Selasa, 02 Juni 2020

Pernah Dibully, Ini Tips Ariel Tatum untuk Mengatasinya

 Bullying atau perundungan merupakan tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain dalam bentuk kekerasan fisik maupun lisan. Perundungan ini juga bisa dilakukan melalui media sosial yang dikenal sebagai cyberbullying.
Mungkin banyak orang yang pernah mengalami bagaimana rasanya dibully, termasuk artis cantik Ariel Tatum. Saat live Instagram bersama detikcom pada Jumat (29/5/2020) lalu, Ariel menceritakan sedikit pengalamannya pernah dibully.

"Aku tuh dibully dari zaman SMP, gara-gara aku pacarin satu cowok idola remaja Indonesia pada zaman itu. Jadi bener-bener tajem banget tuh mulut ya kan," tutur Ariel.

Ariel menjelaskan bahwa dirinya memang termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan omongan orang lain. Bahkan hal itu diakuinya sudah dilakukan sejak masih kecil. Ariel pun memiliki motto yang bisa memotivasi dirinya untuk tidak menanggapi orang-orang yang membullynya.

"Aku punya motto ini 'kita punya tangan cuma dua, nggak bisa nutup mulut orang satu dunia, jadi kita pake aja untuk nutup kuping sendiri," katanya.

Tak hanya itu, Ariel juga memberikan berbagai tips untuk mengatasi para pembully, sebagai berikut:

1. Mencoba menutup telinga dan tidak mendengarkan omongan orang lain. Meski hal ini sulit untuk dilakukan, Ariel menyarakan untuk terus mengingatkan hal itu ke diri sendiri.

2. Jadi diri sendiri dan tetap menjadi orang yang baik.

3. Jika bully itu terjadi di media sosial, coba block, batasi, atau bahkan report si pembully di akun media sosial yang kamu miliki.

4. Jangan terlalu menanggapi si pembully. Coba untuk hidup lurus dan tidak menghiraukannya.

5. Jika hal-hal di atas tidak memberikan efek juga, kamu bisa melaporkan hal ini ke orang tua atau pihak yang lebih berpengalaman mengatasi masalah bullying ini.

4 Hal yang Ditakutkan Perempuan Saat Bercinta

 Sebagian perempuan melihat hubungan seksual sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bukan hanya penuh gairah, hubungan intim juga dianggap semakin meningkatkan keintiman dengan pasangan. Namun, bagi sebagian perempuan lainnya, seks justru dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan dan kerap diidentikkan dengan rasa sakit.
Ahli kejiwaan di Mumbai, India, Anuneet Sabharwal mencontohkan beberapa kondisi yang terkait dengan rasa takut akan hubungan seksual. Beberapa kondisi itu seperti genophobia atau coitophobia.

"Ini (genophobia adalah) ketakutan akan penetrasi seksual. Dalam beberapa kasus, orang yang mengalami kondisi ini bisa takut terhadap semua aktivitas seksual," ujar Sabharwal, mengutip dari laman Femina.

Genophobia kebanyakan dialami setelah mendapatkan pengalaman seksual yang traumatis. Selain genophobia, ada beberapa ketakutan lain yang dialami perempuan terkait dengan hubungan seks.

1. Tidak bisa orgasme
Orgasme adalah puncak kenikmatan hubungan intim. Namun, tak semua perempuan bisa mencapai orgasme.

Sebuah studi pada 2013 yang dipublikasikan dalam Archives of Sexual Behavior menyebut, sekitar 75-90 persen perempuan tidak bisa orgasme secara konsisten selama berhubungan intim. Bahkan, sekitar 5-10 persen perempuan tidak orgasme sama sekali.

Peneliti menambahkan, ada sejumlah faktor yang memicu kondisi 'orgasm gap' ini. Beberapa faktor itu di antaranya emosi yang tidak stabil dan hilangnya semangat saat bercinta.

"Stres atau cemas bisa memperbesar (kemungkinan) orgasm gap dengan pasangan," kata ahli andrologi India, Vijay Kulkarni. Kondisi ini bisa diminimalisasi dengan memperdalam hubungan interpersonal bersama pasangan dan menghilangkan ketegangan atau kecemasan.

2. Takut tak bisa puaskan pasangan
Kecemasan akan performa di ranjang tak hanya dialami laki-laki, tapi juga perempuan. Faktor psikologis berperan dalam memunculkan kecemasan ini.

"Banyak perempuan, khususnya mereka yang mengalami genophobia atau coitophobia, takut tidak bisa menyenangkan pasangan mereka," kata Sabharwal.

Jika mengalami kondisi ini, Sabharwal menyarankan Anda untuk mengunjungi tenaga profesional seperti psikolog, seksolog, dan terapis demi memahami penyebab kecemasan.

3. Timbul rasa sakit
Kadang perempuan mengalami rasa sakit selama penetrasi. Rasa sakit ini berkaitan dengan kondisi kesehatan yang disebut vaginismus.

Vaginismus terjadi saat otot organ intim kewanitaan berkontraksi secara spontan atau munculnya kram pada otot dasar pelvis. Perempuan dengan vaginismus akan merasa terisolasi dan tak bisa menikmati hubungan seks.

"Tak ada penjelasan pasti mengenai vaginismus, tetapi penyebabnya termasuk ketakutan perempuan bahwa organ intim mereka terlalu kecil, pengalaman seks pertama yang buruk, keyakinan bahwa seks itu memalukan, dan kondisi medis yang menimbulkan rasa sakit," jelas ahli obstetri dan ginekologi, Sowmya Lakshmi.

