Setiap rumah di desa ini memiliki pagar yang terbuat dari kayu. Tiga buah kayu yang dipasang vertikal. Di sebelah kanan dan kirinya ada lubang untuk mengaitkan kayu. Ada arti dari setiap kayu yang terpasang. Jika semua kayu terpasang berarti rumah tidak berpenghuni.
Jika dua kayu terpasang berarti pemilik rumah sedang pergi dan akan kembali dalam jangka waktu lebih dari tiga hari. Jika hanya satu kayu yang terpasang berarti pemilik rumah sedang pergi namun sore hari sudah kembali. Jika ketiga kayu hanya dikaitkan di lubang sebelah kiri atau tidak dikaitkan ke lubang sama sekali berarti ada orang di rumah dan tamu bisa masuk.
Rumah tradisional Jeju dindingnya terbuat dari batu. Tidak mengherankan karena Jeju merupakan pulau vulkanis yang kaya akan bebatuan. Rumahnya beratapkan jerami yang diikat dengan tali. Tali-tali tersebut diikat dan disusun sehingga membentuk pola kotak-kotak.
Pulau Jeju juga sangat kaya dengan angin. Karena angin pulalah rumah tradisional di Jeju memiliki tiga buah pintu. Pintu pertama yang letaknya paling luar terbuat dari kayu yang disusun seperti tirai sehingga bisa digulung ke atas. Pintu kedua terbuat dari kayu sama seperti pintu rumah pada umumnya. Pintu yang paling dalam terbuat dari kaca yang dilapisi oleh kayu.
Bentuk rumah di Jeju juga menentukan profil keluarga seseorang. Dahulu jika rumah memiliki tiang yang besar dibagian depan dan rumahnya panjang rumah tersebut adalah rumah orang kaya. Namun jika rumah tidak memiliki tiang atau pilar sama sekali maka bisa digolongkan sebagai rumah orang miskin.
Setiap rumah di Jeju pasti memiliki kendi-kendi besar berwarna coklat. Ada kendi yang di taruh di bawah pohon. Tali jerami dikepang dan diikatkan ke pohon. Fungsinya agar air hujan yang turun dari pohon bisa masuk ke kendi. Di dalam kendi itu akan diisi lebih dari satu katak atau kodok untuk menjaga agar tampungan air tidak menjadi sarang nyamuk. Air yang disimpan di dalam kendi ini hanya untuk mandi dan mencuci, namun untuk air bersih tetap harus mengambil dari Gunung Halla.
Setelah mendengarkan penjelasan dari guide, kami diarahkan untuk masuk ke dalam satu rumah. Di dalam rumah tersebut ditata menyerupai ruang kelas. Ada meja yang diletakkan di bagian depan dan kursi-kursi panjang di belakangnya. Ternyata di rumah ini kami ditawari produk-produk buatan warga lokal Jeju.
Kami ditunjukkan perbedaan antara madu murni dan tak murni. Selain itu kami juga dipersilahkan untuk mencoba ekstrak tulang kuda. Bentuknya seperti kapsul dan rasanya hampir seperti kacang. "Ekstrak tulang kuda ini sangat bagus untuk kalsium", ujarnya. Harganya tidak bisa dibilang murah sekitar 10 hingga 50 ribu won.
Hal yang menarik menurut saya dari tempat ini adalah strategi pemasarannya. Tempat yang mungkin keliatan biasa dikemas dengan pendekatan manusia berbalut marketing menjadikan tempat ini menjadi destinasi yang tak boleh terlewatkan. Mungkin kita bisa menerapkan hal ini di berbagai tempat wisata yang ada di Indonesia. Sehingga tugas guide tidak hanya menjelaskan tentang asal muasal suatu tempat namun juga bisa berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan daerah