India diketahui merupakan produsen dan pengekspor vaksin COVID-19 terbesar di dunia. Serum Institute of India (SII) menjadi tumpuan utama program COVAX yang dipelopori Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan telah mengekspor lebih dari 64 juta dosis vaksin AstraZeneca pada periode Januari-Maret.
Namun, belakangan kondisinya memburuk. India mengalami kenaikan kasus COVID-19 yang drastis sehingga pemerintah setempat memutuskan untuk mengamankan suplai vaksin untuk kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.
Kasus baru COVID-19 di India mencapai rekor tertinggi lebih dari 200.000 pada 15 April 2021. Hal ini membuat rumah sakit mulai kewalahan.
India dari negara produsen dan pengekspor vaksin COVID-19 kini berubah jadi ikut mengimpor vaksin. Kementerian Kesehatan India membuat kebijakan yang mempercepat izin penggunaan seluruh vaksin yang sudah mendapat persetujuan dari WHO, Amerika Serikat (AS), Eropa, Inggris, atau Jepang.
"Bila regulator-regulator itu sudah menyetujui suatu vaksin, maka vaksin itu bisa dibawa ke negara kami untuk digunakan, diproduksi, dan mengisi kekosongan," kata salah satu pejabat Kemenkes India, Vinod Kumar Paul, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (16/4/2021).
"Kami berharap dan mengundang produsen vaksin, seperti Pfizer, Moderna, Johnson & Johnson, dan lainnya... secepatnya datang ke India," lanjuta Vinod.
Kondisi wabah COVID-19 di India yang memburuk dikatakan ahli bisa berdampak bagi seluruh dunia. Indonesia sebagai contoh harus menyesuaikan program vaksinasi di bulan April karena kehabisan suplai yang seharusnya didatangkan dari COVAX.
"Yang bermasalah pertama kali adalah Covavax-GAVI, karena adanya embargo dari India, GAVI merelokasi vaksin seharusnya terima 11 juta dosis di Maret hingga April ditunda semua ke bulan Mei. Kita hanya dapat 1 juta dosis," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin beberapa waktu lalu.
https://trimay98.com/movies/the-last-big-save/
Pakar IDI Dukung Vaksin Nusantara! Tapi Ada Catatannya Sih
Vaksin Nusantara alias vaksin Corona besutan eks Menteri Kesehatan Terawan berjalan ke uji klinik Fase 2 tanpa lampu hijau dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sejumlah anggota DPR RI melakukan pengambilan darah di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/4/2021) sebagai rangkaian dari uji klinik.
Dari uji klinik Fase 1 pihak BPOM menilai, riset vaksin Nusantara belum memenuhi standar prosedur. Meski tak disetop, BPOM menganjurkan vaksin Nusantara untuk melakukan perbaikan prosedur riset lebih dulu sebelum lanjut ke Fase 2.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban menegaskan, dirinya mendukung penuh produksi vaksin COVID-19 oleh orang Indonesia.
Akan tetapi, keamanan harus menjadi aspek utama dalam pengerjaan vaksin. Pasalnya, vaksin ini nantinya diperuntukkan masyarakat banyak.
"Misalnya dari darah saya diambil, kemudian seminggu diproses, dimasukkan ke saya. Itu kan yang dimasukan bukan darah saya lagi, namun bisa kemasukkan bakteri, kuman. Jadi memang proses keamanan harus amat sangat aman," terangnya pada detikcom, Jumat (16/4/2021).
Selain keamanan, efektivitas harus diperhatikan. Mengingat, proses vaksinasi Nusantara ini diproyeksikan membutuhkan waktu 7 hari untuk 1 orang.
Dalam kesempatan sebelumnya, peneliti utama vaksin Nusantara, Kolonel Jonny menjelaskan, darah yang telah diambil akan didiamkan dulu selama 5 hari.
Kemudian, sel darah putih dari darah tersebut akan dikenakan dengan protein S (Spike) dengan proses selama 2 hari. Setelah 7 hari, darah yang telah diolah tersebut disuntikkan kembali ke penerima vaksin.
"Delapan hari, bagaimana bisa menolong jutaan orang? Tapi apa pun kalau terbukti secara ilmiah, maka sel dendritik untuk vaksin ini saya kira pantas untuk dihargai kalau terbukti secara ilmiah. Karena bagaimana pun, merupakan kondisi alternatif vaksin," pungkas Prof Zubairi.
https://trimay98.com/movies/the-mummy-tomb-of-the-dragon-emperor/