Palestina menghasilkan USD 918 juta per tahun. Itu data pada tahun 2016.

Jadi bisa diasumsikan bahwa pasti ada peningkatan pemasukan setiap tahunnya. Apa lagi ada peningkatan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke sana tiap tahun, dan semakin banyak orang yang membeli produk kosmetik Laut Mati juga sisi ekspornya.

Kembali ke situasi saat ini, jika wabah Corona memakan waktu lama, maka negara di dunia, dan juga termasuk Timur Tengah seperti Arab Saudi, Yordania, Israel, Palestina, Mesir yang saya kunjungi, sudah dapat dipastikan kehilangan pemasukan dari turis.Karena mereka menerapkan pembatasan yang sangat ketat dari jalur manapun, darat, laut dan udara.

Harapannya dengan aksi menutup pintu-pintu masuk dan keluar ke negara mereka, dapat menghentikan penularan impor virus. Yordania sempat ricuh karena kebijakan lockdown total karena tidak diikuti dengan ketersediaan bahan makanan.

Sekarang kebijakan itu dilonggarkan oleh pemerintahnya. Meski jumlah positif Corona di negara tersebut masih dapat dikontrol, pemerintah Yordania menutup akses udara ke dan dari negaranya sejak awal Maret.

Israel dan Palestina memutuskan untuk bekerjasama membatasi pergerakan warganya. Pada tanggal 7 Maret 2020, Israel mengunci akses ke Kota Bethlehem sedangkan otoritas Palestina menutup Gereja Bethlehem selama 2 minggu.

Penulis: Maria Karsia. Traveler, wartawan lepas, penulis buku, dan pemerhati masalah sosial budaya