Jumat, 17 April 2020

Para Ahli Ungkap 2 Gejala Ringan Baru Virus Corona

Baru baru ini, para peneliti mengungkap dua gejala ringan virus Corona COVID-19. Gejala tersebut menjadi indikator awal seseorang terinfeksi virus Corona COVID-19.
Mengutip Daily Star, studi yang menganalisis 214 pasien positif virus Corona COVID-19 ini diteliti oleh para ahli dari Universitas Sains dan Teknologi Huazhong di Wuhan, China, tempat di mana Corona pertama kali mewabah. Dari 214 pasien yang diwawancara, 36 persen di antaranya memiliki gejala neurologis termasuk sakit kepala, pusing, peradangan otot, dan nyeri saraf.

Dalam beberapa kasus, gejala ini dialami bersamaan dengan gejala pernapasan seperti batuk dan demam. Studi tersebut dipublikasikan dalam JAMA Neurology.

"Beberapa pasien tanpa gejala khas (demam, batuk, anoreksia, dan diare) COVID-19 datang ke rumah sakit dengan hanya manifestasi neurologis sebagai gejala," demikian laporan para peneliti yang dipimpin oleh Ling Mao.

"Oleh karena itu, untuk pasien dengan virus Corona COVID-19, kita perlu memperhatikan manifestasi neurologis mereka, terutama bagi mereka dengan infeksi parah, yang mungkin berkontribusi pada kematian mereka," lanjut peneliti.

Disebutkan pula selama pandemi Corona masih berlangsung, penting untuk selalu melihat kondisi pasien terkait dengan gangguan pada 'neurologis' mereka demi menghindari keterlambatan diagnosis.

"Selain itu, selama periode epidemi COVID-19, ketika melihat pasien dengan manifestasi neurologis ini, dokter harus mempertimbangkan infeksi SARS-CoV-2 sebagai diagnosis diferensial untuk menghindari keterlambatan diagnosis atau kesalahan diagnosis dan pencegahan penularan," ungkap penelitian tersebut.

"Secara umum, semakin parah infeksi menjadi, semakin sering dan intens komplikasi neurologis menjadi."

Soroti Tingginya Kematian Pasien dengan Ventilator, Para Ahli Cari Alternatif

Beberapa dokter menyebut mengurangi penggunaan ventilator pada pasien karena banyak negara melaporkan tingkat kematian yang cukup tinggi pada pasien COVID-19 yang mengenakan alat bantu napas tersebut. Ventilator biasanya digunakan pada pasien yang mengidap penyakit pernapasan paling parah.
Para ahli menyebut sekitar 40 hingga 50 persen pasien dengan masalah pernapasan berat meninggal setelah menggunakan ventilator. Bahkan di New York, dilaporkan 80 persen pasien virus corona yang menggunakan ventilator meninggal dunia.

Terdapat juga laporan tingkat kematian yang luar biasa tinggi pada pasien dengan ventilator di China dan Inggris. Angka kematian juga bisa disebabkan karena sejauh ini belum ada obat yang disetujui untuk mengatasi COVID-19.

Banyak dokter khawatir bahwa ventilator dapat lebih membahayakan pasien virus corona dengan kondisi tertentu. Tiffany Osborn, spesialis perawatan kritis di Fakultas Kedokteran Universitas Washington, mengatakan kepada NPR bahwa ventilator sebenarnya bisa merusak paru-paru pasien.

"Ventilator itu sendiri dapat merusak jaringan paru-paru berdasarkan berapa banyak tekanan yang dibutuhkan untuk membantu oksigen diproses oleh paru-paru," katanya.

Kurangnya pilihan pengobatan untuk pasien coronavirus telah menyebabkan sebagian besar dunia beralih ke ventilator untuk pasien yang terkena dampak terburuk. Namun tingginya angka kematian yang dilaporkan di antara pasien yang menggunakan ventilator telah mendorong beberapa dokter untuk mencari alternatif dan mengurangi ketergantungan mereka pada alat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar