Sabtu, 04 Januari 2020

Mengenal Seluk Beluk Terminal Pulogebang, Jangan Tersasar Ya!

Disebut sebagai yang terbesar di ASEAN, Terminal Pulogebang di Jakarta begitu megah dan luas bagai bandara. Kenali seluk beluknya supaya tidak tersasar.

Bagi traveler yang pertama kali datang ke Terminal Pulogebang di Jakarta, mungkin akan dibuat terkesima sekaligus bingung akan terminal bus yang berukuran luas tersebut.

Berdiri di atas lahan seluas 12,5 hektar, Terminal Pulogebang terbagi jadi empat blok utama dengan fungsi berbeda. Dikunjungi detikcom langsung Kamis pekan lalu (1/8/2019), berikut detil tentang terminal bus yang satu ini.

Blok A

Dari pintu utama, Blok A terletak di ujung kiri terminal. Secara fungsi, Blok A dikhususkan untuk tempat istirahat pengemudi bus. Hanya ada satu lantai saja di blok ini.

Blok B

Blok kedua dari kiri, berfungsi sebagai area keberangkatan bagi penumpang. Blok yang satu ini terdiri dari dua lantai, di mana lantai dua merupakan area boarding khusus untuk para penumpang yang telah memiliki tiket keberangkatan.

Di lantai dua blok B juga tersedia ruang baca dan ruang bermain anak. Jadi traveler yang bepergian dengan si buah hati tak usah takut menunggu lama.

Blok C

Merupakan blok dengan lantai tertinggi dan paling ramai dibanding blok lainnya. Untuk diketahui, Blok C terdiri dari empat lain termasuk kantor pengelola dan pos pemantauan. Blok ini juga menjadi area kedatangan bagi para penumpang yang pelesir naik bus.

Secara teknis, lantai tiga di Blok C didesain sebagai area foodcourt. Hanya saat detikcom bertandang, area foodcourt masih belum difungsikan. Adapun traveler bisa menjumpai sejumlah UMKM yang menjajakan makan dan minum di lantai Mezzanine.

Blok D

Blok terakhir sekaligus yang terletak di sisi pojok kanan terminal ini merupakan tempat mangkalnya Bus TransJakarta dan sejumlah angkot dengan trayek berbeda.

Setelah mengetahui fungsi dari setiap blok, traveler juga perlu tahu di mana lokasi untuk membeli tiket. Tak usah cemas, loket untuk tiket bus dapat dijumpai di Lantai Mezzanine.

Apabila masih bingung di terminal rasa bandara ini, traveler bisa bertanya pada sejumlah petugas keamanan atau staf Dishub DKI Jakarta terkait detil yang ingin ditanyakan. Hanya perlu diketahui, tak sedikit juga agen bus yang seliweran di area terminal untuk menawarkan tiket bus.

Aruh Garau, Upacara Adat Suku Dayak Meratus Sebelum Panen

Suku Dayak Meratus menggelar upacara adat Aruh Garau sebelum panen. Upacara ini digelar 3 kali dalam setahun.

Saat berkunjung ke Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya wisatawan akan mengunjungi pasar terapung di Lok Baintan. Ini tidaklah mengherankan karena sebagai kota 1.000 sungai, pasar terapung adalah budaya berumur ratusan tahun yang tetap eksis sampai saat ini dan telah menjadi tujuan utama wisata.

Namun sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita lihat di Kalimantan Selatan, masyarakat Dayak contohnya di kawasan pegunungan Meratus yang berjarak sekitar 200 kilometer lebih atau 6 jam lebih perjalanan melalui darat tinggalah masyarakat Dayak Meratus yang memiliki budaya yang menarik.

Saat berkunjung ke Kalimanta Selatan Kami bertemu rekan seorang fotogafer dan traveller bernama mas nasrudin Ansori menurutnya malam nanti akan ada upacara Aruh Ganau yaitu upacara adat dayak meratus untuk memohon kepada Penguasa Alam agar hasil panen padi berhasil, upacara ini dilangsungkan 3 kali dalam setahun dan waktunya berubah mengikuti awal penanaman padi.

Untuk itu sejak pagi hari kami meninggalkan kota Banjarmasin menuju ke daerah Loksado tempat masyarakat Dayak meratus tinggal. Sama seperti suku Dayak lainnya mereka penganut ajaran Kaharingan yang merupakan agama asli masyarakat Dayak.

