Rabu, 11 Desember 2019

Menguak Aokigahara, Hutan Bunuh Diri di Jepang

Aokigahara disebut sebagai salah satu tempat terseram di dunia dari Jepang. Inilah hutan yang sering jadi lokasi bunuh diri!

Aokigahara terletak di bagian barat laut Gunung Fuji, sekitar 100 kilometer sebelah barat Tokyo. Dengan luas 30 kilometer persegi, hutan tersebut cukup subur akibat curahan lahar yang berasal dari Gunung Fuji ketika gunung tersebut meletus tahun 864.

Namun, bukan keindahannya yang membuat Aokigahara terkenal mendunia. Melainkan, hutan ini terkenal sebagai tempat bunuh diri paling favorit bagi warga Jepang.

Aokigahara mulai pamor pada tahun 1961. Kala itu, Tower of Waves, novel karya Seicho Matsumoto terbitan 1961 berisi aksi bunuh diri sepasang kekasih di Hutan Aokigahara

Buku lain, The Complete Manual of Suicide (1993) karya Wataru Tsurumi, menggambarkan Aokigahara sebagai 'tempat sempurna untuk meninggal dunia'. Buku-buku itu terjual jutaan eksemplar.

Beberapa film juga mengambil popularitas Aokigahara. Ada setidaknya dua film yang terinspirasi oleh reputasi Aokigahara, yakni Sea of Trees (2015), yang dibintangi Mathhew McConaughey, dan film horor The Forest yang dirilis 2016 lalu. Ada pula sejumlah acara televisi yang membahas Aokigahara di sejumlah negara.

Menilik lebih jauh ke belakang, hutan Aokigahara diyakini dulu pernah menjadi tempat untuk tradisi 'Ubasute'. Tradisi ini yakni 'membuang' orang-orang tua atau manula yang sudah sakit-sakitan. Para manula tersebut ditinggalkan di Aokigahara, sampai meninggal dunia.

Oleh sebab itu, masyarakat Jepang percaya, ada banyak sekali arwah-arwah gentayangan di sana. Arwah-arwah yang akan mengajak untuk mati!

Menurut laporan pemerintah Jepang, lebih dari 100 orang melakukan bunuh diri di Aokigahara antara 2013 dan 2015. 100 Orang tersebut pun berasal dari luar wilayah Tokyo, yang artinya memang niat melakukan aksi bunuh diri di Aokigahara.

"Tidak mengherankan kalau menemukan jenazah di sana," terang profesor antropologi dari Jepang, Karen Nakamura seperti dilansir dari CNN.

Mengapa orang Jepang ingin bunuh diri di Aokigahara?

"Banyak orang telah bunuh diri di Aokigahara, dengan begitu Anda tidak akan mati sendirian. Itu sebabnya, orang-orang mau bunuh diri di sana karena bagaikan ada teman atau orang-orang lain yang mendukungnya," jawab Nakamura.

Usut punya usut, Jepang masuk dalam datar negara maju dengan angka bunuh diri tertinggi. Menurut laporan World Health Organization (WHO), ada 15 kasus bunuh diri per 100.000 populasi yang dipecah menjadi 9 untuk wanita dan 21 untuk pria.

"Bunuh diri adalah fenomena yang sangat kompleks dengan banyak faktor," tegas Nakamura.

Berbagai analisis menunjukkan, penyebab bunuh diri di Jepang adalah krisis ekonomi yang melanda negara itu pada akhir 1990-an. Studi lain menyebut, seiring perkembangan zaman kini faktor bunuh diri di Jepang dikarenakan akademis, depresi, terlalu banyak pekerjaan, finansial, dan pengangguran.

"Bagi orang Jepang, bunuh diri dianggap keputusan yang rasional. Salah satu syarat untuk bunuh diri adalah 'jiketsu,' yang berarti memutuskan sendiri," kata Nakamura.

Pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Sudah dari 10 tahun silam, pemerintah Jepang memasang rambu-rambu larangan bunuh diri, petugas hutan, sampai kamera pengawas di Aokigahara. Supaya mencegah, setidaknya mengurangi angka orang-orang yang bunuh diri di sana.

Onsen, Mandi Telanjang Bersama, dan Yakuza

Onsen di Jepang tak sekadar pemandian air panas. Ada filosofi mandi telanjang sampai-sampai urusan yakuza. Penasaran?

Onsen merupakan tempat pemandian air panas khas Jepang. Onsen mudah ditemukan, tak ayal Jepang punya 3.000 sumber mata air panas alami!

Onsen punya satu aturan khusus yang harus ditaati, baik oleh warga Jepang sendiri maupun oleh turis. Mandi di onsen, harus telanjang dan bersama orang lain.

