Rabu, 08 April 2020

Airbnb Kritik Pemilik Properti yang Jual Paket Liburan Bebas Corona

Di tengahi corona, ada saja pemilik properti di situs berbagi Airbnb yang mencari kesempatan dengan iming-iming akomodasi bebas COVID-19. Airbnb pun mengkritik.
Tak jauh beda dengan industri perhotelan, situs berbagi akomodasi Airbnb beserta para pemilik properti yang tergabung di dalamnya juga ikut merugi karena sepinya tamu akibat virus Corona.

Mulai dari berkurangnya tamu hingga regulasi masing-masing negara yang menerapkan lockdown menjadi sejumlah alasan kerugian bagi Airbnb dan para pemilik properti di situs tersebut.

Tapi di tengah pandemi corona, pihak Airbnb tetap mencoba bertahan dan masih menyediakan layanannya. Namun, belakangan ada pemilik properti yang berusaha menawarkan akomodasi dengan embel-embel tempat pelarian dari Covid-19.

Dikumpulkan detikcom dari berbagai sumber, Rabu (8/4/2020), tren itu malah tengah populer di Inggris. Padahal, hal itu tidak sesuai dengan regulasi pemerintah setempat.

"Imbauan kami jelas. Perjalanan tanpa melibatkan liburan, bersantai, kunjungan ke rumah lain dan orang-orang harus tetap berada di dalam kediaman utama mereka. Itu sangat tidak bertanggung jawab dan berbahaya bagi sejumlah pemilik properti yang memasarkan aset mereka sebagai tempat pelarian untuk isolasi," ujar Menteri Pariwisata Inggris, Nigel Huddleston pada BBC.

Lebih lanjut, Nigel pun ingin bertanya langsung pada pihak Airbnb atas tren baru yang dilakukan oleh para pemilik properti di bawah mereka. Harus ada tindakan yang jelas.

"Kami tengah menulis surat kepada Airbnb untuk mengingatkan mereka perihal tanggung jawabnya kali ini," ujar Nigel.

Ketika ditanya perihal kabar tersebut, Airbnb pun merujuk pada kebijakan terbaru mereka di tengah pandemi corona. Bunyinya kurang lebih seperti berikut:

"Sesuai dengan anjuran kesehatan publik yang terus berubah-ubah, kami tak akan membiarkan sejumlah pemilik properti yang mengeksploitasi pandemi tersebut layaknya marketing Covid-19. Terlebih kami merasa kurang pantas untuk menjual covid-19 lewat diskon atau mempromosikan properti dengan fasilitas hand sanitizer dan kertas toilet yang terbatas," bunyi pengumuman di situs resminya.

Hal itu pun dipertegas dengan adanya aturan pelarangan untuk properti yang merujuk pada pemakaian Covid, coronavirus atau karantina. Adapun Airbnb telah mengeluarkan kebijakan lain di tengah pandemi corona.

Antara lain, program terbaru bernama More Flexible Reservations yang dirancang untuk membantu traveler dan sang empunya properti dalam membatalkan pemesanan. Sehingga, traveler yang sudah telanjur pesan penginapan di negara yang terjangkit virus corona tak perlu khawatir akan hangus.

Kebijakan baru ini diperuntukkan untuk traveler yang sudah melakukan pemesanan hingga tanggal 1 Juni 2020. Traveler bisa membatalkan pemesanan dengan bentuk pengembalian berupa kupon.

Kucuran dana sebesar USD 260 juta atau sekitar Rp 4,264 triliun dalam bentuk paket juga akan dicairkan untuk membantu para pemilik properti yang terdampak akibat sepinya tamu.

Saat Tradisi Pemakaman Beradu dengan Ketakutan Tertular Corona

Memakamkan korban Corona menjadi dilema. Yang jelas, tradisi dan aturan pemakaman yang biasanya dilakukan itu berubah selama pandemi ini terjadi.
Sebagaimana dilaporkan Associated Press, Selasa (7/4/2020), seorang warga Irak, Mohammed al-Dulfi, bingung saat harus memakamkan jenazah ayahnya. Sang ayah yang berusia 67 tahun itu meninggal akibat virus Corona. Butuh sampai 9 hari sebelum jenazah ayahnya ditempatkan di peristirahatan terakhirnya di kota suci Syiah Najaf, Irak Selatan.

