Belakangan ini heboh tentang adanya kasus infeksi virus di China yang disebabkan oleh gigitan kutu atau dikenal dengan tick-borne. Virus ini telah menginfeksi sedikitnya 60 orang dan menewaskan 7 korban.
Dikutip dari Firstpost, virus yang terjadi di China telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit severe fever with thrombocytopenia syndrome (SFTS). SFTS bukanlah penyakit baru karena virus ini sudah ditemukan sejak tahun 2009 dan pernah menginfeksi di Korea Selatan dan Jepang.
Lantas apakah Indonesia perlu khawatir dengan virus SFTS yang disebabkan oleh kutu atau tick-borne ini?
Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, Msc, perlu adanya pengecekan terlebih dahulu, apakah kutu pembawa virus tersebut ada atau tidak di Indonesia.
"Kalau itu zoonosis, kita lihat kutunya 'tick-borne' itu ada nggak di Indonesia? Kalau kutunya nggak ada ya kita nggak perlu khawatir. Kalau kutunya ada ya kita perlu khawatir karena virus itu baru terjadi lagi di China dan bisa saja sudah ada di Indonesia," kata dr Miko kepada detikcom, Minggu (9/8/2020).
Sebelumnya dalam sebuah studi tahun 2015, ada beberapa spesies kutu yang diduga sebagai pembawa virus SFTS, di antaranya H longicornis, R microplus, H campanulata dan D sinicus pada anjing, kucing, domba, dan sapi.
Meski begitu, dr Miko mengatakan bahwa saat ini kita tidak perlu khawatir terkait virus tersebut. Sebab, jumlah kasusnya yang masih terbilang sedikit.
"Karena sekarang yang ditakutkan justru demam berdarah karena lagi musim," ucapnya.
"Jadi kalau penyakitnya itu masih jarang kita nggak perlu khawatir. Kalau penyakit itu banyak, seperti demam berdarah, COVID yang sudah banyak jadi takut gitu. Jadi prevalensinya masih jarang penyakit tadi," jelasnya.
Perkembangan 5 Jenis Obat yang Diteliti untuk Hadapi Pandemi COVID-19
Apakah obat Corona sudah ditemukan? Pertanyaan tersebut mungkin kerap muncul di benak sebagian orang di masa pandemi ini. Sayangnya hingga saat ini masih belum ada obat yang dianggap memenuhi syarat sehingga bisa dijadikan terapi standar COVID-19.
Namun, laporan di berbagai penjuru dunia melihat setidaknya sudah ada beberapa kandidat obat potensial. Berikut 5 jenis obat yang pernah dan masih diteliti untuk COVID-19, seperti dikutip dari Mayo Clinic:
1. Obat antivirus
Berbagai jenis obat antivirus diteliti efeknya dalam menghadapi virus SARS-COV-2 penyebab COVID-19. Obat jenis ini bekerja dengan cara menekan kemampuan replikasi atau perkembangan virus di dalam tubuh.
Contoh obat antivirus yang diteliti untuk COVID-19 ada lopinavir, ritonavir, favipiravir, dan remdesivir. Beberapa ahli melihat remdesivir sebagai kandidat obat antivirus yang paling potensial.
2. Dexamethasone
Dexamethasone adalah jenis obat antiradang yang bekerja dengan cara menekan sistem imun. Beberapa pasien Corona mereka mengalami komplikasi karena reaksi imun yang berlebihan, sehingga pemberian obat ini disebut-sebut bisa mengurangi tingkat kematian pada pasien dengan gejala parah.
Hanya saja peneliti memberi peringatan bahwa obat ini bisa berbahaya jika diresepkan terlalu dini. Alasannya karena sistem imun yang bekerja baik-baik melawan penyakit malah dapat terganggu.
3. Terapi imun
Peneliti juga mempelajari terapi imun dengan memanfaatkan plasma darah pasien yang sudah sembuh dari COVID-19. Dasar dari terapi ini adalah diharapkan kekebalan tubuh terhadap COVID-19 yang sudah dibentuk oleh pasien sembuh dapat digunakan untuk membantu pasien sakit.
4. Klorokuin dan hidroksiklorokuin
Klorokuin dan hidroksiklorokuin merupakan obat yang biasa dipakai untuk menyembuhkan pasien malaria. Obat ini awalnya diteliti oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diberi izin penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA), namun belakangan dihentikan karena dianggap minim manfaat.
Sementara Indonesia dilaporkan masih menggunakan dua jenis obat ini karena disebut para pakar bisa membantu proses penyembuhan pasien.
5. Obat yang masih belum jelas efektivitasnya
Beberapa obat seperti amlodipine, ivermectin, losartan, dan famotidine juga diteliti, tapi khasiatnya masih belum terlalu jelas. Peneliti juga berusaha menemukan apakah ada obat yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi COVID-19.
https://indomovie28.net/her-deep-love-affair-directors-cut-2/