Rabu, 04 Desember 2019

Rocky Gerung Sebut Jokowi Tak Paham Pancasila, PDIP: Asbun dan Cari Sensasi!

 Rocky Gerung menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak paham dengan Pancasila hingga akhirnya muncul tagar #RockyGerungMenghinaPresiden di Twitter. PDIP menilai Rocky berimajinasi dan hanya mencari sensasi.

"Imajinasi Rocky Gerung belakangan mulai liar dan dari segi substansi kurang kontemplatif. Jadi terkesan asal bunyi dan cari sensasi," kata Politikus PDIP, Hendrawan Supratikno kepada wartawan, Rabu (4/12/2019).

Hendrawan mengatakan pihaknya maupun Jokowi menghargai kritik yang dilontarkan siapapun. Namun, kata dia, asalkan kritik itu bukan bertujuan untuk mencari popularitas semata.

"Kita harus tetap menghargai pikiran-pikiran kritis dari siapa pun. Rocky Gerung adalah pemikir yang membangun antitesa terhadap arus utama. Namun bila dorongannya untuk mengukuhkan popularitas, buah pikirannya akan meninggalkan luka sosial, apalagi bila sifatnya sudah menghakimi," tuturnya.

Pernyataan Rocky itu disampaikan dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One. Rocky mulanya mengatakan bahwa Pancasila gagal sebagai ideologi karena sila-sila di dalamnya bertentangan.

"Pancasila itu sebagai ideologi gagal. Karena bertentangan sila-silanya. Saya pernah tulis risalah panjang lebar di Majalah Prisma dengan riset akademis yang kuat bahwa Pancasila itu bukan ideologi dalam pengertian akademik. Dalam diskurs akademis. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakui bahwa perbuatan manusia hanya bermakna kalau diorientasikan ke langit. Sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Apa dalilnya bahwa saya boleh berbuat baik tanpa menghadap langit, itu namanya humanisme tu. Lalu saya berbuat baik supaya masuk surga, artinya kemanusiaan saya itu palsu. Sila kelima Keadilan Sosial. Versi siapa? Liberalisme? Libertarianisme. Orang boleh isi sila kelima itu dengan marxisme, boleh saja. Diisi dengan Islamisme boleh saja. Karena tidak ada satu keterangan final tentang isi dari Keadilan Sosial itu," kata Rocky seperti dilihat detikcom, Rabu (4/12/2019).

Rocky kemudian mengatakan bahwa tidak ada orang yang Pancasilais di Indonesia, termasuk Presiden Jokowi. Dia menilai, Jokowi hanya hafal Pancasila namun tak memahaminya.

"Saya tidak pancasilais, siapa yang berhak menghukum atau mengevaluasi saya? Harus orang yang pancasilais, lalu siapa? Tidak ada tuh. Jadi sekali lagi, polisi pancasila, presiden juga tak mengerti pancasila. Dia hafal tapi dia nggak ngerti. Kalau dia paham dia nggak berutang, dia nggak naikin BPJS," imbuh dia.

Rocky Gerung Minta Mendikbud Buat Kurikulum Pemberantasan Korupsi di Parpol

Akademisi Rocky Gerung menilai masih ada sejumlah masalah yang dihadapi para guru di Indonesia. Karena itulah, menurutnya, pemerintah gagal menciptakan harapan bagi para guru.

"Banyak soal, soal honorer, soal kompetensi segala macam. Tapi intinya satu, bahwa pemerintah tidak bisa kasih sinyal harapan kepada publik sehingga guru bergairah untuk menempuh profesi yang dia pilih itu. Itu beban sebetulnya pada Menteri Pendidikan yang baru," kata Rocky di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Pekerjaan rumah untuk Mendikbud Nadiem Makarim, menurut Rocky, bukan hanya soal mengefektifkan kurikulum di sekolah, tapi juga di partai politik. Rocky mengatakan partai politik yang tidak punya kurikulum pemberantasan korupsi bisa membuat nasib guru semakin sengsara.

"Partai politik yang nggak punya kurikulum pemberantasan korupsi itu akan membuat nasib guru itu makin papa, karena hak guru untuk sejahtera dikorupsi justru oleh partai politik. Jadi Menteri Pendidikan mesti bikin kurikulum pendidikan etis di partai politik. Ini satu paket, bukan sekadar revolusi mental, ini revolusi peradaban," ujarnya.