Dalam perjalanan menuju Loksado kami melewati Kota kecil bernama Kandangan yang terkenal dengan kulinernya bernama ketupat Kandangan, bahan baku ketupat kandangan adalah ketupat, ikan haruan( (gabus) disiram kuah santan sehingga menghasilkan rasa yang gurih dan lezat.

Menjelang maghrib akhirnya kami tiba di loksado ternyata seluruh kamar di wisma Loksado dan penginapan lainnya telah terisi sempat bingung juga mau tidur dimana malam ini untungnya disaat itu Pak Nasrudin ansori berbicara dengan Pimpinan hasser Indonesia Bapak Eddy Tramanto apakah kami dapat bergabung dengan rekan Hasser yang lain malam ini Beliau mempersilahkan dan jadilah kami bergabung dengan Pak Nasrudin Ansori dan 2 rekan dari Hasser Indonesia

Apakah Ada Suku Kanibal di Papua?

Papua adalah misteri. Bentang alamnya belum terjamah, kehidupan suku-sukunya belum banyak dikenali. Tapi apakah memang benar ada, suku kanibal di sana?

Ratusan suku hidup di Papua. Beda suku, beda pula bahasa dan budaya. Penelitian tentang suku-suku di Papua pun masih terus dilakukan, baik oleh peneliti dari Indonesia atau dari peneliti mancanegara.

Lukisan-lukisan gua di Papua menarik untuk diteliti, habitat kehidupan suku di pegunungan dan pesisir memiliki adat istiadat tersendiri dan masih banyak hal lain yang menjadi pertanyaan di Papua. Salah satunya, benarkah ada suku kanibal di sana alias orang yang makan orang?

Saya teringat buku 'Cannibal Valley', yang ditulis Russell T Hitt di tahun 1962. Bukunya menceritakan tentang perjalanan seorang misionaris dari AS ke Papua dan Papua Nugini.

Di bukunya disebutkan, praktik kanibalisme ditemui di suku Dani yang mendiami kawasan Pegunungan Tengah. Para misionaris yang datang pun menghapus praktik tersebut dan membimbing ke jalan kebenaran.

Bukan hanya itu, suku Korowai pun kerap kali disebut sebagai suku kanibal. Silakan cari di internet, banyak informasi menyebutkan bahwa suku Korowai sampai tahun 1970-an belum bertemu manusia luar dan masih melakukan praktik kanibal. Malah dikait-kaitkan dengan suku-suku di Fiji yang juga kabarnya kanibal.

Saya bertemu dengan peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, Selasa (6/8) malam. Dirinya sedang berada di Jakarta untuk pertemuan peneliti balai arkeologi se-Indonesia.

Saya bertanya tanpa basa-basi, benarkah ada suku kanibal di Papua?

"Tidak ada itu, tidak ada," jawabnya tegas.

Sejak tahun 2008, pria asal Yogyakarta ini ditugaskan di Papua. Dirinya sudah berkeliling banyak daerah, serta menerbitkan jurnal ilmiah. Dia tidak pernah menemukan kanibalisme di Papua.

"Buku 'Cannibal Valley' dan buku-buku lain yang menceritakan soal kanibal di Papua, hanya strategi pemasaran saja. Supaya bukunya dibeli orang," ujar Hari tersenyum.

"Pada waktu itu, sebagian orang beranggapan, suku yang belum berpakaian modern dan masih mengenal perang suku, itu dianggap pemakan daging manusia," tambahnya menjelaskan.

Menurut Hari, memang benar adanya perang suku di Papua sejak zaman dulu. Perang suku yang memakan banyak korban, bunuh-bunuhan. Namun bukan berarti, jika ada yang terbunuh lalu dimakan jasadnya.

"Dalam perang suku pada masa lalu, ketika lawannya ada yang meninggal, jenazahnya akan diambil oleh kelompoknya sendiri kemudian dikremasi," terangnya.

Tetapi, bukankah ada suku-suku di Papua yang mempunyai tengkorak manusia di rumah mereka? Itu maksudnya apa?

"Itu suku Asmat dan Marind. Mereka mengenal budaya potong kepala. Artinya, kepala musuh akan disimpan di rumah sebagai bukti keberanian dan kekuatan. Bukan dimakan," jawab Hari.

Soal suku Korowai, Hari pun menegaskan bahwa suku tersebut tidak mengenal budaya makan daging manusia. Dia pun dengan tegas menyatakan sekali lagi, tidak ada suku kanibal di seluruh tanah Papua.

"Istilah kanibal (pada buku-buku atau lainnya tentang suku di Papua) itu lebih kepada 'touristic', sebagai bentuk pemasaran," tutupnya.