Minggu, 05 Januari 2020

Koteka: Dari Pembungkus Kelamin Pria Menjadi Suvenir

Selain dipakai oleh pria dari suku adat Papua, koteka juga menjadi suvenir bagi para traveler. Inilah buah tangan khas Papua.

Sejak zaman nenek moyang, koteka telah dipakai oleh pria suku Dani, suku Mee, suku Amungme, Suku Lani, Suku Yali dan Suku Mek yang mendiami tanah Papua.

Bagi masyarakat adat Papua, kehadiran koteka dari buah labu sebagai alat pembungkus alat kelamin pria telah menjadi bagian adat yang tak terpisahkan sejak dini.

Hanya seiring dengan modernitas, perlahan budaya memakai koteka ini mulai ditinggalkan oleh generasi sekarang. Hal itu pun jadi kekhawatiran oleh Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto saat dihubungi detikcom.

"Generasi muda di pegunungan tengah Papua saat ini, sebagian tidak berkoteka dari usia balita hingga dewasa bahkan sebagian dari mereka tidak mengetahui tentang budaya berkoteka yang merupakan warisan nenek moyang," ujar Hari kepada detikcom, Senin (5/8/2019).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Hari, di masa mendatang keberadaan labu bahan dasar koteka disebutnya akan mengalami pergeseran makna. Dari yang tadinya merupakan bagian esensial dari budaya adat Papua, menjadi sayur hingga souvenir semata.

"Pada masa mendatang dikhawatirkan labu pembuat koteka hanya akan menjadi sayur untuk dikonsumsi, sebagai obat tipes atau obat sakit tenggorokan, serta koteka dijual sebagai suvenir," ujar Hari.

Apabila traveler bertandang ke Papua kini, tak sulit untuk menjumpai koteka sebagai komoditi jualan. Di Jayapura misalnya, ada Pasar Hamadi yang terkenal sebagai tempat beli oleh-oleh khas Papua.

Di sepanjang Jalan Sentral Hamadi berjajar toko cinderamata yang menjual koteka berbagai ukuran, noken atau tas khas Papua. Untuk koteka, harganya disesuaikan dengan ukuran, motif serta hiasannya. Yang paling biasa atau koteka polos misalnya, masih dapat dibeli dengan harga Rp 30 ribuan.

Kalau singgah ke Sorong usai pelesir ke Raja Ampat, traveler juga bisa mencari koteka di Pegunungan Arfak. Jangan tertipu, Pegunungan Arfak merupakan salah satu toko suvenir khas Papua yang terkemuka di Sorong.

Seperti di Pasar Hamadi, traveler juga bisa menjumpai berbagai suvenir khas Papua seperti koteka, noken, gelang hingga kerajinan kayu khas Suku Asmat.

Pada akhirnya, membeli suvenir koteka mungkin dapat menjadi salah satu cara untuk memelihara kesadaran akan koteka sebagai adat budaya Papua yang perlu dilestarikan.

Di Sendang Suci Ini, Rambut Anak Gembel Dieng Dijamas

Setiap tahun, anak berambut gembel di Dieng diruwat dan dijamas. Untuk menjamas rambut gimbal anak-anak tersebut, digunakan air dari 2 sendang suci ini.

Memasuki kawasan Candi Arjuna di Dieng, wisatawan akan melihat situs penyucian diri kuno di sebelah utara sebelum masuk ke obyek wisata Candi. Namanya adalah Dharmasala.

Lokasi ini digunakan untuk jamasan anak gembel sebelum dilakukan ruwatan. Di situs tersebut, terdapat tumpukan batu, bangunan mirip pendapa dan terdapat dua sumur, yakni sendang Sedayu dan sendang Maerokoco.

Selain digunakan untuk tempat jamasan, air dari dua sumur tersebut juga digunakan untuk menjamasi rambut anak gembel.

Pemangku adat Dieng, Sumanto mengatakan, air yang digunakan saat jamasan anak rambut gembel berasal dari tujuh sumber mata air. Dua di antaranya adalah air sendang Sedayu dan sendang Maerokoco.

"Untuk jamasan menggunakan air tujuh sumber mata air, ada yang dari sumur Jalatunda, kawah Candradimuka, Tuk Bimalukar, termasuk juga air dari dua sendang tersebut, Sedayu dan sendang Maerokoco," jelasnya saat ditemui di rumahnya di Desa Dieng Kulon, Minggu (4/8/2019).

Ia menceritakan, dua sendang tersebut adalah peninggalan kuno, berbarengan dengan Candi Arjuno. Mitosnya, air dari dua sendang tersebut membuat wajah menjadi awet muda juga digunakan untuk cuci muka.

