Kamis, 12 Desember 2019

Mahfud: Hukuman Mati untuk Koruptor Ada UU-nya, Pak Jokowi Benar

Menko Polhukam Mahfud Md menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang wacana hukuman mati untuk koruptor sudah tepat. Mahfud mengatakan sudah ada landasan hukum yang mengatur hukuman mati itu.

"Hukuman mati untuk koruptor kan sudah ada UU-nya. Jadi benar Pak Jokowi itu. Sudah ada UU-nya, tapi belum pernah dilaksanakan," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).

Mahfud mengatakan eksekusi hukuman mati merupakan urusan pengadilan. Kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati, kata Mahfud, bukan dari pemerintah.

"Ya kalau hukuman mati gampang. Jangan tanya eksekusinya, tanya kapan itu dijatuhkan. Itu nanti pengadilan dong. Bukan pemerintah. Nggak boleh Pak Jokowi menjatuhkan hukuman mati. Itu pengadilan. Kalau pengadilannya nggak jatuhkan, nggak bisa," ujar dia.

Mahfud lantas menjelaskan dasar aturan seorang koruptor bisa divonis mati. Menurut dia, hukuman mati bisa dijatuhkan kepada seseorang yang berulang kali korupsi dan korupsi terhadap dana bencana.

"Orang koruptor bisa dijatuhi hukuman mati kalau dua hal. Satu, pengulangan korupsi, dua, dilakukan terhadap dana-dana bencana. Nah, kalau itu bisa dijatuhi hukuman mati. Tinggal hakim mau menjatuhkan nggak," tuturnya.

Di Indonesia sebetulnya telah lama memiliki aturan pidana mati bagi koruptor. Aturan itu tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat 2 tersebut mengatur hukuman bagi koruptor, di mana hukuman mati menjadi salah satu opsinya. Pasal 2 UU tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Presiden Jokowi sebelumnya bicara perihal hukuman mati koruptor seusai acara peringatan Hari Antikorupsi di SMKN 57 Jakarta. Namun dia menyebut hukuman mati bagi koruptor bisa saja dimasukkan ke revisi UU terkait jika ada kehendak masyarakat.

"Itu yang pertama kehendak masyarakat. Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana, tipikor itu dimasukkan, tapi sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," ujar Jokowi, Senin (9/12).

Jokowi Restui Nadiem Makarim Hapus Ujian Nasional Mulai 2021

Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara mengenai ujian nasional yang dihapus mulai tahun 2021. Dengan demikian, pihak sekolah yang akan diasesmen untuk dijadikan bahan evaluasi.

"Artinya sudah tidak ada UN lagi tahun 2021. Akan diganti dengan asesmen kompetensi. Artinya yang diasesmen adalah sekolah, guru. Dan juga ada yang namanya survei karakter. Dari situ bisa dijadikan evaluasi," ujar Jokowi usai peresmian Tol Jakarta-Cikampek Elevated, Kamis (12/12/2019).

Kebijakan itu diambil Mendikbud Nadiem Makarim. Jokowi mendukung kebijakan tersebut.

"Pendidikan kita sampai ke level mana. Nanti sudah dihitung saya kira kita mendukung apa yang sudah diputuskan mendikbud," katanya.

Soal Wacana Hukuman Mati Koruptor, Mahfud: Bisa Diselipkan di RUU KUHP

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai peluang hukuman mati bagi koruptor sebenarnya sudah diatur dalam UU KPK. Namun, dia mengatakan hal tersebut dapat dipertegas dalam Rancangan UU (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kalau inginnya lebih tegas lagi bahwa hukuman mati harus diberlakukan kepada koruptor, itu bisa diselipkan di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sekarang sedang akan dibahas lagi, di mana jenis-jenis hukumannya mengenal juga hukuman mati tetapi tidak menyebut itu untuk korupsi," kata Mahfud di Jalan Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019).

Dia mengatakan dalam KUHP sebelumnya memang sudah terdapat peraturan soal hukuman mati namun tidak spesifik mengarah pada koruptor. Mahfud menyampaikan hukuman mati bagi koruptor bisa saja diterapkan.

