Jumat, 07 Agustus 2020

Studi Korsel Temukan Jumlah Viral Load Pasien Corona Tanpa Gejala Tinggi

Orang yang terinfeksi virus Corona tanpa gejala memiliki jumlah virus atau viral load yang sama banyaknya dengan pasien bergejala. Baik di hidung, tenggorokan, dan paru-paru mereka, demikian ungkap studi Korea Selatan baru-baru ini.
"Itu data penting, itu pasti," kata Benjamin Cowling, seorang ahli epidemiologi di Universitas Hong Kong yang tidak terlibat dalam penelitian ini, dikutip dari New York Times.

Studi yang diterbitkan di JAMA Internal Medicine, menjadi bukti terkait mengapa kasus Corona tanpa gejala masih sangat mungkin menyebarkan virus Corona COVID-19. Tim penelitian yang dipimpin oleh Seungjae Lee di Fakultas Kedokteran Universitas Soonchunhyang menganalisis swab yang diambil antara 6 Maret dan 26 Maret.

Dikutip dari Channel News Asia, swab tersebut diambil dari 303 orang yang diisolasi di sebuah pusat di Cheonan. Mereka yang diteliti berusia antara 22 hingga 36 tahun, dan dua pertiganya adalah wanita. Dari total kasus seluruhnya, 193 pasien memiliki gejala dan 110 lainnya dinyatakan asimptomatik.

Dari 110 pasien yang awalnya termasuk dalam kategori tanpa gejala, 89 di antaranya tidak pernah mengalami gejala sama sekali, dengan kesimpulan ada sekitar 30 persen dari total pasien yang diteliti benar-benar asimptomatik.

Temuan ini memberikan gambaran terkait mana orang yang benar-benar asimptomatik dan bukan sekadar presimptomatik yang kerap membuat kebingungan. Semua pasien diambil sampelnya secara berkala setelah hari ke-delapan diisolasi.

Hasilnya ditemukan, waktu rata-rata yang dibutuhkan pasien hingga dinyatakan negatif, lebih sedikit untuk pasien asimptomatik dibandingkan dengan yang memiliki gejala. Masing-masing 17 dan 19 hari.

Lagi-lagi, hasil studi ini pun menegaskan penularan Corona secara asimptomatik bisa terjadi karena jumlah virus pada pasien Corona tanpa gejala dengan pasien yang bergejala sama banyaknya.

LIPI Uji Klinis Obat Herbal Corona pada Pasien COVID-19 di Wisma Atlet

 LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bersama para ahli dari, Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, dan tim dokter Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, melakukan penelitian kandidat obat imunomodulator suplemen herbal Indonesia untuk virus Corona.
Imunomodulator sendiri merupakan obat yang digunakan untuk memperbaiki atau meningkat sistem imunitas tubuh.

Penelitian suplemen herbal yang dilakukan disebut sudah memasuki tahap akhir uji klinis. Tim peneliti telah merekrut subjek penelitian dari 90 partisipan, 72 subjek di antaranya telah selesai melakukan uji klinis kandidat imunomodulator yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia untuk pasien COVID-19.

Studi ini menguji dua produk herbal asal Indonesia yakni, jamur cordyceps militaris dan kombinasi herbal yang terdiri dari rimpang jahe, meniran, sambiloto dan daun sembung. Kombinasi herbal ini pun sudah memiliki prototype dan data awal serta sudah memiliki izin edar dari BPOM.

"Seluruh tim peneliti memohon dukungan dari seluruh masyarakat agar uji klinis ini mendapatkan hasil yang menggembirakan sehingga dapat memberikan sumbangsih signifikan untuk penanggulangan pandemi," tulis LIPI dalam akun Instagram seperti yang dilihat detikcom, Jumat (7/8/2020).
https://cinemamovie28.com/if-you-want-to-go-eat/

Heboh Virus 'Tick-Borne' di China, Begini Cara Penularan dan Gejalanya

Virus 'tick-borne' atau penyakit yang ditularkan melalui gigitan kutu baru-baru ini kembali muncul di China. Sedikitnya sudah ada 60 orang yang dilaporkan terinfeksi dan 7 orang tewas.
Dikutip dari Firstpost, virus ini memiliki nama asli severe fever with thrombocytopenia syndrome (SFTS). SFTS bukanlah penyakit baru, karena virus ini telah ditemukan di China, Korea Selatan, dan Jepang sejak 2009.

Bagaimana cara penularan SFTS?
Umumnya virus ini ditularkan melalui gigitan kutu. Dalam sebuah studi tahun 2015, ada beberapa spesies kutu yang diduga sebagai pembawa virus SFTS, seperti H longicornis, R microplus, H campanulata dan D sinicus pada anjing, kucing, domba, dan sapi.

Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa virus SFTS dapat menular antarmanusia. Sebab, para peneliti mencurigai penyakit ini dapat ditularkan melalui darah dan lendir orang yang terinfeksi.

Bagaimana gejala SFTS?
Beberapa gejala yang dialami oleh pasien yang terinfeksi SFTS, di antaranya sebagai berikut:

- Demam tinggi
- Menggigil
- Kehilangan nafsu makan
- Perdarahan gusi
- Muntah
- Diare
- Nyeri otot
- Trombosit menurun
- Sel darah putih menurun

Studi Korsel Temukan Jumlah Viral Load Pasien Corona Tanpa Gejala Tinggi

Orang yang terinfeksi virus Corona tanpa gejala memiliki jumlah virus atau viral load yang sama banyaknya dengan pasien bergejala. Baik di hidung, tenggorokan, dan paru-paru mereka, demikian ungkap studi Korea Selatan baru-baru ini.
"Itu data penting, itu pasti," kata Benjamin Cowling, seorang ahli epidemiologi di Universitas Hong Kong yang tidak terlibat dalam penelitian ini, dikutip dari New York Times.

Studi yang diterbitkan di JAMA Internal Medicine, menjadi bukti terkait mengapa kasus Corona tanpa gejala masih sangat mungkin menyebarkan virus Corona COVID-19. Tim penelitian yang dipimpin oleh Seungjae Lee di Fakultas Kedokteran Universitas Soonchunhyang menganalisis swab yang diambil antara 6 Maret dan 26 Maret.

Dikutip dari Channel News Asia, swab tersebut diambil dari 303 orang yang diisolasi di sebuah pusat di Cheonan. Mereka yang diteliti berusia antara 22 hingga 36 tahun, dan dua pertiganya adalah wanita. Dari total kasus seluruhnya, 193 pasien memiliki gejala dan 110 lainnya dinyatakan asimptomatik.

Dari 110 pasien yang awalnya termasuk dalam kategori tanpa gejala, 89 di antaranya tidak pernah mengalami gejala sama sekali, dengan kesimpulan ada sekitar 30 persen dari total pasien yang diteliti benar-benar asimptomatik.

Temuan ini memberikan gambaran terkait mana orang yang benar-benar asimptomatik dan bukan sekadar presimptomatik yang kerap membuat kebingungan. Semua pasien diambil sampelnya secara berkala setelah hari ke-delapan diisolasi.

Hasilnya ditemukan, waktu rata-rata yang dibutuhkan pasien hingga dinyatakan negatif, lebih sedikit untuk pasien asimptomatik dibandingkan dengan yang memiliki gejala. Masing-masing 17 dan 19 hari.

Lagi-lagi, hasil studi ini pun menegaskan penularan Corona secara asimptomatik bisa terjadi karena jumlah virus pada pasien Corona tanpa gejala dengan pasien yang bergejala sama banyaknya.
https://cinemamovie28.com/satu-suro-2/