Rocky juga menanggapi soal pidato Mendikbud Nadiem yang viral. Menurutnya, pidato itu bisa menunjukkan sinopsis kegelisahan guru, tapi Nadiem dinilainya masih memiliki beban.

Selasa, 03 Desember 2019

Stafsus Milenial, Lanskap Demografi, dan Visi 2045 (2)

Alasan kedua ialah untuk menjawab tantangan kecepatan. Ini penting karena di era revolusi industri 4.0, tantangan kompetisi global bukan lagi negara besar menguasai negara kecil, namun negara cepat mengusai negara lambat. Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan badai disrupsi teknologi telah mendorong laju dunia industri dan kompetisi dunia kerja bergerak sangat cepat, tidak linear, dan tak terprediksi.

Saking cepatnya laju industri, lembaga riset McKinsey memprediksi bahwa revolusi industri 4.0 akan mendorong pergeseran sekitar 30% pekerjaan. Indonesia pada tahun 2030 pun diprediksi akan kehilangan sekitar 23 juta pekerja. Selain itu, dalam laporan World Economic Forum's (WEF) juga disebutkan bahwa perkembangan supercepat dari teknologi otomasi dan kecerdasan buatan dalam lingkungan kerja bakal menggusur 75 juta pekerjaan, sambil menambah 133 juta pekerjaan dengan peran baru di 2022.

Tentu di tengah jumlah pengangguran pada 2019 (data BPS) yang hampir menyentuh angka 7 juta orang, maka prediksi McKinsey dan WEB di atas dapat menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa. Apalagi harus diakui, daya saing tenaga kerja di negeri ini masih lemah. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS 2017, tingkat pendidikan bagi angkatan kerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD(42,23%), lulusan SMP (18,16%), lalu SMA (16,48%), SMK (10,87%), Diploma (2,95%), dan baru Universitas (9,31%).

Di sisi lain, data riset Bank Dunia 2018 menyebutkan, indeks sumber daya manusia (human capital index) Indonesia hanya di peringkat ke-87 dari 157 negara. Nilainya 0,53 dan masih tertinggal di negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura 0,88, Malaysia 0,62, Vietnam 0,67, Thailand 0,60 dan Filipina 0,55.

Tak hanya itu, berdasarkan data World Economic Forum (WEF) 2019, indeks daya saing Indonesia hanya 64,6% dari skor 0-100 atau peringkat ke-50 dari 140 negara. Data tersebut menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja dan kemampuan inovasi bangsa Indonesia terbilang cukup rendah. Hal itu makin mengkhawatirkan mengingat berdasarkan data BPS 2019, penduduk usia 15 tahun ke atas yang punya ijazah perguruan tinggi hanya 8,8%, kemudian SMA 26%, SMP 21,2% dan SD paling banyak 43,7%.

Artinya, soal kecepatan menjadi kunci utama bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kehadiran talenta-talenta milenial yang mampu bekerja secara profesional, terukur, dan cepat mutlak diperlukan untuk membantu pemerintah secara akseleratif-eksponensial mengejar berbagai ketertinggalan.

Visi 2045

Alasan berikutnya ialah untuk mewujudkan mimpi Indonesia pada tahun 2045. Sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi bahwa pada 2045 Indonesia sudah menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun. Indonesia juga sudah masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen.

Mimpi Presiden Jokowi rupanya sejalan dengan prediksi Pricewaterhouse Coopers 2017 yang meramalkan pada 2050 Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Begitu pula prediksi Standard Chartered (2019) yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar ke-4 dunia pada tahun 2030.

Tentu untuk mewujudkan Visi Indonesia 2045, mau tidak mau lanskap pembangunan Indonesia perlu menempatkan generasi milenial --ceruk penduduk usia produktif dan jumlahnya dominan-- sebagai salah satu fokus utamanya. Mereka perlu dibekali skill, kompetensi, dan pendidikan yang berkualitas. Di sisi lain, pemerintah perlu terus mendorong generasi milenial menjadi subjek perubahan melalui peran masing-masing, bukan sekadar jadi objek bagi perubahan.

Akhirnya, terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, pengangkatan stafsus milenial perlu disambut positif karena (boleh jadi) ini sebagai upaya Presiden Jokowi menempatkan generasi milenial sebagai "subjek perubahan" dengan ikut ambil bagian dalam mengatasi persoalan bangsa.