Alat untuk mendeteksi tuberkulosis (TB atau TBC) dipakai juga dalam mendeteksi COVID-19. Kalau bareng-bareng begitu, ngaturnya bagaimana ya biar tidak berantakan?
Tak dipungkiri, pandemi COVID-19 telah membayangi penanganan TBC yang sejak dulu seolah tidak pernah ada ujungnya. Gara-gara pandemi, hanya 30 persen kasus TBC berhasil terdeteksi sepanjang 2020. Selebihnya? Terhalang kewaswasan akan Corona.
"Dulu (2019) kota PRnya tinggal 30 persen. Justru 2030 kebalik, yang ditemukan hanya 30 persen, jadi 70 persennya nggak ketemu" ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid saat ditemui di Jakarta dalam acara peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia, Kamis (25/3/2021).
Jumlah miris kasus TBC yang berhasil terdeteksi tahun lalu ini jelas mengkhawatirkan. Sebab jika angka 70 persen kasus tak terkuak ini bertahan, Indonesia bisa kembali ke problema TBC 10 tahun lalu.
"Kalau mau 0 kasus, minimal harus 80 persen ditemukan" imbuhnya.
Selain sulitnya pelacakan akibat pembatasan mobilitas selama pandemi, 'berebut' alat pemeriksaan COVID dan TBC tes cepat molekuler (TCM) sempat menjadi kendala.
Pasalnya di awal pandemi, angka COVID-19 meledak. Mau tak mau, pemeriksaan TBC dengan TCM mesti disampingkan. TCM diprioritaskan penggunaannya untuk pemeriksaan COVID-19.
"Di awal pandemi, TCM yang digunakan itu mesin di puskesmasnya 4 modul, artinya bisa memeriksa 4 - 8 pasien. Kalau untuk COVID-19, karena TCM punya kapasitas running, dia tidak bisa kerja 24 jam terus. Shari bisa 3 kali, 4 kali maksimal. Jadi kalau COVID tinggi, otomotis (TCM) habis untuk pemeriksaan COVID" imbuh dr Nadia.
Ditambah, gejala TBC ini mirip dengan COVID-19. Jika hasil pemeriksaan COVID-19 negatif, tak sedikit pengidap TBC langsung merasa aman, berujung tak beroleh penanganan tepat dan dini.
Mengatasinya, dr Nadia menyebut perlu dilakukan peninjauan bagi orang-orang dengan gejala COVID-19, namun menunjukan hasil tes negatif. Bisa dengan cara pasien proaktif memeriksakan diri, atau pemantauan lebih lanjut oleh puskemas.
"Selain kita periksa COVID-nya, kita sudah dapat data bahwa orang ini batuk. Kalau negatif, harus diberikan pengelolaan di puskesmas" imbuh dr Nadia.
Menurut dr Nadia, langkah pendampingan ini telah mulai diupayakan. Tak lain, mengandalkan pendekatan oleh kader kesehatan di desa tempat tinggal pasien.
https://maymovie98.com/movies/the-youth-2/
Benar Nggak Sih Kista Ovarium Dipicu Jajanan Micin? Ini Kata Dokter Kandungan
Viral seorang wanita mengaku didiagnosa mengidap kista ovarium karena kebiasaan jajannya. Wanita tersebut sering beli jajanan seperti seblak, cilok, cireng, usus, dan cabai.
"Aku yang hobi jajan seblak, cilok, cireng, usus, cihu, cibay tidak lupa dengan bumbu atom aida sing lada lalu minum boba atau minuman kemasan lainnya dan merasa sehat-sehat aja," tulis akun @__wyrr, dan sudah dikonfirmasi detikcom.
Kepada detikcom, wanita yang bernama asli Wyrna Anggra Putri ini mengatakan dirinya tahu bahwa makanan-makanan itu tak bisa sepenuhnya dianggap sebagai faktor utama pemicu kista.
Sebenarnya, benar nggak sih keseringan mengonsumsi micin bisa memicu kista ovarium?
Dokter kandungan dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Brawijaya, dr Dinda Derdameisya, SpOG mengatakan kista ovarium itu memiliki banyak jenisnya. Ada yang jenis kista fungsional, ada yang bisa hilang sesuai dengan siklus mens, ada yang jenis endometriosis, tumor, dan kista dermoid.
dr Dinda menjelaskan, terdapat kista ovarium yang berkaitan dengan gaya hidup. Gaya hidup yang dimaksud itu misalnya jarang makan sayur, atau konsumsi mikronutrien kurang.
"Tapi kalau monosodium glutamate (MSG) sendiri belum ada yang mengatakan kalau kista ovarium terjadi karena terlalu banyak makan MSG," jelas dr Dinda, saat dihubungi detikcom, Kamis (25/3/2021).
"Yang kita tau kan monosodium glutamate penguat rasa ya, dia kan sebenarnya sodium, atau garam yang kuat rasanya," tambahnya.
Selain dipicu gaya hidup, dr Dinda juga menyebut kista juga dipengaruhi oleh garis keturunan atau genetik. Oleh karena itu penting untuk mengecek sedari dini terlebih jika memiliki riwayat keluarga yang pernah mengidap kista.
"Lebih baik kita melakukan pemeriksaan rutin aja, kalau misalkan memang ada keluhan atau haidnya tidak teratur, adanya nyeri perut segera dikontrol aja," pungkas dr Dinda.