Al-Duhfi menolak rencana pemakaman jarak jauh yang diusulkan pemerintah. Lokasi pemakaman mulanya adalah di luar Baghdad. Di sana, ayahnya tak sendiri, ada tujuh korban Corona lainnya yang akan dimakamkan di tempat yang jauh dengan dalih supaya Corona itu tak menjangkiti lebih banyak orang.

Pihak keluarga pun sempat cekcok dengan tim dari Departemen Kesehatan. Jenazah ayahnya harus menunggu berhari-hari di kamar mayat rumah sakit sebelum bisa dimakamkan.

"Kami sangat menderita, mengetahui ayah saya sudah meninggal tetapi kami tidak bisa menguburkannya," ujar pria 26 tahun itu.

Al-Duhfi bukanlah satu-satunya orang yang kebingungan ketika akan memakamkan keluarganya yang meninggal akibat Corona. Di negara-negara Timur Tengah, sebagian Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pemakaman juga menjadi sulit dilakukan. Banyak orang yang menimbang dampak Corona dengan aturan agama dan tradisi yang harus mereka lakukan.

Di negara dengan penduduk mayoritas Muslim, agama dan tradisi mengharuskan pemakaman untuk segara dilakukan. Jenazah harus dimandikan oleh kerabat dan dikafani sebelum akhirnya dikuburkan di liang lahat. Akan tetapi dengan adanya COVID-19 ini, prosedurnya menjadi terhambat. Belum lagi bila negara itu memberlakukan lockdown.

Di Mesir, pemakaman dulunya adalah tempat berkumpulnya keluarga yang akan memanjatkan doa bagi yang meninggal. Namun saat ini jumlah pelayat sangat dibatasi. Mereka juga mengenakan masker dan kantong yang membawa jenazah itu bertuliskan "bahaya!".

WHO memberikan pedoman pemakaman yang mirip dengan epidemi Ebola bahwa penanganan orang meninggal harus dilakukan dengan jumlah orang seminimal mungkin. Tim medis juga harus terlatih.

Di Timur Tengah, aturan ini membuat upacara keagamaan harus diubah atau dibatalkan. Contohnya di Iran, jenazah akan didisinfeksi lalu dibungkus dengan kantong plastik. Setelah itu, jenazah akan dibawa ke situs penguburan yang sudah ditentukan dimana pengusung jenazah akan mengenakan alat pelindung.

Jenazah itu lalu ditaburi dengan kapur dan dikubur dalam beton. Siaran televisi Iran baru-baru ini menunjukkan gambar ulama mengenakan pakaian pelindung khusus saat melakukan ritual pemakaman dalam Islam untuk para korban.

Iran sendiri merupakan salah satu negara Timur Tengah dengan kasus Corona terbanyak. Di negara itu ada 60.500 orang yang positif Corona sementara 3.700 di antaranya meninggal dunia.

Sementara itu di Mesir, tak ada yang diizinkan memandikan jenazah, kecuali petugas kesehatan. Siapapun yang hadir harus mengenakan alat pelindung dan menjaga jarak satu meter satu sama lain.

Pada pemakaman Attiyat Ibrahim, korban Corona pertama di negara tersebut, prosesnya dijaga dengan keamanan ketat. Hanya anggota keluarga yang diizinkan datang.

"Tidak ada panggilan doa pemakaman,"kata seorang warga, Ramadan Mohammed.

"Polisi berjaga dimana-mana, mengawasi dan mendesak orang-orang untuk tidak berkerumun."

Di Pakistan, keluarga boleh membawa mayat ke pemakaman di desa mereka tetapi tidak menyimpannya di dalam rumah mereka. Ini sesuai tradisi di negara-negara Asia Selatan.

Kemudian di Irak, beberapa jenazah menunggu hingga beberapa minggu untuk mendapatkan bantuan pemakaman dari pemerintah. Beberapa orang yang tak setuju sampai ada yang mengambil mayat diam-diam dari tenaga medis. Sedangkan yang lain memalsukan dokumen kematian dengan mengatakan bahwa kerabatnya meninggal akibat penyakit jantung.

Kepala Misi WHO, Ismail mengatakan, 'sikap budaya' menjadi tantangan bagi pemerintah. Pada awal April, pemerintah akhirnya membatalkan protokol pemakaman.

"Pemakaman dapat dilakukan dekat dengan Wadi as-Salam atau di pemakaman manapun yang diinginkan keluarga," kata Ismail.