The Académie Française mengukuhkan penyakit COVID-19 adalah kata benda feminin. Ini ditujukan untuk meluruskan tata bahasa yang menggunakan 'le COVID-19' dan menggantinya dengan 'la COVID-19'.
"Penggunaan feminin akan lebih sesuai," kata Académie Française di situs webnya.
Diketahui, dalam Bahasa Prancis kata benda dibagi menjadi 2 kelompok menurut gender yakni feminin dan maskulin (féminin dan mascula). Aturan ini sudah ada sejak penggunaan Bahasa Prancis kuno (ancien français). Pembagian kata benda feminin dan maskulin ini juga ada dalam bahasa Jerman dan Belanda.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah lama menyebut COVID-19 sebagai 'la' dalam pengucapan Prancis-nya. Di Kanada, Perdana Menteri Justin Trudeau, situs web pemerintah dan media menggunakan bentuk feminin juga.
"Mungkin belum terlambat untuk memberikan akronim ini kembali ke gender yang seharusnya," sambungnya.
Alasan di balik keputusan ini dikarenakan COVID-19 adalah akronim untuk Coronavirus disease, nah di Prancis, 'disease' disebut dengan kata 'maladie' yang masuk kategori feminin. Demikian dikutip detikINET dari rfi.fr.
Ahli Bahasa Prancis Tentukan Gender COVID-19 Adalah Feminin
Seratus anak di Inggris dilaporkan mengidap sindrom langka yang diduga ada kaitannya dengan virus Corona COVID-19. Sebagian besar anak-anak tersebut berada di rentang usia lima hingga 16 tahun.
Sebelumnya, dokter di layanan kesehatan Inggris memberi peringatan soal munculnya lonjakan kasus anak-anak dengan sindrom inflamasi baru yang mengancam nyawa, bulan lalu. Sejak itu, para ahli langsung melakukan penelitian, diperkirakan dari data yang diterima, hal ini telah mempengaruhi antara 75 dan 100 anak-anak di Inggris, termasuk bocah lelaki berusia 14 tahun yang sebelumnya dilaporkan meninggal dunia.
dr Liz Whittaker, seorang dosen klinis penyakit infeksi anak dan imunologi di Imperial College London, mengatakan dari data yang dikumpulkan dalam dua minggu, tampaknya puncak sindrom baru ini berada di belakang puncak virus Corona COVID-19 sekitar dua hingga tiga minggu.
"Salah satu hal yang cukup menarik adalah bahwa puncak yang kita lihat pada anak-anak ini adalah beberapa minggu setelah puncak COVID-19 di seluruh negeri," jelas dr Whittaker di sebuah briefing media sains, dikutip dari The Sun pada Kamis (14/5/2020).
"Kami memperkirakan di London bahwa puncak COVID-19 adalah sekitar minggu pertama hingga kedua pada bulan April, sedangkan kami pikir kami melihat puncak anak-anak ini minggu lalu dan minggu ini," kata dr Whittaker.
dr Whittaker mengatakan bahwa sebagian besar anak-anak dites negatif untuk COVID-19, tetapi semuanya memiliki antibodi positif terhadap virus. Dia menyarankan bahwa ini dapat menunjukkan beberapa anak memiliki respons yang tertunda terhadap virus beberapa minggu setelah terinfeksi.
"Kami menyebutnya sindrom multi-sistem inflamasi anak, yang untuk sementara dikaitkan dengan SARS-CoV-2 atau COVID-19," katanya.
"Kami sangat berhati-hati untuk melakukannya karena kami tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa setiap anak memiliki COVID-19 pada saat mereka tidak sehat. Tetapi fenomena baru ini terjadi di tengah pandemi sehingga tampaknya cukup masuk akal untuk menyarankan bahwa kedua hal tersebut saling berkaitan," ujar dr Whittaker.