Mandi telanjang bersama itu pun tak sekadar mandi. Namun hal tersebut menyimpan suatu filosofi.

Filosofinya adalah hadaka no tsukiai yang punya arti hubungan telanjang atau hubungan terbuka. Filosofi tersebut punya arti, ketika telanjang tanpa sehelai benang di tubuh maka tidak ada status kedudukan atau jabatan. Alias, semua orang sama!

Tidak ada bos dan anak buah, tidak ada si kaya dan si miskin, dan lainnya. Saat telanjang bersama, maka semua orang punya derajat yang sama.

Budaya mandi telanjang di onsen pun sudah berlangsung dari ratusan tahun silam dan masih diteruskan hingga kini. Tapi tenang, pemandian untuk pria dan wanita dipisah kok!

Kemudian, ada satu hal penting lainnya soal onsen. Kebanyakan onsen menolak pengunjung yang bertato, atau bagi yang punya tato harus diplester untuk menutupi tatonya.

Sebab, tato dipandang miring oleh orang-orang Jepang. Apalagi, tato sudah jadi ciri khas bagi yakuza, kelompok gengster ala Jepang yang paling ditakuti.

Namun namanya gengster, kelompok yakuza pun bisa saja menyewa satu onsen. Usut punya usut, onsen nyatanya dinilai sebagai tempat paling sempurna untuk bertemu sesama anggota yakuza.

Anggota-anggota yakuza biasa bertemu di onsen. Sebabnya di dalam onsen, anggota lainnya bisa mengenali dengan siapa mereka berurusan melalui tato pada tubuh.

Alasan penting lain mengapa mereka bertemu di onsen adalah karena tiada senjata tersembunyi, mengingat semua orang telanjang.

Masalah Jepang di Masa Depan: Banyakan Rumah ketimbang Orang

 Jepang punya masalah berupa laju pertumbuhan penduduk yang sedikit. Artinya, di masa depan ada potensi lebih banyak rumah di Jepang ketimbang orangnya.

Dilansir dari BBC, Selasa (5/11/2019), kini 20 persen penduduk Jepang berusia 70 tahun dengan tingkat kelahiran yang menurun. Di masa depan nanti, Jepang bakal menghadapi masalah properti yang membuat rumah-rumah di sana lebih banyak dibanding penduduknya.

Penurunan populasi dialami beberapa negara, termasuk Negeri Sakura. Pada tahun 2018 lalu Jepang mencatatkan jumlah kelahiran bayi terendahnya sepanjang abad ke-20.

Proses regenerasi yang menjadi masalah di Jepang diikuti oleh masalah properti. Masalah properti itu disebut 'akiya', yakni rumah-rumah yang ditinggalkan tanpa pewaris atau tidak ada penyewa baru.

Di tahun 2018, 13,6 persen rumah-rumah di Jepang terdaftar sebagai 'akiya'. Orang-orang Jepang pun menghindari mewarisi rumah-rumah dari orang-orang tuanya karena pajak yang tinggi. Bagi mereka, lebih baik menyewa apartemen dengan harga yang lebih terjangkau.

Rumah-rumah 'akiya' di Jepang tercatat ada di Prefektur Tokyo, Okayama, hingga di Kumamoto di ujung selatan Jepang. Di daerah pedesaan, rumah-rumah kosong yang ditinggalkan pun sangat banyak!

Selain itu, pihak pemerintah Jepang belum punya keputusan soal menanggulangi rumah-rumah 'akiya'. Dihancurkan atau direnovasi? Serta harus izin ke mana jika tak ada ahli waris rumahnya.

Satu-satunya cara (mungkin cara terburuk) adalah membiarkan rumahnya hancur diterjang bencana alam seperti banjir atau kena angin topan. Sebabnya, kebanyakan rumah yang ditinggalkan masih memakai arsitektur zaman dulu berupa dari kayu.

Pemerintah Jepang sebenarnya juga sudah mengakali rumah-rumah kosong misalnya memberi tunjangan tambahan, pajak yang sedikit, dan pemeliharaan rumah. Tapi tampaknya hal itu belum mampu menggoda warganya.

"Angka populasi yang terus menurun akan menimbulkan banyak masalah, seperti banyaknya rumah-rumah kosong. Apalagi dari pedesaan yang anak-anak mudanya pindah ke kota-kota besar di Jepang. Perlu ada soulusi kepada generasi baru nanti dan jangan sampai banyak rumah atau mungkin desa yang kosong karena tak ada penduduknya," kata profesor sains dan teknik dari Universitas Toyo, Chie Nozawa.