Jumat, 17 April 2020

Soroti Tingginya Kematian Pasien dengan Ventilator, Para Ahli Cari Alternatif

Beberapa dokter menyebut mengurangi penggunaan ventilator pada pasien karena banyak negara melaporkan tingkat kematian yang cukup tinggi pada pasien COVID-19 yang mengenakan alat bantu napas tersebut. Ventilator biasanya digunakan pada pasien yang mengidap penyakit pernapasan paling parah.
Para ahli menyebut sekitar 40 hingga 50 persen pasien dengan masalah pernapasan berat meninggal setelah menggunakan ventilator. Bahkan di New York, dilaporkan 80 persen pasien virus corona yang menggunakan ventilator meninggal dunia.

Terdapat juga laporan tingkat kematian yang luar biasa tinggi pada pasien dengan ventilator di China dan Inggris. Angka kematian juga bisa disebabkan karena sejauh ini belum ada obat yang disetujui untuk mengatasi COVID-19.

Banyak dokter khawatir bahwa ventilator dapat lebih membahayakan pasien virus corona dengan kondisi tertentu. Tiffany Osborn, spesialis perawatan kritis di Fakultas Kedokteran Universitas Washington, mengatakan kepada NPR bahwa ventilator sebenarnya bisa merusak paru-paru pasien.

"Ventilator itu sendiri dapat merusak jaringan paru-paru berdasarkan berapa banyak tekanan yang dibutuhkan untuk membantu oksigen diproses oleh paru-paru," katanya.

Kurangnya pilihan pengobatan untuk pasien coronavirus telah menyebabkan sebagian besar dunia beralih ke ventilator untuk pasien yang terkena dampak terburuk. Namun tingginya angka kematian yang dilaporkan di antara pasien yang menggunakan ventilator telah mendorong beberapa dokter untuk mencari alternatif dan mengurangi ketergantungan mereka pada alat tersebut.

Apa Kabar Obat Kina dari Jabar untuk Sembuhkan Corona?

Penggunaan obat kina kembali mengemuka untuk penyembuhan pasien virus Corona COVID-19. Pasalnya, kinolin yang berada dalam kina, memiliki kandungan yang mirip dengan klorokuin fosfat.
Sebagai salah satu sentra penghasil kina terbesar di Indonesia, Pemprov Jawa Barat pun melibatkan beberapa universitas, termasuk Universitas Padjadjaran (UNPAD) untuk mengembangkan obat tersebut bagi pasien yang terinfeksi virus Corona.

"Sampai dengan saat ini, kita masih menunggu persetujuan dari lembaga penelitian, termasuk lembaga yang memiliki izin dan hak, terkait peredaran dan penggunaannya," ujar Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Jabar Berli Hamdani dalam konferensi pers daring, Kamis (16/4/2020).

"Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan kabar baik dari obat yang berada di provinsi Jabar ini," katanya.

Sebelumnya, periset dari Qingdao University China dan Mrs Wang dari Wuhan Institute of Virology, melakukan uji uji klinik multisenter di 10 rumah sakit di China, dalam jurnalnya 100 pasien Corona yang diberi klorokuin menunjukkan kesehatan tubuh yang membaik.

Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik UNPAD Keri Lestari mengatakan, kinin sulfat yang ada dalam obat kina memiliki efek yang sama dengan klorokuin dalam menyembuhkan penyakit malaria, yang jenis penyakitnya mirip dengan corona.

"Nah setelah ditelusuri juga klorokuin fosfat dengan kinin sulfat ini punya efek yang sama untuk anti malaria dengan mekanisme kerja yang sama, kalau kita lihat sejarah tahun 1940 tahun, pernah terjadi klorokuin resisten malaria, kemudian diganti kinin dan hasilnya baik," kata Keri.