Kematian Mendadak Akibat Pakai Masker Saat Olahraga

Menggunakan masker saat berolahraga sudah pasti tidak nyaman. Pertukaran udara tidak semulus ketika tidak menggunakan penutup wajah, bahkan banyak yang mengaitkannya dengan risiko kematian akibat keracunan karbondioksida (CO2).
Pilihan terbaik di tengah pandemi virus Corona COVID-19 yang belum teratasi, bagaimanapun adalah membatasi aktivitas di luar rumah. Ada banyak pilihan olahraga untuk menjaga kebugaran dan imunitas, yang bisa dilakukan di sekitar rumah tanpa harus repot-repot memikirkan bahaya pakai masker.

Tetapi ya namanya bosan, mau bagaimana lagi? Di era 'new normal' seperti saat ini, banyak orang mulai memberanikan diri berolahraga di luar rumah. Perlu tidaknya pakai masker, tentu harus mempertimbangkan banyak faktor.

1. Jenis masker
Dalam konteks mencegah penularan virus Corona COVID-19 di tempat umum, fungsi masker adalah mencegah droplet keluar maupun masuk saluran pernapasan. Jenis masker kain sudah cukup untuk kebutuhan ini, asal dibarengi dengan saling menjaga jarak dan rajin cuci tangan.

Ada berbagai jenis masker kain dengan tingkat kerapatan berbeda-beda yang tersedia di pasaran. Makin rapat pori-pori dan lapisan filternya, makin tidak nyaman untuk bernapas. Untuk berolahraga, lebih aman menggunakan jenis masker yang pori-porinya besar agar tidak sesak napas.

Pori-pori besar juga berarti kemampuan filtrasinya lebih buruk. Karenanya, dianjurkan untuk tetap jaga jarak dan sebisa mungkin menjauhi keramaian.

2. Durasi olahraga
Risiko kekurangan oksigen atau hipoksia sebenarnya lebih banyak dialami oleh para tenaga kesehatan yang menggunakan masker seharian penuh saat berada di rumah sakit. Jenis maskernya pun lebih rapat, yakni masker bedah atau bahkan N95.

Gejalanya yang umum dirasakan antara lain sesak, pusing, dan lemas. Jangankan untuk melakukan aktivitas fisik yang berat seperti olahraga, kondisi ini kadang menyulitkan para dokter saat melayani konseling untuk para pasien.

"Namun, tidak semudah itu kondisi ini menjadi hiperkarbia atau hiperkapnia yang mematikan," kata dr Vito A Damay, SpJP, dokter jantung dari Siloam Hospital.

Dengan durasi lebih singkat dan jenis masker yang lebih longgar, risiko hypercapnia atau meningkatnya karbondioksida dalam darah saat berolahraga seharusnya lebih minimal.

3. Intensitas dan kemampuan fisik
Makin tinggi intensitas olahraga, makin besar kebutuhan oksigen (O2) untuk pernapasan. Adanya masker yang menutupi wajah akan menghambat masuknya oksigen, apalagi saat mulai basah oleh keringat. Ini akan ditandai dengan denyut jantung yang lebih tinggi dari biasanya.

Bagaimana mengatasinya? Untuk jangka pendek, turunkan intensitas menjadi ringan hingga sedang, ditandai dengan masih bisa berbicara sambil olahraga. Untuk kebutuhan menjaga kebugaran, olahraga dengan intensitas terlalu tinggi justru memberikan efek negatif terhadap imunitas.

Untuk jangka panjang, kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan oksigen yang terbatas sebenarnya bisa dilatih. Bahkan, ada masker khusus yang memang dipakai untuk melatih kemampuan tersebut. Tapi itu bukan jenis masker yang biasa dipakai sehari-hari untuk menangkal COVID-19.

"Tidak dianjurkan untuk digunakan tanpa pengawasan dan tujuan yang terukur (dalam latihan)," pesan dr Vito.

4. Kondisi lingkungan
Di tempat terbuka, risiko penularan penyakit sebenarnya relatif lebih kecil dibanding dalam ruangan dengan sirkulasi udara terbatas. Karenanya, melepas masker pada situasi tertentu untuk mengurangi risiko sesak napas, sebenarnya sah-sah saja dilakukan saat olahraga.

"Kalau Anda bisa olahraga di tempat sepi dan tidak ada orang lain, Anda bisa lepas sementara masker itu. Nanti dipakai lagi kalau ada orang dalam radius 2 meter di dekat Anda," kata dr Vito.

Mengenakan kembali masker saat berpapasan dengan orang lain tidak hanya untuk mencegah penularan. Ini juga sekaligus untuk saling mengingatkan bahwa ancaman COVID-19 belum berakhir, dan pakai masker sebagai bagian dari 'NEW NORMAL' perlu menjadi kebiasaan sehari-hari sebagaimana halnya cuci tangan dan jaga jarak.

5. Riwayat kesehatan

Kematian mendadak saat olahraga, terutama pada usia muda, sebenarnya paling banyak disebabkan oleh gangguan jantung. Dengan atau tanpa masker, intensitas yang tinggi saat berolahraga bisa menjadi trigger atau pemicu serangan jantung yang mematikan. Masker, karena membatasi asupan oksigen, bisa meningkatkan risiko tersebut.

Tidak hanya saat olahraga, penggunaan masker yang terlalu rapat dalam keseharian juga perlu diwaspadai pada orang-orang dengan gangguan pernapasan seperti penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) maupun asma. Jika memiliki riwayat sakit jantung, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter soal penggunaan masker.

Selama pandemi COVID-19, detikers olahraga pakai masker atau tanpa masker? Bagikan alasannya di kolom komentar.