Selasa, 10 Desember 2019

Faisal Basri Ragukan Data BPS soal Konsumsi Rumah Tangga

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal III-2019 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5,01%. Angka turun dari kuartal sebelumnya 5,17%. Meski begitu selama puluhan tahun konsumsi Indonesia terus tumbuh di sekitar 5%-an.

Ekonom Senior Indef, Faisal Basri mengaku curiga dengan data pertumbuhan konsumsi tersebut. Sebab kebanyakan dari negara lain, konsumsi rumah tangga selalu fluktuatif. Apalagi konsumsi masih menjadi motor utama dalam pertumbuhan ekonomi, sumbangsihnya 56%.

"Penyelamat kita konsumsi. Sepanjang 20 tahun terakhir 5% terus. Sehingga mulai muncul analisis data PDB kita nggak kredibel. Tidak ada negara lain yang konsumsinya stabil, biasanya gonjang-ganjing," ujarnya dalam acara Kongkow Bisnis Pas FM di Hotel Milenium, Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Faisal menduga, pertumbuhan konsumsi rumah tangga RI yang stabil dalam jangka panjang lebih dikarenakan BPS hanya mendata masyarakat kelas bawah. Padahal yang konsumsinya berfluktuatif adalah masyarakat kelas menengah dan atas.

"Konstruksi dari konsumsi itu kan survei namanya Susesnas, adjust dara produksi dan sebagainya. Karena susah menangkap orang kaya. Makanya itu represent yang kelas bawah," tuturnya.

Dia melanjutkan, masyarakat kelas bawah sendiri 90% lebih konsumsinya untuk makanan. Sedangkan kebutuhan makanan adalah kebutuhan wajib untuk bertahan hidup. Oleh karena itu konsumsinya tidak menurun.

"Jadi harus hati-hati ini, data-data makro ini makin nggak bunyi," tambahnya.

Jika dilihat lebih rinci, menurutnya masyarakat kelas bawah memang ada yang menurun daya belinya. Dia mencatat khususnya untuk sektor perkebunan rakyat.

"Tapi yang bagus nelayan, nilai tukar nelayan naik tertinggi, sedangkan petani stagnan. Upah riil buruh tani kan banyak. upah riil juga trennya turun. Walupun 2 tahun terkahir naik," tambahnya.

Untuk kelas menengah dia melihat daya belinya stagnan dan cenderung memilih-milih konsumsi. Hal itu tercermin dari gaya hidup masyarakat kekinian.

"Kelas menengah menurut saya tetap. Waluapun quality of life-nya turun, tercermin dari perjalan ke luar negeri meningkat, tapi turis asing masuk tumbuh cuma 2%. Sekarang orang rela ke Tokyo beli Iphone karena di Tokyo paling murah. Padahal bedanya sedikit jadi sekalian jalan-jalan," tutupnya.

JP Morgan Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 4,9%, Sandiaga: Banyak Tantangan

JP Morgan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,9%. Sandiaga Uno yang diminta responsnya pun sepakat dengan hasil riset JP Morgan.

Dia sepakat karena Indonesia menghadapi banyak tantangan dan di saat yang sama berjuang mencapai pertumbuhan ekonomi di level 5%.

"Ya saya sepakat bahwa kita akan mengalami tantangan dalam pertumbuhan ke depan, kita ingin bertahan di 5% tetapi kelihatannya banyak sekali tantangan," katanya di JW Marriott Hotel, Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Hasil riset tersebut tentu memberikan pekerjaan rumah (PR) buat Indonesia, tapi menurutnya jangan sampai membuat pemerintah pesimistis.

"Jadi ini PR buat kita, ini suatu prediksi, suatu forecast oleh GP Morgan, jangan membuat kita pesimis, justru kita harus jadikan ini sebuah pemicu untuk pecut kita kerja lebih keras lagi," lanjutnya.

Tinggal bagaimana pemerintah bisa menangkap peluang yang ada meskipun kecil. Untuk itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan reformasi struktural.