Ia mengatakan, penggunaan repurposing drug dengan profil obat yang sudah diketahui hasil dan efek penggunannya selama puluhan tahun, lebih masuk akal untuk menangani wabah COVID-19, daripada menunggu obat dengan senyawa baru yang penyempurnaannya bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Para Ahli Ungkap 2 Gejala Ringan Baru Virus Corona

Baru baru ini, para peneliti mengungkap dua gejala ringan virus Corona COVID-19. Gejala tersebut menjadi indikator awal seseorang terinfeksi virus Corona COVID-19.
Mengutip Daily Star, studi yang menganalisis 214 pasien positif virus Corona COVID-19 ini diteliti oleh para ahli dari Universitas Sains dan Teknologi Huazhong di Wuhan, China, tempat di mana Corona pertama kali mewabah. Dari 214 pasien yang diwawancara, 36 persen di antaranya memiliki gejala neurologis termasuk sakit kepala, pusing, peradangan otot, dan nyeri saraf.

Dalam beberapa kasus, gejala ini dialami bersamaan dengan gejala pernapasan seperti batuk dan demam. Studi tersebut dipublikasikan dalam JAMA Neurology.

"Beberapa pasien tanpa gejala khas (demam, batuk, anoreksia, dan diare) COVID-19 datang ke rumah sakit dengan hanya manifestasi neurologis sebagai gejala," demikian laporan para peneliti yang dipimpin oleh Ling Mao.

"Oleh karena itu, untuk pasien dengan virus Corona COVID-19, kita perlu memperhatikan manifestasi neurologis mereka, terutama bagi mereka dengan infeksi parah, yang mungkin berkontribusi pada kematian mereka," lanjut peneliti.

Disebutkan pula selama pandemi Corona masih berlangsung, penting untuk selalu melihat kondisi pasien terkait dengan gangguan pada 'neurologis' mereka demi menghindari keterlambatan diagnosis.

"Selain itu, selama periode epidemi COVID-19, ketika melihat pasien dengan manifestasi neurologis ini, dokter harus mempertimbangkan infeksi SARS-CoV-2 sebagai diagnosis diferensial untuk menghindari keterlambatan diagnosis atau kesalahan diagnosis dan pencegahan penularan," ungkap penelitian tersebut.

"Secara umum, semakin parah infeksi menjadi, semakin sering dan intens komplikasi neurologis menjadi."

Soroti Tingginya Kematian Pasien dengan Ventilator, Para Ahli Cari Alternatif

Beberapa dokter menyebut mengurangi penggunaan ventilator pada pasien karena banyak negara melaporkan tingkat kematian yang cukup tinggi pada pasien COVID-19 yang mengenakan alat bantu napas tersebut. Ventilator biasanya digunakan pada pasien yang mengidap penyakit pernapasan paling parah.
Para ahli menyebut sekitar 40 hingga 50 persen pasien dengan masalah pernapasan berat meninggal setelah menggunakan ventilator. Bahkan di New York, dilaporkan 80 persen pasien virus corona yang menggunakan ventilator meninggal dunia.

Terdapat juga laporan tingkat kematian yang luar biasa tinggi pada pasien dengan ventilator di China dan Inggris. Angka kematian juga bisa disebabkan karena sejauh ini belum ada obat yang disetujui untuk mengatasi COVID-19.

Banyak dokter khawatir bahwa ventilator dapat lebih membahayakan pasien virus corona dengan kondisi tertentu. Tiffany Osborn, spesialis perawatan kritis di Fakultas Kedokteran Universitas Washington, mengatakan kepada NPR bahwa ventilator sebenarnya bisa merusak paru-paru pasien.

"Ventilator itu sendiri dapat merusak jaringan paru-paru berdasarkan berapa banyak tekanan yang dibutuhkan untuk membantu oksigen diproses oleh paru-paru," katanya.

Kurangnya pilihan pengobatan untuk pasien coronavirus telah menyebabkan sebagian besar dunia beralih ke ventilator untuk pasien yang terkena dampak terburuk. Namun tingginya angka kematian yang dilaporkan di antara pasien yang menggunakan ventilator telah mendorong beberapa dokter untuk mencari alternatif dan mengurangi ketergantungan mereka pada alat tersebut.