Fans Disneyland Marah, Bioskop Legendaris Diubah Jadi Toko Suvenir

Traveler yang sering liburan ke Disneyland Park di Anaheim, AS marah-marah. Sebabnya, bioskop legendaris di taman rekreasi itu diubah jadi toko suvenir.

Disneyland Park di Anaheim, California, AS jadi tempat favorit buat liburan para turis dari berbagai belahan dunia. Buat para fans, Disneyland bahkan disebut sebagai 'Tempat Paling Bahagia di Muka Bumi'.

Namun kebahagiaan para penggemar harus sedikit ternoda gara-gara, salah satu spot favorit mereka, yaitu Bioskop Legendaris Main Street berubah fungsi jadi toko suvenir. Mereka pun marah dan tidak terima

Dihimpun detikcom dari beberapa sumber, Senin (5/8/2019), padahal bioskop Main Street tersebut merupakan salah satu wahana pertama yang dibangun di Disneyland saat pertama kali buka di tahun 1955.

Di bioskop ini biasanya diputar film-film kartun lawas Disney dari era tahun 1920-an hingga 1930-an. Film-film klasik berdurasi 6 sampai 8 menit ini pun masih berwarna hitam putih. Tentu menonton film-film ini membawa nostalgia bagi traveler.

Namun rupanya, kebijakan dari pihak Disneyland tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para penggemar. Mereka memutuskan untuk menjadikan Bioskop Main Street ini sebagai toko suvenir.

Sementara para penggemar menganggap Disneyland sudah kebanyakan toko suvenir, sehingga tidak butuh membuka toko baru lagi. Padahal Main Street Cinema termasuk wahana tertua dan bersejarah di Disneyland.

"Sungguh sangat tidak menghormati sejarah Disney Animation. Mereka punya lahan baru seluas 5,6 hektar di SW:GE, jualan lah di sana. Tidak sesuai dengan ceritanya? Di sini juga tidak," cuit salah seorang penggemar.

Sementara penggemar yang pro, merasa adanya toko suvenir baru yang menggantikan bioskop legendaris tersebut bukan suatu masalah besar. Beberapa menganggapnya keren, sementara yang lain menganggap tidak apa-apa karena selama ini Main Street Cinema juga sepi.

"Main Street Cinema selalu kosong setiap saya pergi ke sana. Tidak ada yang pergi ke sini, tapi setelah dibuat toko suvenir semua orang baru khawatir," timpal penggemar lainnya.

Sementara itu, Juru Bicara Disneyland menyebut bahwa Main Street Cinema akan tetap jadi bioskop. Pihak Disneyland hanya melakukan variasi agar pengunjung tertarik berkunjung ke sana.

"Kami akan tetap memfungsikan Main Street Cinema sebagai gedung bioskop dan tidak ada perubahan terkait film yang akan diputar di sana. Kami mencari variasi cara untuk menarik minat pengunjung untuk datang ke lokasi tercinta ini," demikian pernyataan dari Disneyland.

Koteka: Dari Pembungkus Kelamin Pria Menjadi Suvenir

Selain dipakai oleh pria dari suku adat Papua, koteka juga menjadi suvenir bagi para traveler. Inilah buah tangan khas Papua.

Sejak zaman nenek moyang, koteka telah dipakai oleh pria suku Dani, suku Mee, suku Amungme, Suku Lani, Suku Yali dan Suku Mek yang mendiami tanah Papua.

Bagi masyarakat adat Papua, kehadiran koteka dari buah labu sebagai alat pembungkus alat kelamin pria telah menjadi bagian adat yang tak terpisahkan sejak dini.

Hanya seiring dengan modernitas, perlahan budaya memakai koteka ini mulai ditinggalkan oleh generasi sekarang. Hal itu pun jadi kekhawatiran oleh Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto saat dihubungi detikcom.

"Generasi muda di pegunungan tengah Papua saat ini, sebagian tidak berkoteka dari usia balita hingga dewasa bahkan sebagian dari mereka tidak mengetahui tentang budaya berkoteka yang merupakan warisan nenek moyang," ujar Hari kepada detikcom, Senin (5/8/2019).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Hari, di masa mendatang keberadaan labu bahan dasar koteka disebutnya akan mengalami pergeseran makna. Dari yang tadinya merupakan bagian esensial dari budaya adat Papua, menjadi sayur hingga souvenir semata.

"Pada masa mendatang dikhawatirkan labu pembuat koteka hanya akan menjadi sayur untuk dikonsumsi, sebagai obat tipes atau obat sakit tenggorokan, serta koteka dijual sebagai suvenir," ujar Hari.

Apabila traveler bertandang ke Papua kini, tak sulit untuk menjumpai koteka sebagai komoditi jualan. Di Jayapura misalnya, ada Pasar Hamadi yang terkenal sebagai tempat beli oleh-oleh khas Papua.