Jumat, 28 Mei 2021

Ramai Penanganan Corona DKI Disebut Paling Buruk, Menkes Minta Maaf

 - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengklarifikasi kategorisasi dalam penilaian penanganan COVID-19. Ia menyatakan indikator risiko bukan merupakan penilaian kinerja daerah dalam menangani pandemi virus Corona.

Diberitakan sebelumnya, DKI Jakarta disebut mendapat skor E atau 'paling buruk' dalam penanganan Corona. Menkes kemudian mengklarifikasi dan menyatakan permohonan maaf atas kesimpang-siuran tersebut.


"Saya juga menyampaikan permohonan maaf atas kesimpangsiuran berita yang tidak seharusya terjadi, bahwa indikator risiko ini tidak seharusnya menjadi penilaian kinerja di salah satu provinsi yang sebenarnya terbaik dan tenaga kesehatannya sudah melakukan hal-hal paling baik," kata Menkes dalam konferensi pers di Youtube Kementerian Kesehatan, Jumat (28/5/2021).


Dalam kesempatan tersebut Menkes juga mengapresiasi Pemda DKI dan seluruh aparat juga tenaga kesehatan yang sudah melakukan upaya maksimal dalam penanggulangan pandemi.


Lebih lanjut, ia juga menyampaikan jumlah testing di DKI Jakarta juga sudah sangat baik dan lebih banyak jika dibandingkan daerah lain di Indonesia.


"Saya melihat bahwa banyak keunggulan yang sudah dilakukan teman-teman di DKI. Apresiasi saya pada aparat dan tenaga kesehatan di DKI," pungkasnya.

https://movieon28.com/movies/the-covenant-3/


Saran Psikolog Agar Tak Trauma saat Di-ghosting seperti Kasus Felicia-Kaesang


 Kisah 'ghosting' seperti cerita Felicia Tissue dan Kaesang Pangarep bukan sekedar tontonan. Nyatanya, di-ghosting atau ditinggal tanpa penjelasan banyak dikisahkan warganet, jauh sebelum video Felicia ramai menjadi perbincangan.

Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi, founder pusat konsultasi Anastasia and Associate menjelaskan, dampak ghosting bisa berbeda pada setiap orang. Tergantung kemampuan toleransi stres korban, atau tingkat keakraban pasangan. Ia tak memungkiri bahwa pada beberapa kasus, misalnya pasangan yang sudah membicarakan pernikahan, ghosting kerap memicu depresi, kecemasan, dan kehilangan rasa berharga.


Namun menurut Sari, luka ini bisa disembuhkan. Langkah pertama, kenali diri sendiri. Ambil waktu untuk mengevaluasi apa yang sebenarnya salah dari hubungan tersebut, apa yang sebenarnya diri sendiri inginkan dan tidak pernah bisa dipenuhi oleh pasangan yang menghilang.


"Obati diri sendiri dulu dengan hal-hal baik yang bisa kamu lakukan terhadap dirimu sebelum memulai hubungan yang baru. Karena healing itu dimulai dengan kejujuran dan keterbukaan. Berani mengakui dulu, apa yang kamu rasakan?" ujarnya pada detikcom, Kamis (27/5/2021).


"Kalau nggak ada itu, itu akan terus terbungkus, tertutup, tapi tidak selesai. Suatu saat memulai hubungan dengan orang baru lagi, ternyata lukanya belum sembuh. Itu nanti jadi trust issue," lanjutnya.


Menurutnya, korban ghosting harus bisa berhenti memposisikan diri sebagai 'korban'. Dengan begitu, ia bisa berhenti menyalahkan diri sendiri, serta memahami bahwa perpisahannya bukan karena diri tak berharga.


Kelak menjalin hubungan baru dengan orang lain pun, traumanya tidak terseret. Artinya, sudah benar-benar pulih dari luka lama.


"Aktualisasikan diri lagi, apa sih yang bisa kulakukan? Masa iya sebergantung itu. Kembali kebiasaan-kebiasaan yang sekian lama terjalin, dan terbiasa dilakukan, mulai didetoks lagi mulai dari nol. Supaya setelah ini menjalin hubungan baru dengan orang lain, maupun sendiri, sudah siap untuk pola yang baru," jelas Sari.


"Bukan membandingkan dengan yang lama atau secara nggak sadar memaksa pasangan lain untuk bertindak sama seperti sebelumnya," pungkasnya.

https://movieon28.com/movies/the-unthinkable/

Rabu, 26 Mei 2021

Jenis Olahraga yang Sebaiknya Dihindari Jika Pernah Sakit Jantung

 Olahraga memang bermanfaat bagi kesehatan jantung, tetapi jika terlalu dipaksakan juga bisa saja memicu terjadinya serangan jantung, lho. Terutama bagi orang-orang yang memiliki riwayat penyakit jantung.

