Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, optimis bahwa bisa segera menyediakan vaksin virus Corona COVID-19 di negaranya sebelum akhir 2020. Ia mengatakan vaksin itu pastinya akan tersedia pada November 2020.
Selain itu, ia mengatakan bahwa kemungkinan vaksin Corona tersedia bertepatan dengan pemilu presiden pada 3 November 2020 mendatang. Trump menegaskan, hal ini tidak ada kaitannya dengan pemilu tersebut.
"Tidak ada salahnya. Tetapi saya melakukannya bukan untuk pemilihan, saya ingin menyelamatkan banyak nyawa," kata Trump, dikutip dari Reuters pada Jumat (7/8/2020).
Selain Trump, pakar penyakit menular ternama di AS, Anthony Fauci juga menyebut bahwa vaksin Corona akan tersedia di akhir tahun ini, meskipun ia tidak menjelaskan detail dalam menyebutkan waktunya.
Terkait vaksin yang disebut akan hadir bertepatan dengan pemilu di Amerika Serikat, Menteri Kesehatan AS Alex Azar angkat bicara. Ia membantah bahwa persiapan kehadiran vaksin tersebut berkaitan dengan politik. Azar mengatakan akan mengeluarkan vaksin setelah disahkan oleh pihak Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA).
"Kami akan menjalankan proses yang transparan," ujarnya.
"Yang lebih penting adalah jaminan bahwa tidak akan ada yang dikorbankan untuk kecepatan dalam pengujian serta evaluasi dari vaksin Corona tersebut," jelas perwakilan Amerika Serikat lainnya, Raja Krishnamoorthi.
Alasan Rapid Test Tak Bisa Dijadikan Acuan Pemeriksaan Virus Corona
Sejak awal pandemi virus Corona mulai terdeteksi di Indonesia, beberapa pihak mengandalkan rapid test untuk menscreening siapa saja yang terpapar COVID-19. Hanya saja pakar menilai rapid test memiliki tingkat akurasi yang rendah sehingga tidak bisa dijadikan acuan diagnosa COVID-19.
"Menurut WHO, tes berbasis serologi (rapid test, ELISA, CLIA) tidak boleh digunakan untuk penegakan diagnosa akut COVID-19," tutur pakar biologi molekuler Achmad Utomo dalam webinar yang diselenggarakan Society of Indonesian Science Journalist dan ditulis Jumat (7/8/2020).
Sejak awal penggunaannya, rapid test disebut lebih banyak memberikan 'false negative' atau hasil negatif meski sebenarnya positif. Terlebih jika rapid test dilakukan pada waktu yang tidak tepat.
Dijelaskan oleh Achmad, banyak sekali alat rapid test yang saat ini menyatakan 90-100 persen akurat tanpa menampilkan kapan tes dilakukan, apakah pada fase awal (1-7 hari), tengah (8-14 hari), atau akhir (>14 hari) pasca gejala. Mayoritas tes serologi akurat saat digunakan di fase akhir atau dua minggu pasca gejala.
Artinya, jika rapid test digunakan untuk skrining atau penegakan diagnostik, maka akan banyak sekali pasien COVID-19 yang lolos terlebih jika asimptomatik atau tanpa gejala.
Selain itu diterangkan oleh Achmad, performance dari alat rapid test yang mayoritas digunakan di Indonesia cenderung tidak akurat. Ini akan menimbulkan risiko yang sangat besar karena jika gagal mengidentifikasi orang yang terinfeksi maka mereka akan terus berkerumun dan menularkan ke orang lain.
"Apalagi kalau diagnosanya keliru dan ini juga mungkin yang bisa menjelaskan mengapa banyak nakes kita yang terpapar dan akhirnya meninggal," terang Achmad.
Penggunaan tes PCR maupun tes serologi atau rapid test harus melihat terlebih dulu fokus yang ingin dicapai dalam pengendalian COVID-19.
"Apabila kita ingin memutus rantai transmisi atau mengenali orang yagn psoitif COVID tentu harus menggunakan tes RT PCR. Tapi kalau kita ingin menguji keberhasilan vaksinasi atau melihat beban wilayah yang terpapar/apakah herd immunity tercapai tentu tes serologi lebih bagus," pungkasnya.
https://cinemamovie28.com/silam-2/