Rabu, 01 Juli 2020

2 Pangeran Arab Saudi Meninggal dalam Sebulan, Penyebabnya Masih Misterius

Kerajaan Arab Saudi mengumumkan Pangeran Bandar bin Saad bin Mohammad bin Abdulaziz meninggal dunia. Dilansir dari Saudi Press Agency (SPA), Kerajaan Saudi menyebut Pangeran Bandar bin Saad meninggal dunia pada Minggu (28/6) dini hari.
"Semoga Tuhan memberkatinya dengan rahmat, pengampunan, kebahagiaan, dan tempat tinggal-Nya," tulis SPA.

Belum ada informasi soal riwayat penyakit yang diderita Pangeran Bandar bin Saad atau kondisi yang dialaminya sebelum meninggal dunia.

Sebelumnya, pada 4 Juni lalu keluarga Kerajaan juga mengabarkan Pangeran Saud bin Abdullah bin Faisal bin Abdulaziz Al Saud meninggal dunia.

"Pemakaman Yang Mulia Pangeran Saud bin bin Abdullah bin Faisal bin Abdulaziz akan berlangsung hari Jumat (5/6) di Riyadh," tulis Saudi Arabia Press.

Banyak yang mengaitkan kematian kedua pangeran Arab tersebut dengan infeksi virus Corona. Pandemi COVID-19 diketahui mulai menjangkiti internal kerajaan Arab Saudi pada April lalu.

Laporan dari Saudi Leaks, salah satu rumah sakit yang merawat anggota keluarga kerajaan disebut dalam posisi sangat waspada karena banyak anggota kerajaan yang terinfeksi COVID-19. Media The New York Times juga menuliskan setidaknya sudah ada 150 anggota kerajaan yang tertular virus Corona.

Bahkan Raja Salman disebut sempat mengasingkan diri demi keselamatannya di sebuah istana dekat kota Jeddah.

Kementan Pastikan Virus Flu Babi G4 Belum Terdeteksi di Indonesia

Baru-baru ini para ilmuwan di China melaporkan varian virus flu babi baru, G4 EA H1N1. Virus ini disebut memiliki potensi untuk menjadi pandemi berikutnya karena bersifat mudah menular dan diketahui bisa menginfeksi manusia.
"Virus G4 menunjukkan peningkatan tajam sejak 2016 dan merupakan genotip predominan yang beredar pada babi yang terdeteksi di sedikitnya 10 provinsi," tulis para ilmuwan dari China Agricultural University (CAU) seperti dikutip dari Sciencemag, Rabu (1/7/2020).

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, mengaku hingga saat ini belum ada laporan virus flu babi G4 di Indonesia. Ia memastikan pihaknya akan meningkatkan kewaspadaan demi mengurangi potensi virus tersebut masuk dan menyebar di Indonesia.

"Jadi masyarakat tidak perlu khawatir terkait flu babi ini. Pemerintah akan terus memantau dan berupaya agar penyakit ini tidak terjadi di Indonesia," kata Ketut dalam siaran pers yang diterima detikcom pada Rabu (1/7/2020).

Ketut menyebut pemantauan sistematis terhadap virus influenza memang diperlukan sebagai kunci peringatan kemunculan pandemi.

"Kita akan siapkan rencana kontingensinya juga," pungkasnya.

Ini 7 Alasan Virus G4 Berpotensi Jadi Pandemi

Varian baru dari virus flu babi H1N1 ditemukan oleh para peneliti di China. Virus ini diberi kode G4 EA H1N1 atau disebut virus G4 dan berpotensi jadi pandemi.
Virus G4 ditemukan setelah para ilmuwan menganalisis hampir 30 ribu swab hidung babi di 10 provinsi berbeda di China dari tahun 2011 hingga 2018. Bahkan, tes antibodi menemukan sekitar 10,4 persen pekerja di industri babi dan 4,4 persen populasi umum tampaknya telah terinfeksi virus tersebut.

Dikutip dari jurnal Proceeding of National Academic of Science (PNAS), berikut 7 alasan mengapa virus G4 berpotensi jadi pandemi.

1. Virus G4 sudah beredar di populasi babi di China
Dari tahun 2011-2013 varian yang paling umum ditemukan dari virus flu EA H1N1 di sampel lendir hidung babi di China adalah strain genotipe 1 (G1). Tetapi, mutasi pada strain ini akhirnya menyebabkan munculnya varian genotipe 4 (G4).

