Pandemi virus Corona yang telah merenggut jutaan nyawa kini semakin menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Meski di awal penyakit ini hanya mempengaruhi saluran pernapasan, tetapi sekarang bisa menyebar ke seluruh bagian tubuh manusia dari kepala hingga kaki.
Gejala awal saat seseorang terinfeksi virus Corona yang biasanya mengalami adalah demam, kelelahan, dan batuk. Tetapi, tak jarang pasien yang menunjukkan gejala-gejala tak biasa, misalnya sakit kepala hingga kehilangan indra penciuman sebelum dinyatakan positif COVID-19.
Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa virus Corona pertama kali dideteksi, dipahami, dan menyerang seluruh sistem saraf pada beberapa pasien.
Menurut studi baru yang dipublikasikan di Annals of Neurology, banyak pasien yang menunjukkan gejala neurologi COVID-19 seperti sakit kepala, pusing, stroke, dan penurunan kewaspadaan. Empat gejala neurologis inilah yang biasanya muncul pertama kali, sebelum tanda umum COVID-19 seperti batuk kering dan demam muncul.
Selain itu, dari penelitian tersebut juga mencatat adanya tanda-tanda neurologis lain yang termasuk gejala COVID-19, seperti hilangnya indra perasa dan penciuman, kejang, hingga kesulitan berkonsentrasi.
Untuk membuktikannya, para peneliti menganalisis 19 pasien COVID-19 di Northwestern Medicine untuk memahami gejala-gejala neurologis penyakit tersebut. Menurut para peneliti, hal ini sangat penting untuk disadari masyarakat umum.
"Masyarakat umum dan dokter wajib menyadari hal ini (gejala), karena infeksi SARS-CoV-2 bisa saja terjadi dengan gejala neurologis awalnya sebelum demam, batuk, atau masalah pernapasan muncul," jelas penulis utama studi serta profesor neurologi di Fakultas Kedokteran Northwestern University, Feinberg, Igor Koralnik.
Berlebihan Pakai Gadget Selama Pandemi, Gangguan Cemas di RSJ Meningkat
Pandemi COVID-19 berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pasien yang mengalami gangguan cemas ke rumah sakit jiwa Jawa Barat. Berdasarkan survei Puslitbangkes Kemenkes 2020, 6,8 persen masyarakat Indonesia mengalami gangguan cemas. 85,3 persen di antaranya tidak mengalami gangguan psikiatri.
Dari persentase masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan cemas, 8 persen di antaranya berasal dari Jawa Barat, Jakarta dan Banten. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mahfum jika, tekanan psikologis semakin berat begitu melihat dampak dari pandemi yang belum jelas akhirnya.
"Belum hadirnya vaksin, isu isolasi sosial, stigma, kehilangan pekerjaan, perubahan cara belajar mengajar dan tingginya juga kekerasan rumah tangga sebagai dampak terjadinya perceraian itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sepelekan," kata Kang Emil dalam keterangan resminya, ditulis Kamis (8/10).
Meluasnya berita bohong atau hoaks menciptakan ketakutan dan kekhwatiran masyarakat yang berlebihan. Menurutnya, tantangan di era digital ini bukan mencari informasi, tetapi memilah informasi yang bisa berdampak negatif.
"Juga pada anak-anak ada sistem yang mengharuskan menjalani pendidikan di rumah atau jarak jauh. Ini juga membuat stres kepada anak dan orang tua apalagi keterbatasan internet dan lainnya. Sungguh sangat memprihatinkan," imbuhnya.
Sebagai langkah antisipasi untuk dampak mental yang lebih parah, RSJ Provinsi Jawa Barat pun menyiapkan Crisis Center di Cisarua Kabupaten Bandung Barat dan Grha Atma Bandung. Layanan Konsultasi Jiwa Online (KJOL) pun diluncurkan untuk mengatasi permasalahan kejiwaan dengan berdialog dengan psikiater atau psikolog secara virtual.
Masyrakat pun bisa melakukan pemeriksaan dini lewat aplikasi tersebut seperti mengisi Tes Kuisioner SDS, Kuisioner SCL, Kesehatan Jiwa, Kecanduan gadget, Deteksi dini bunuh diri dan tes lainnya.