Selasa, 03 Desember 2019

Stafsus Milenial, Lanskap Demografi, dan Visi 2045 (2)

Alasan kedua ialah untuk menjawab tantangan kecepatan. Ini penting karena di era revolusi industri 4.0, tantangan kompetisi global bukan lagi negara besar menguasai negara kecil, namun negara cepat mengusai negara lambat. Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan badai disrupsi teknologi telah mendorong laju dunia industri dan kompetisi dunia kerja bergerak sangat cepat, tidak linear, dan tak terprediksi.

Saking cepatnya laju industri, lembaga riset McKinsey memprediksi bahwa revolusi industri 4.0 akan mendorong pergeseran sekitar 30% pekerjaan. Indonesia pada tahun 2030 pun diprediksi akan kehilangan sekitar 23 juta pekerja. Selain itu, dalam laporan World Economic Forum's (WEF) juga disebutkan bahwa perkembangan supercepat dari teknologi otomasi dan kecerdasan buatan dalam lingkungan kerja bakal menggusur 75 juta pekerjaan, sambil menambah 133 juta pekerjaan dengan peran baru di 2022.

Tentu di tengah jumlah pengangguran pada 2019 (data BPS) yang hampir menyentuh angka 7 juta orang, maka prediksi McKinsey dan WEB di atas dapat menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa. Apalagi harus diakui, daya saing tenaga kerja di negeri ini masih lemah. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS 2017, tingkat pendidikan bagi angkatan kerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD(42,23%), lulusan SMP (18,16%), lalu SMA (16,48%), SMK (10,87%), Diploma (2,95%), dan baru Universitas (9,31%).

Di sisi lain, data riset Bank Dunia 2018 menyebutkan, indeks sumber daya manusia (human capital index) Indonesia hanya di peringkat ke-87 dari 157 negara. Nilainya 0,53 dan masih tertinggal di negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura 0,88, Malaysia 0,62, Vietnam 0,67, Thailand 0,60 dan Filipina 0,55.

Tak hanya itu, berdasarkan data World Economic Forum (WEF) 2019, indeks daya saing Indonesia hanya 64,6% dari skor 0-100 atau peringkat ke-50 dari 140 negara. Data tersebut menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja dan kemampuan inovasi bangsa Indonesia terbilang cukup rendah. Hal itu makin mengkhawatirkan mengingat berdasarkan data BPS 2019, penduduk usia 15 tahun ke atas yang punya ijazah perguruan tinggi hanya 8,8%, kemudian SMA 26%, SMP 21,2% dan SD paling banyak 43,7%.

Artinya, soal kecepatan menjadi kunci utama bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kehadiran talenta-talenta milenial yang mampu bekerja secara profesional, terukur, dan cepat mutlak diperlukan untuk membantu pemerintah secara akseleratif-eksponensial mengejar berbagai ketertinggalan.

Visi 2045

Alasan berikutnya ialah untuk mewujudkan mimpi Indonesia pada tahun 2045. Sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi bahwa pada 2045 Indonesia sudah menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun. Indonesia juga sudah masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen.

Mimpi Presiden Jokowi rupanya sejalan dengan prediksi Pricewaterhouse Coopers 2017 yang meramalkan pada 2050 Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Begitu pula prediksi Standard Chartered (2019) yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar ke-4 dunia pada tahun 2030.

Tentu untuk mewujudkan Visi Indonesia 2045, mau tidak mau lanskap pembangunan Indonesia perlu menempatkan generasi milenial --ceruk penduduk usia produktif dan jumlahnya dominan-- sebagai salah satu fokus utamanya. Mereka perlu dibekali skill, kompetensi, dan pendidikan yang berkualitas. Di sisi lain, pemerintah perlu terus mendorong generasi milenial menjadi subjek perubahan melalui peran masing-masing, bukan sekadar jadi objek bagi perubahan.

Akhirnya, terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, pengangkatan stafsus milenial perlu disambut positif karena (boleh jadi) ini sebagai upaya Presiden Jokowi menempatkan generasi milenial sebagai "subjek perubahan" dengan ikut ambil bagian dalam mengatasi persoalan bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar