Kamis, 14 Mei 2020

Ahli Bahasa Prancis Tentukan Gender COVID-19 Adalah Feminin

The Académie Française mengukuhkan penyakit COVID-19 adalah kata benda feminin. Ini ditujukan untuk meluruskan tata bahasa yang menggunakan 'le COVID-19' dan menggantinya dengan 'la COVID-19'.
"Penggunaan feminin akan lebih sesuai," kata Académie Française di situs webnya.

Diketahui, dalam Bahasa Prancis kata benda dibagi menjadi 2 kelompok menurut gender yakni feminin dan maskulin (féminin dan mascula). Aturan ini sudah ada sejak penggunaan Bahasa Prancis kuno (ancien français). Pembagian kata benda feminin dan maskulin ini juga ada dalam bahasa Jerman dan Belanda.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah lama menyebut COVID-19 sebagai 'la' dalam pengucapan Prancis-nya. Di Kanada, Perdana Menteri Justin Trudeau, situs web pemerintah dan media menggunakan bentuk feminin juga.

"Mungkin belum terlambat untuk memberikan akronim ini kembali ke gender yang seharusnya," sambungnya.

Alasan di balik keputusan ini dikarenakan COVID-19 adalah akronim untuk Coronavirus disease, nah di Prancis, 'disease' disebut dengan kata 'maladie' yang masuk kategori feminin. Demikian dikutip detikINET dari rfi.fr.

Ahli Bahasa Prancis Tentukan Gender COVID-19 Adalah Feminin

 Seratus anak di Inggris dilaporkan mengidap sindrom langka yang diduga ada kaitannya dengan virus Corona COVID-19. Sebagian besar anak-anak tersebut berada di rentang usia lima hingga 16 tahun.
Sebelumnya, dokter di layanan kesehatan Inggris memberi peringatan soal munculnya lonjakan kasus anak-anak dengan sindrom inflamasi baru yang mengancam nyawa, bulan lalu. Sejak itu, para ahli langsung melakukan penelitian, diperkirakan dari data yang diterima, hal ini telah mempengaruhi antara 75 dan 100 anak-anak di Inggris, termasuk bocah lelaki berusia 14 tahun yang sebelumnya dilaporkan meninggal dunia.

dr Liz Whittaker, seorang dosen klinis penyakit infeksi anak dan imunologi di Imperial College London, mengatakan dari data yang dikumpulkan dalam dua minggu, tampaknya puncak sindrom baru ini berada di belakang puncak virus Corona COVID-19 sekitar dua hingga tiga minggu.

"Salah satu hal yang cukup menarik adalah bahwa puncak yang kita lihat pada anak-anak ini adalah beberapa minggu setelah puncak COVID-19 di seluruh negeri," jelas dr Whittaker di sebuah briefing media sains, dikutip dari The Sun pada Kamis (14/5/2020).

"Kami memperkirakan di London bahwa puncak COVID-19 adalah sekitar minggu pertama hingga kedua pada bulan April, sedangkan kami pikir kami melihat puncak anak-anak ini minggu lalu dan minggu ini," kata dr Whittaker.

dr Whittaker mengatakan bahwa sebagian besar anak-anak dites negatif untuk COVID-19, tetapi semuanya memiliki antibodi positif terhadap virus. Dia menyarankan bahwa ini dapat menunjukkan beberapa anak memiliki respons yang tertunda terhadap virus beberapa minggu setelah terinfeksi.

"Kami menyebutnya sindrom multi-sistem inflamasi anak, yang untuk sementara dikaitkan dengan SARS-CoV-2 atau COVID-19," katanya.

"Kami sangat berhati-hati untuk melakukannya karena kami tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa setiap anak memiliki COVID-19 pada saat mereka tidak sehat. Tetapi fenomena baru ini terjadi di tengah pandemi sehingga tampaknya cukup masuk akal untuk menyarankan bahwa kedua hal tersebut saling berkaitan," ujar dr Whittaker.

Melinda Gates: Vaksin Corona Tersedia Akhir 2020, Asalkan...

 Istri Bill Gates, Melinda Gates, mengungkapkan perkembangan terbaru pembuatan vaksin Corona. Menurutnya, para ilmuwan mungkin akan menemukan sebuah vaksin COVID-19 yang efektif di akhir tahun 2020 asalkan ada keberuntungan.
"Jika kita beruntung," katanya, dikutip detikINET dari CNBC. Melalui yayasannya, Bill & Melinda Gates Foundation, salah satu keluarga terkaya dunia ini memang aktif mendukung dana pembuatan vaksin Corona.

Ia kembali menjelaskan bahwa membuat vaksin yang manjur membutuhkan studi yang sangat intensif. "Kemudian memastikan saat dimasukkan dalam tubuh kita, vaksin itu tidak malah membuat lebih banyak bahaya," kata Melinda.

"Jadi ya, kita mungkin saja mendapatkan satu dari para kandidat vaksin itu jika kita beruntung pada akhir tahun ini," cetus ibu beranak 3 itu.

Jikalaupun hal itu menjadi kenyataan, di mana pembuatan vaksin COVID-19 memecahkan rekor soal waktu pembuatan, tetap ada masalah lainnya. Perlu diproduksi sampai jutaan dan kemudian miliaran dosis untuk semua warga.

"Kita tidak pernah membuat vaksin tipe seperti ini sebelumnya ataupun dalam skala seperti ini. Jadi hal ini bukanlah proses yang cepat atau lancar," imbuh Melinda.

Sebelumnya, Bill Gates sang suami menginginkan agar dibuat vaksin COVID-19 bagi seluruh penduduk dunia. "Kita perlu membuat dan mendistribusikan sedikitnya 7 miliar dosis vaksin. Untuk menghentikan pandemi, kita perlu membuat vaksin yang tersedia untuk hampir setiap orang di planet ini," tulis Gates di blognya.

"Apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah membangun pabrik vaksin berbeda untuk persiapan. Tiap vaksin membutuhkan pabrik berbeda. Kita harus siap dengan fasilitas yang bisa membuat tiap tipe, sehingga kita bisa memulai pembuatan vaksin final segera saat kita bisa," cetusnya.

Ahli Bahasa Prancis Tentukan Gender COVID-19 Adalah Feminin

The Académie Française mengukuhkan penyakit COVID-19 adalah kata benda feminin. Ini ditujukan untuk meluruskan tata bahasa yang menggunakan 'le COVID-19' dan menggantinya dengan 'la COVID-19'.
"Penggunaan feminin akan lebih sesuai," kata Académie Française di situs webnya.

Diketahui, dalam Bahasa Prancis kata benda dibagi menjadi 2 kelompok menurut gender yakni feminin dan maskulin (féminin dan mascula). Aturan ini sudah ada sejak penggunaan Bahasa Prancis kuno (ancien français). Pembagian kata benda feminin dan maskulin ini juga ada dalam bahasa Jerman dan Belanda.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah lama menyebut COVID-19 sebagai 'la' dalam pengucapan Prancis-nya. Di Kanada, Perdana Menteri Justin Trudeau, situs web pemerintah dan media menggunakan bentuk feminin juga.

"Mungkin belum terlambat untuk memberikan akronim ini kembali ke gender yang seharusnya," sambungnya.

Alasan di balik keputusan ini dikarenakan COVID-19 adalah akronim untuk Coronavirus disease, nah di Prancis, 'disease' disebut dengan kata 'maladie' yang masuk kategori feminin. Demikian dikutip detikINET dari rfi.fr.