Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat kegiatan impor barang dalam rangka penanggulangan COVID-19 sampai awal Mei 2020 lalu telah mencapai Rp 1,142 triliun. Menurut Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea Cukai (DJBC) Syarif Hidayat, dari total nilai impor tersebut barang terbanyak yang diimpor merupakan masker dan kebanyakan berasal dari China.
"Ini angkanya besar Rp 1,142 triliun. Komoditas terbesar yang diimpor adalah masker sebanyak 38 juta unit dan negara terbanyak adalah China 55,19%," ujar Syarif, Rabu (20/5/2020).
Syarif menyebutkan sebagian besar impor tersebut masuk melalui jalur udara. Mayoritas masuk melalui Kantor Pelayanan Utama (KPU) Ditjen Bea Cukai Soekarno-Hatta yang porsinya mencapai 57,01%.
Pintu masuk impor selanjutnya berasal dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Bogor sebesar 17,64%, KPPBC Bandung sebesar 9,22%, KPU Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 8,08%, KPPBC Yogyakarta 2,61%, KPPBC Cikarang 1,39%, KPPBC Kendari 1,24%, KPPBC Halim 1,16%, lain-lain 1,67%.
"Utamanya melalui KPU Soekarno Hatta, karena banyak didatangkan melalui pesawat terbang, barang-barang ini datang ke KPU Soekarno-Hatta sebanyak 57,01%, lebih dari separuh barang-barang untuk penanganan COVID-19 ini masuk melalui Soekarno-Hatta. Negaranya pun adalah China. China mencapai 55,94%, jadi hampir setengah lebih barang-barang tersebut berasal dari China," ungkapnya.
Setidaknya terdapat lima komoditas utama yang diimpor untuk penanggulangan pandemi COVID-19. Pertama, masker sebanyak 38 juta. Kedua, test kit COVID-19 sebanyak 3,4 juta. Ketiga, alat perlindungan diri (APD) sebanyak 5,1 juta. Keempat, obat-obatan sebanyak 391.346. Kelima, peralatan rumah sakit sebanyak 2,1 juta dan barang pendukung lainnya sebanyak 487.803.
Sebagian besar impor barang tersebut didatangkan dari China dengan kontribusi sebesar 55,19% dari total impor barang penanggulangan COVID-19. Selanjutnya, sebesar 30,03% di antaranya merupakan impor bahan baku yang kemudian diolah oleh pelaku usaha di Kawasan Berikat.
Kemudian, 6,25% dari Hong Kong, 3,53% dari Singapura, 3,26% dari Jepang, 1,29% dari Korea, dan 0,46% dari negara lainnya.
Total impor barang tersebut merupakan gabungan baik dari impor dengan skema insentif dan nonfasilitas kepabeanan.
"Nilai total pembebasan impornya adalah Rp 266,9 miliar, jadi cukup besar. PPh masuk yang kita bebaskan Rp 116 miliar, tidak dipungut PPN PPh Rp 120 miliar, yang dikecualikan dari pungutan PPh pasal 22 sebanyak Rp 30 miliar," tuturnya.
Mengenal Tanaman Atsiri, Bahan Antivirus Corona Buatan RI
Baru-baru ini tanaman atsiri (eucalyptus) disebut sebagai produk antivirus corona dan dipatenkan Kementerian Pertanian RI. Ayo kita kenal tanaman ini lebih jauh.
Tepat Senin kemarin (18/5), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian (Kementan) mematenkan produk antivirus corona berbasis tanaman atsiri. Malah, ke depannya produk tersebut akan diproduksi luas.
Menurut sang Kepala Balitbangtan, Fadjri Djufry, ia menjelaskan bahwa tanaman euchalyptus atau minyak atsiri yang memiliki kandungan senyawa aktif 1,8-cineole (eucalyptol) ini dianggap paling berdampak menekan pertumbuhan berbagai jenis virus influenza termasuk Corona. Berdasarkan uji laboratorium Balitbang, eucalyptus mampu membunuh virus virus influenza, virus Beta dan gamma corona dalam skala 80-100%.
"Dari sekian banyak tanaman herbal yang kita uji, minyak atsiri (eucalyptus) kita yang punya potensi sangat besar, kemungkinan besar sangat bisa menekan pertumbuhan virus Corona," ujar Fadjry dalam telekonferensi bertajuk Launching Anti Virus Corona berbasis Euchalyptus, Jumat (8/5).
Indonesia akhirnya berhasil mematenkan formula antivirus Corona dalam bentuk inhaler, diffuser oil hingga kalung antiCorona.Indonesia akhirnya berhasil mematenkan formula antivirus Corona dalam bentuk inhaler, diffuser oil hingga kalung anti Corona
Di Indonesia sendiri, nama tumbuhan atsiri sudah dikenal sejak lama. Di Karanganyar misalnya, di tahun 1963 sempat berdiri sebuah pabrik citronella kerjasama antar Pemerintah RI dan Belgia yang memproduksi minyak dari tanaman atsiri.
Kini, pabrik itu pun menjelma jadi Rumah Atsiri yang berbasis wisata edukasi. Agar makin paham, detikcom pun menelepon humas Rumah Atsiri, Eko Sariyanto via sambungan telepon.