"Seperti omnibus law yang sudah didorong pemerintah untuk kemudahan berusaha, kemudahan berinvestasi, mengenai sistem ketenagakerjaan yang lebih win-win antara teman-teman pekerja dan juga pengusaha," terangnya.

Sandi menambahkan agar ada kepastian yang bisa diberikan kepada dunia usaha mengenai insentif dari segi kemudahan perpajakan, tax holiday dan sebagainya.

Buka Rakornas Bank Wakaf, Jokowi Target KUR Rp 325 T di 2024

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) mencapai Rp 325 triliun pada tahun 2024. Hal itu diungkapkannya saat membuka Rakornas Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta Selatan.

Jokowi mengatakan peningkatan target penyaluran KUR bagian upaya pemerintah meningkatkan literasi dan inklusi keuangan nasional yang saat ini masih belum 100.% untuk literasi hingga saat ini baru mencapai 35%, sedangkan inklusi keuangan 75%.

"Intinya kita mau ajak seluruh daerah agar bisa mendorong seluruh rakyat kita bisa akses ke keuangan," kata Jokowi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Jokowi mengungkapkan akses keuangan yang bisa dimanfaatkan masyarakat saat ini antara lain program Mekaar dari PT PNM (Persero), di mana jumlah nasabahnya mencapai 5,9 juta orang. Selanjutnya program Bank Wakaf Mikro (BWM) yang dimanfaatkan oleh 55 pesantren diseluruh Indonesia.

Selanjutnya KUR, di mana tahun ini target penyalurannya Rp 140 triliun dan tahun 2020 sebesar Rp 190 triliun.

"Harus keluar dari perbankan kita untuk usaha kecil, target saya berikan Rp 325 triliun harus keluar untuk usaha mikro," jelasnya.

Guna meningkatkan akses masyarakat terhadap perbankan, Mantan Wali Kota Solo ini mengaku akan mendorong kemudahan akses menabung mulai dari SD, SMP, maupin SMA/SMK. Lalu, upaya lainnya juga memudahkan akses pembiayaan bagi masyarakat.

"Kita lihat tadi angka literasi keuangan masih 35%, inklusi keuangan kita masih 75%, kita masih memiliki ruang besar mendorong masyarakat agar bisa akses keuangan yang kita miliki," ungkapnya.

Daya Beli Turun, Indonesia Tertolong Gengsi Orang Kaya Baru

Daya beli masyarakat belakangan ini sering dikabarkan menurun. Isu ini cukup penting lantaran daya beli akan mempengaruhi konsumsi masyarakat yang merupakan motor paling besar dari pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 50-60%.

Menteri Keuangan Indonesia era 2013-2014 Muhammad Chatib Basri juga melihat adanya penurunan daya beli khususnya di masyarakat pendapatan kelas menengah. Hal itu diakibatkan belum pulihnya aktivitas bisnis.

Namun kondisi ini menurutnya tak perlu dikhawatirkan. Sebab penurunan daya beli di masyarakat kelas menengah membutuhkan waktu untuk mempengaruhi konsumsi. Penyebabnya adalah gengsi.

"Orang kalau sudah sering makan enak untuk sekali saja makan makanan nggak enak butuh waktu. Jadi konsumsi bukan hanya tergantung pendapatan, tapi dari pola konsumsi kita di masa lalu," ujarnya.

Saat ini memang diakuinya terjadi penurunan daya beli. Namun Chatib memprediksi pengaruhnya terhadap konsumsi baru terasa sekitar 2-3 tahun.

"Jadi konsumsi baru akan turun mungkin makan waktu 2-3 tahun. Orang itu gampang kaya maknanya ada OKB (orang kaya baru), tapi sulit untuk miskin. Itu karena dia akan maintenance biar kelihatan kaya terus, padahal pendapatannya turun," terangnya.

Bukti dari gengsi masyarakat kelas menengah Indonesia untuk menjaga citranya sebagai OKB adalah berkurangnya tabungan Rp 100 juta ke bawah di perbankan.

"Saving Rp 100 juta itu turun. Jadi dia ambil tabungannya untuk maintenance konsumsinya," tutupnya.