"Tetapi dalam keadaan yang luar biasa, hukuman mati bisa dijatuhkan dengan syarat-syarat yang berlaku. Kalau kita mau tambahkan untuk korupsi itu ya sudah kalau terbukti melakukan sekian bisa diancam hukuman mati gitu ya," sambungnya.

Mahfud kemudian menyampaikan, hukuman mati bagi koruptor ini juga bisa diterapkan dengan memperhatikan besaran korupsinya. Jadi, menurutnya, hal ini hanya akan diterapkan pada koruptor yang melakukan tindak korupsi dengan jumlah tertentu.

"Jadi ada besaran korupsinya seperti apa, diukur. Yang jelas yang by grade itu dengan jumlah tertentu. By grade itu artinya karena keserakahan. Karena ada korupsi orang juga terpaksa ya," ucap Mahfud.

Dia juga menyampaikan, pernyataan Jokowi mengenai hukuman mati bagi koruptor ini akan dilakukan bila rakyat menghendaki hal tersebut. Mahfud menjelaskan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga akan berperan jika keputusan ini di kemudian hari diterapkan.

"Saya kira Pak Jokowi yang spesifik itu mengatakan kalau rakyat menghendaki hukuman mati dilakukan ya kita lakukan. Caranya gimana, ya disampaikan nanti ke DPR, lembaga legislatif, agar dimasukkan dalam Undang-undang. Kan gitu Pak Jokowi. Artinya setuju," katanya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan pemerintah bisa saja mengajukan usulan revisi undang-undang yang mengatur hukuman mati bagi koruptor. Namun Jokowi menyampaikan ada syaratnya.

"Ya bisa saja kalau jadi kehendak masyarakat," kata Jokowi di SMKN 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019).

"Itu yang pertama kehendak masyarakat. Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana, tipikor itu dimasukkan, tapi sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," imbuh Jokowi.

PDIP Lebih Setuju Miskinkan Koruptor Dibanding Hukuman Mati

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara wacana hukuman mati bagi pelaku korupsi. PDIP kurang setuju dan lebih memilih memiskinkan koruptor sebagai sanksi terberat.

"PDI Perjuangan merasa dengan jalan koruptor dimiskinkan, bahkan ada koruptor yang kemudian menerima hukuman karena dia adalah pejabat negara, melakukan kerusakan sistemik, ada yang dilakukan hukuman seumur hidup itu jauh lebih relevan," ungkap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP, Jl Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).

PDIP tak setuju dengan wacana hukuman mati karena tidak sejalan dengan semangat kemanusiaan. Menurut Hasto, masih ada beberapa sanksi berat yang bisa diterapkan kepada pelaku korupsi.

"Mengingat kita juga terikat dengan konvensi konvensi internasional yang menghapuskan hukuman mati tersebut. Jadi kita harus melihat konteksnya, begitu banyak upaya untuk melalukan pencegahan korupsi untuk melakukan pemiskinan terhadap koruptor, untuk mencabut hak politik, dan juga menciptakan suatu efek jera," sebutnya.

"Tetapi ketika sebuah langkah-langkah yang sifatnya syok terapi untuk dilakukan tentu saja memerlukan sebuah pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Sehingga hal yang menyangkut kehidupan seorang manusia tersebut, kita harus hati hati karena kita bukan pemegang kehidupan atas orang per orang. kita harus merawat kehidupan itu," lanjut Hasto.

PDIP setuju dengan penerapan sanksi seberat-beratnya kepada koruptor. Namun partai pimpinan Ketum Megawati Soekarnoputri itu meminta agar wacana hukuman mati terhadap koruptor dipertimbangkan kembali.

"PDI Perjuangan menyetujui sanksi seberat-beratnya, pemiskinan terhadap koruptor. Bahkan, sanksi sosial tetapi untuk yang sifatnya terkait hak hidupnya, itu harus dipertimbangkan dengan matang," ucap Hasto.