Oleh karenanya, penting untuk mengetahui jenis olahraga yang harus dihindari agar tidak memicu terjadinya gangguan kardiovaskular mematikan saat sedang berolahraga. Sebab, jenis olahraga tertentu bisa mengakibatkan terjadinya gangguan irama jantung hingga kematian mendadak.


Menurut dr BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP (K) dari Heartology Cardiovascular Center, mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung, seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan gangguan jantung lainnya, sebaiknya menghindari jenis olahraga angkat beban.


Pasalnya, kata dr Ario, olahraga angkat beban bisa menyebabkan tekanan darah meningkat lantaran tubuh akan melawan gaya dari beban yang diangkat.


"Sebaiknya dihindari adalah olahraga yang seperti menangkap benda berat. Secara normal, pada saat kita mengangkat barbel misalnya, barbel seberat 20 kilo misalnya. Itu yang terjadi dalam tubuh kita adalah terjadi kenaikan tekanan darah yang sangat drastis," tutur dr Ario dalam Zoom Media Gathering, baru-baru ini.


"Secara normal akan seperti itu karena tubuh kita akan berusaha melawan gaya yang ada di barbel yang kita angkat. Artinya adalah pada saat kita melakukan aktivitas yang seperti itu, jantung akan mendapatkan beban yang sangat berat. Tentunya hal ini harus dihindari oleh mereka dengan riwayat jantung sebelumnya," imbuhnya.

https://trimay98.com/movies/unthinkable-2/


Perhatian! Catat Saran Dokter Agar Tak Kolaps saat Gowes


 Awal pekan ini seorang pesepeda road bike dikabarkan meninggal dunia setelah bersepeda di Jalan Layang Non Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang, pada Minggu (23/5/2021) pagi. Pria berusia 62 tahun itu diduga meninggal akibat serangan jantung.

Saat dibawa ke rumah sakit dan diperiksa, heart rate atau detak jantung almarhum menunjukkan angka 180. Apa itu heart rate?


Dikutip dari heart.org, heart rate merupakan jumlah detak jantung per menit. Jumlah normal detak jantung tentunya akan berbeda-beda pada setiap orang.


Di samping menentukan jenis olahraga yang tepat, heart rate merupakan salah satu hal yang juga penting untuk diperhatikan. Pasalnya, melakukan olahraga yang melebihi batas kemampuan bisa memicu terjadinya kolaps saat berolahraga.


"Kalau orang itu sehat, sebenarnya melakukan olahraga apapun juga tidak akan masalah selama tidak melampaui batasan kemampuannya. Itu sebabnya kalau berolahraga kita menggunakan monitor jantung," kata dr Michael Triangto, SpKO dari Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran saat dihubungi detikcom, Minggu (23/5/2021).


Menurut dr Michael, menentukan tujuan olahraga bisa mencegah terjadinya kolaps saat berolahraga. Apabila olahraga tersebut dilakukan untuk tujuan kesehatan, maka sebaiknya olahraga sesuai dengan batas kemampuan tubuh masing-masing.


"Banyak masyarakat yang memahami kalau olahraga itu baik untuk kesehatan, maka olahraga makin berat, maka makin sehat tubuh kita. Padahal tidak," ujar dr Michael.


"Tujuan kesehatan itu (olahraganya) tidak boleh berat. Kalau untuk prestasi harus berat, harus melampaui batasan kemampuan. Kalau tidak, mereka (atlet) sulit untuk mengalahkan orang lain dalam berprestasi. Kalau untuk kesehatan, justru kita tidak boleh melampaui batas-batas keamanan tubuh kita," jelasnya.


Ahli jantung dr Vito A Damay dari Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci turut menyarankan, bagi orang yang memiliki riwayat penyakit jantung, untuk memperhatikan intensitas olahraganya.


Menurutnya, sebaiknya intensitas olahraga dilakukan secara bertahap dan jangan langsung melakukan olahraga intensitas tinggi. Lakukan pula pemeriksaan rutin ke dokter untuk mencegah terjadinya kolaps jantung saat olahraga.


"Untuk yang pernah punya masalah jantung sebaiknya ketika mulai olahraga naiknya intensitas bertahap. Juga rutin periksa faktor risiko jantung koroner, paramater laboratorium, ekg dan pemeriksaan lain yang diperlukan sesuai penilaian individual oleh dokter," kata dr Vito, Senin (24/5/2021).

https://trimay98.com/movies/unthinkable/