Setiap tahun sejak 2014, virus G4 menjadi semakin umum ditemukan di antara populasi babi di China.

2. Virus G4 dapat melekat di reseptor yang mirip dengan manusia
Menurut studi PNAS, dalam uji laboratorium peneliti menemukan bahwa virus G4 dapat melekat di reseptor SAα2,6Gal yang mirip dengan reseptor yang ada pada manusia.

SAα2,6Gal adalah reseptor yang berada di sel lapisan saluran pernapasan manusia. Jika melekat di reseptor, virus akan mudah masuk ke dalam sel-sel lainnya pada tubuh manusia.
https://nonton08.com/cast/natsumi-okamoto/

Diboikot Pengiklan, Berapa Pemasukan Facebook dari Iklan?

Sejumlah perusahaan ramai memboikot iklan di media sosial Facebook. Boikot ini dilakukan sebagai bentuk protes setelah Facebook dinilai gagal mengatasi ujaran kebencian.
Beberapa perusahaan seperti Adidas, HP, Ford, Unilever, Coca Cola, Honda, hingga Starbucks telah berhenti mengiklan di Facebook. Selain itu, diprediksi akan banyak lagi perusahaan yang akan mencabut iklan berbayarnya di Facebook. Memang, berapa keuntungan yang didapat Facebook dari iklan?

Dikutip dari CNN, Rabu (1/7/2020), Facebook menghasilkan US$ 69,7 miliar setara Rp 1.000 triliun (kurs Rp 14.200/dolar US) dari iklan pada tahun 2019, nilai itu seperti 98% pendapatan Facebook tahun ini.

Sebagian besar pendapatan iklan itu tidak hanya datang dari perusahaan besar seperti Starbucks dan Coca Cola. Bisnis menengah dan skala kecil juga banyak yang menggunakan iklan berbayar di Facebook.

"Facebook memiliki sejumlah klien pengiklan besar. Namun, jika dilihat Facebook jelas juga bergantung pada pengiklan bisnis menengah dan kecil" kata Nicole Perrin, seorang analis di eMarketer.

Menurut data dari firma riset pemasaran Pathmatics, ada 8 juta pengiklan yang dimiliki Facebook, 100 merek besar diantaranya menyumbangkan US$ 4,2 miliar (Rp 60 triliun) untuk iklan di Facebook tahun lalu atau sekitar 6% dari pendapatan iklan Facebook.

Pendapatan Facebook dari Iklan selalu meningkat. Menurut eMarketer pada 2009 pendapatan iklan Facebook mencapai US$ 761 juta (Rp 10,9 triliun).

Platform iklan Facebook difasilitasi pilihan jumlah pengguna yang akan melihat iklan perusahaan itu. Saat ini perusahaan dapat mengakses hingga 2,6 miliar pengguna yang akan melihat iklan perusahaan. Bahkan di Instagram dengan akses 1 miliar pengguna dihargai US$ 1 miliar pada 2012.

Pada saat yang sama, yang menjadi pertanyaan lagi apakah banyak pengiklan besar dan kecil mampu melepas iklan mereka dari platform untuk waktu yang lama. Mengingat Facebook merupakan platform terkuat dalam periklanan untuk meningkatkan pemasaran perusahaan.

Merek-merek besar yang memilih boikot Facebook sekarang memiliki anggaran besar dan beberapa tempat lain untuk beriklan. Beberapa melaporkan banyak alternatif iklan di berbagai platform lain seperti Google, Amazon, TikTok, dan Snapchat.

Tetapi untuk jutaan usaha kecil dengan anggaran yang minim mungkin hingga saat ini masih enggan ikut boikot iklan di Facebook.

"Tidak mungkin usaha kecil dan merek kecil akan bergabung dengan boikot, karena merekalah yang paling bergantung pada Facebook untuk akses ke pelanggan mereka," kata Perrin.

Bahkan merek-merek besar yang telah bergabung dengan boikot itu mengatakan hanya sementara menghentikan iklan di Facebook. Mereka mengaku tak sepenuhnya lepas dari Facebook. Mereka akan tetap mengunggah konten di media sosialnya yang tidak berbayar seperti di Facebook dan Instagram yang memiliki jutaan pengikut.

Perlu diingat, kasus ini berlangsung di tengah krisis pandemi Corona. Beberapa perusahaan akan mempertimbangkan bagaimana nasib perusahaan jika tanpa iklan dengan mengingat bahwa pandemi Corona telah berdampak pada ekonomi perusahaan.
https://nonton08.com/cast/lee-jeong-in/