Momen Idul Fitri identik dengan saling bermaafan atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak, agar hati menjadi bersih. Manfaat saling memaafkan ini ada penjelasannya menurut sains.
Memang ada sebagian orang yang tidak bisa dengan mudahnya memaafkan atau meminta maaf. Psikolog dari University of Wisconsin-Madison Robert Enright memberikan beberapa saran yang dapat diikuti.
https://cinemamovie28.com/movies/elysium-3/
Pertama, seperti dikutip dari Huffington Post, kita perlu mengukur sebesar apa dampak kesalahan dan ketidakadilan yang dilakukan orang lain terhadap kehidupan kita.
Apakah hal tersebut memicu beragam emosi seperti marah, dendam, dengki, dan sebagainya. Kita perlu menyadari bahwa emosi tersebut menguras energi dalam jangka panjang, dan dapat mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain yang tidak bersalah pada kita. Nantinya, perlahan kita akan sadar bahwa emosi ini ingin kita hilangkan dan kita ingin lepas dari kondisi ini.
Tahap kedua, setelah muncul keinginan untuk mengubah emosi dalam hati, kita juga perlu paham bahwa dengan memaafkan, tidak lantas kesalahan tersebut terbayar begitu saja.
Memaafkan memang tidak berarti bahwa kita memaklumi dan membenarkan kesalahan. Tapi kita tidak ingin kesalahan itu terus mempengaruhi kita ke depannya, sehingga kita mengambil langkah untuk menawarkan maaf.
Langkah terakhir, kita perlu melihat dengan pandangan baru, dan sadar bahwa orang yang melakukan kesalahan hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, sama seperti kita.
Kesadaran ini akan menimbulkan empati dan belas kasih, yang dapat digunakan untuk mengajak dan membimbing orang tersebut agar mau memperbaiki dirinya sendiri.
Ketiga langkah ini dapat membantu kita agar lebih adil permasalahan, mengurangi perasaan negatif serta melatih rasa belas kasih, dan menghilangkan keinginan untuk balas dendam.
Namun tentu saja, langkah-langkah tersebut tidak begitu saja kita lalui dengan mudah. Karenanya, sebelum kita memaafkan orang lain, kita perlu memaafkan diri sendiri terlebih dahulu.
Menurut psikolog dari University of Southern California Rubin Khoddam, kendala pertama dan terbesar dalam proses memaafkan adalah ketakutan dipandang sebagai pihak yang lemah.
Kondisi ini sering menempatkan kita sebagai korban yang tak berdaya dan didominasi oleh orang lain. Justru sebenarnya, dengan mengambil keputusan untuk memaafkan, kita kembali mengambil kendali atas kehidupan kita sendiri.
Wajar jika di awal proses ini kita akan merasa marah dan mendendam. Namun perlahan masalah tersebut telah membentuk pribadi kita yang sekarang berani mengambil langkah untuk berubah memperbaiki diri.
Efek untuk kesehatan
Sikap memaafkan bukan hanya dapat membawa rasa tenang dan damai, tetapi juga baik untuk kesehatan fisik dan mental seseorang. Secara psikologis, orang yang pemaaf memiliki frekuensi dan tingkat depresi yang rendah.
Dalam kasus permasalahan internal keluarga misalnya, pasangan yang berinisiatif untuk saling memaafkan dan berekonsiliasi akan memiliki hubungan yang lebih erat serta membentuk persepsi yang sehat bagi perkembangan emosional anak.
Sedangkan secara fisiologis, sikap memaafkan berhubungan dengan kadar sel darah putih dan jumlah sel darah merah dalam darah. Artinya, kondisi mental ini memiliki kaitan dengan kekuatan sistem imun yang melindungi kita dari penyakit.
Jadi perlu diingat, memaafkan adalah suatu proses yang tidak instan dan memerlukan waktu. Namun dalam jangka panjang, hal tersebut banyak memberi kebaikan dalam kehidupan kita, juga orang-orang di sekitar.